Fatwa Boikot Buat Umat Sejahtera?

(Sumber: Nadia/suarakampus.com)

Oleh: Fajar Hadiansyah

(Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Imam Bonjol Padang)

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya awal bulan Oktober 2023, Hamas atau pasukan paramiliter Palestina menembakkan ribuan roket ke Israel. Tak hanya itu, para Hamas juga menyusup ke Israel melalui jalan darat, laut, dan udara. Akibatnya, masyarakatnya tewas, lebih dari 2.000 warganya terluka, dan pasukan militernya disandera.

Israel menyatakan perang terhadap Hamas dan melancarkan serangan udara dengan meluncurkan pemboman di Gaza. Akibatnya, menurut data yang dilansir dari AFP, bahwa serangan balik yang dilakukan oleh israel, mayoritas korban jiwanya adalah anak-anak dan perempuan di mana tercatat 4.609 anak-anak ditambah 3.100 perempuan meregang nyawa.

Oleh kejadian tersebut, masyarakat global termasuk di Indonesia mulai melakukan aksi boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terbaru Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Perjuangan Palestina, yang menegaskan bahwa mendukung agresi Israel ke Palestina hukumnya Haram.

Lanjutnya, MUI merekomendasikan kepada masyarakat Muslim, untuk menghindari semaksimal mungkin bermuamalah, seperti transaksi jual beli dengan pelaku usaha yang secara nyata memberi dukungan terhadap agresi dan juga aktivitas zionis Israel. Fatwa tersebut ditetapkan pada bulan November 2023. Dan saat memasuki bulan Ramadhan, MUI membeberkan tak menggunakan produk terafiliasi Israel, seperti kurma.

Namun demikian, fatwa MUI tersebut memberikan efek samping terhadap ekonomi masyarakat Indonesia. Meskipun fatwa itu boleh diikuti atau tidak, tanpa ada sanksi atau ancaman hukuman. Misalkan, gerai Kentucky Fried Chicken (KFC) Kota Padang Sumatra Barat, yang mengalami penurunan pendapatan hingga 50 persen.

Dilansir dari Langgam.id, Minggu 10 Desember 2023, sebelum adanya seruan boikot, penjualan bulanan kedai ini mencapai angka fantastis sekitar 800 juta. Namun, dalam satu bulan terakhir, penjualan merosot drastis menjadi hanya 400 juta.dampak dari seruan boikot produk terafiliasi Israel.

Masih dalam konteks serupa, sejumlah produk lain yang diduga terafiliasi dengan Israel juga ditemukan tersebar di Indonesia. Misalnya, Marks & Spencer, Converse, Starbucks, Domino’s Pizza, hingga McDonald’s, juga menjadi sorotan dalam gelombang boikot ini. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang bekerja di perusahaan yang diduga terafiliasi Israel diputus hubungan kerja atau PHK.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sejumlah merek lain yang diduga terafiliasi dengan Israel, mempekerjakan lebih dari 500 ribu pekerja asal Indonesia. Sejumlah 5 persen atau sekira 25.000 dari jumlah pekerja Indonesia tersebut, terancam terdampak aksi boikot. Seperti yang terjadi di PT Nestle Indonesia, 126 Karyawannya di PHK. Karena turunnya pendapatan perusahaan tersebut, semenjak adanya seruan boikot produk yang pro terhadap Israel.

Melihat efek samping dari boikot produk diduga terafiliasi Israel, bahwa fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tersebut, bukan menjadi solusi, untuk mengutuk agresi Zionis tersebut di Gaza yang sudah menewaskan banyak korban. Meskipun memberikan dampak positif, untuk menggunakan produk lokal. Serta gerakan boikot ini sebagai emosional gerakan kemanusiaan untuk solidaritas terhadap apa yang dilakukan Israel terhadap warga muslim di Palestina.

Tapi disisi lain, fatwa itu juga akan merugikan masyarakat Indonesia itu sendiri. Lanjutnya, tidak memberikan kesejahteraan bagi umatnya, yang bekerja di perusahaan yang sekutu dengan Israel, karena terancam di PHK, sebab perputaran ekonomi yang lambat.

Misalnya, kita memboikot produk produk mereka, maka akan ada yang dirugikan, pastinya masyarakat Indonesia sendiri yang kena imbas. Karena perusahaan atau gerai gerai yang mereknya diduga sekutu Israel di Indonesia, bahan bakunya dari produk kita juga, seperti ayam KFC, McDonald’s, jika diharamkan membelinya, masyarakat kita sendiri yang rugi.

Setelah itu, akan ada pengurangan lapangan pekerjaan, serta angka pengangguran di Indonesia meningkat. Maka seharusnya, mereka tersebut, memikirkan dan antisipasi soal pegawai yang akan di PHK akibat boikot tersebut. Melainkan narasi yang dikeluarkan oleh MUI, tentang bagaimana nasib umat yang akan hilang pekerjaannya akibat boikot, MUI malahan menjawab “bahwa ini nggak ada hubungannya dengan PHK. Ini logikanya terlalu jauh,” kata Sekjen MUI Amirsyah Tambunan, Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2023), dilansir dari detiknews.

Sebenarnya, ada cara yang lebih alternatif dari boikot tersebut tanpa merugikan masyarakat itu sendiri. Salah satunya, kita menyuarakan agar Israel segera menghentikan aksi agresinya ke Palestina.

Perlu diketahui, ruang lingkup pemberi fatwa atau Mufti, harus berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syar’i yang harus diketahui dan diamalkan oleh ummat. Karena umat akan selamat bila ia memberikan fatwa benar, dan akan sesat bila salah berfatwa. Seyogyanya, kedudukan fatwa tersebut memberikan solusi bukan menambah permasalahan.

Apabila dikaitkan dengan kata Marcus Tullius Cicero, “Salus Populis Suprema Lex Exto” artinya adalah keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Dalam konteks ini negara serta organ-organ yang dimiliki, mempunyai peran lewat tugas dan fungsinya untuk menciptakan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan serta kemakmuran ummat. karena hal tersebut merupakan tujuan utama bernegara. Jika fatwa tersebut tidak memberikan ruang kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri, maka tujuan utama negara hancur.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Makan Gorengan saat Berbuka Puasa, Berikut Risikonya

Next Post

Ramadan Berkah, UKM Kopma Bagikan Takjil Gratis

Related Posts

Bimbang

Oleh: Nadia Sri Rezeki(Mahasiswa Prodi Tadris IPS, UIN Imam Bonjol Padang) Dalam keheningan malamSejumput senyuman itu selalu membekas…
Selengkapnya
Total
0
Share