Suarakampus.com- Pemerintah Sumatra Barat (Sumbar) secara eksplisit lebih dulu melestarikan kebudayaan masyarakatnya dari pemerintah pusat, dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014. Hal tersebut dibahas Koalisi Seni dan partnernya dalam webinar bertajuk Dialog Implementasi Undang-undang (UU) Pemajuan Kebudayaan Sumbar.
Selaku Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Gemala Ranti mengatakan pemerintah Sumbar sangat antusias dan siap dalam menanggapi UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Bahkan selangkah lebih awal mempersiapkan diri dalam menyambut UU tersebut.
“Sejak 2014 Sumbar sudah memiliki Perda dan telah terlaksana melalui beberapa institusi yang ada,” katanya, secara virtual, Senin (28/06).
Sambungnya, pada saat dikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 2017, pemerintah Sumbar langsung mengambil langkah cepat. “Saat itu dikumpulkan pokok pikiran kebudayaan dari 19 kabupaten/kota,” ungkapnya.
Berdasarkan pernyataan Gemala, terdapat item dalam objek pemajuan kebudayaan, seperti manuskrip, tradisi lisan, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, bahasa, permainan rakyat, serta olahraga tradisional.
“Semua item tersebut sudah kita kumpulkan permasalahan, rekomendasi dan juga tahapan penyelenggaraannya,” ucapnya.
Sejauh ini, ia mengungkapkan kendala dalam pelaksanaan Perda tersebut ialah koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (RI) pusat dan pengumpulan data dari setiap kota/kabupaten.
“Dalam penerapan UU Perda ini sempat terkendala dana yang sangat besar,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid menerangkan alasan keterlambatan peraturan pemerintah dalam pelaksanaan UU Nomor 5 tahun 2017 tersebut, karena pertimbangan kementerian Keuangan yang masih meragukan andil pemajuan kebudayaan dalam mendongkrak ekonomi masyarakat Indonesia.
“Saya akui, selama ini hasil pengelolaan kebudayaan masing-masing daerah belum bisa memberikan daya ungkit yang berarti terhadap perekonomian Indonesia,” terangnya.
Hilmar Farid juga menyesali sikap masyarakat Indonesia yang umumnya acuh tak acuh dengan kebudayaan sendiri, dan membiarkan tangan-tangan asing yang justru membesarkan kebudayaan Indonesia.
“Kita berkaca kepada apa yang terjadi di Bali, kerajinan di sana disentuh dulu oleh brand besar dari barat, baru kemudian diramaikan oleh orang-orang kita,” tuturnya.
Ia berharap masyarakat Indonesia bersama-sama bisa meramaikan kebudayaan negeri sendiri, dengan memajukannya agar tidak tertinggal. “Semoga budaya kita bisa terus dilestarikan dan tidak diambil oleh tangan-tangan asing,” harapnya. (ulf)
Wartawan: Randa Bima Asra (Mg)