Kembar Tapi Tak Sedarah

Ilustrasi Cerpen Kembar Tapi Tak Sedarah (Foto: Asih/suarakampus.com).

Oleh: Firga Ries Afdalia

Ara dan Sinta udah lama kenal nama, namun belum pernah bertegur sapa. Mereka menghabiskan waktu remaja di tempat yang sama. Namun, seakan keadaan yang belum mengizinkan mereka untuk bersama. Pada akhirnya rasa berjuang pada titik penghabisanlah yang menyatukan mereka berdua.

Enam tahun bukanlah masa yang singkat menimba ilmu di tempat yang sama. Ara mengabdikan diri di SMPN 1 Ranah hingga melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Ranah juga, begitupun dengan Sinta. Meskipun berada pada satu atap yang sama, mereka tak juga mempunyai kedekatan yang serupa. Mereka belum pernah ditakdirkan berada satu di ruangan yang sama. Namun, beberapa gurupun kerap pangling dengan wajah mereka berdua. Buk Rita bilang Ara dan Sinta punya wajah yang sama, namun kami tak pernah menyadarinya.

Mengakhiri pengabdian di Sekolah Menengah Atas lantas tak membuat manusia merdeka dari penjajahan ilmu pengetahuan. Masih banyak ruang yang harus diisi, banyak visi yang harus diraih, sangat banyak harapan yang harus diwujudkan, bahkan mimpi yang bertebaran harus segera digenggam. Segala daya dan upayapun dikerahkan agar dapat mengecap dunia perkuliahan, seakan melalui jalan sempit dan melalui gang yang buntu. Semua sesak terasa tanpa beriak, keadaan yang luntang-lantung tak juga bermuara.

Pagi itu mentari menyapa penduduk bumi memeriahkan hari seperti biasanya, namun tidak dengan Ara. Di saat teman sejawatnya sudah mempunyai tempat untuk melanjutkan pendidikan, Ara masih berjuang dan melangkah. Sesak dan gelisah seakan tak mau berpisah. Pada kesempatan itulah Ara dan Sinta dipertemukan dalam rasa perjuangan. Bingkai ceritapun segera merajut ukhuwah hingga mereka merasa nyaman satu sama lainnya. Takdir yang seakan berperan hingga mereka mendaftar di perguruan tinggi negeri yang sama.

Rasa seperjuangan yang saling menguatkan hingga sama-sama menikmati pahitnya kenyataan secara beriringan. Pahit! Seakan meminum kopi hitam pekat tanpa larutan gula. Namun hidup bukanlah perkara kegagalan dan terjerembab pada jurang kemelaratan. Mereka berusaha mencuatkan beribu motivasi untuk saling menguatkan diri.

Setelah beberapa hari berada di bawah atap yang sama hingga akhirnya harus segera pulang dengan rasa duka bercampur lara. Mereka melaksanakan seleksi tertulis masuk perguruan tinggi di ibu kota dan menginap di indekos kakaknya Sinta. Berawal dari perjuangan itulah kisah pertemanan mereka dimulai hingga terus tumbuh menjadi rasa persaudaraan.

Mulai saat itu mereka merasa ada keterkaitan antara satu sama lainnya. Mereka sering membincangkan kemiripan wajahnya hingga panggilan kembaran mencuat begitu saja dan beberapa hal konyol lainnya. Yah… mulai dititik itulah Ara merasa kembar dengan Sinta. Bahkan Ara dekat dengan keluarga Sinta, begitupun sebaliknya.

Skenario Yang Maha Kuasa seakan telah menuliskan goresan takdir mereka berdua. Walaupun telah melalui bermacam rintangan hingga kami diizinkan mengecap dunia perkuliahan. Keinginan yang ingin saling beriringan namun sang kuasa belum mengizinkan. Mereka dipisahkan pada jalan yang berbeda, perbedaan seakan saling menyatukan pada tujuan yang sama.

Ara dan Sinta lulus di PTN yang berbeda namun masih berada di kota yang sama. Pertemuan bisa dilakukan kapan saja, walaupun itu juga tidak terjadi semestinya. Kesibukan di dunia masing-masing dan jadwal yang tidak sama lagi menyulitkan sebuah pertemuan hingga rasa rindu yang selalu dipendam. Mereka mulai jarang menghabiskan waktu bersama namun komunikasi tetap selalu terjaga.

Perkuliahan memanglah sesuatu yang menyenangkan bagi segelintir orang yang menikmatinya, termasuk bagi Ara dan Sinta. Selain untuk mendapatkan tambahan beberapa deretan huruf di belakang nama, kuliah juga mengubah sudut pandang kita akan suatu hal. Dunia dan lingkungan sekitar sebagai faktor pendorongnya.

Realita yang terkadang jarang berkompromi dengan situasi hingga Sinta merasa perjuangannya sedang diuji. Tak berselang waktu lama, tak terhitung tahun Sinta meninggalkan rumah. Keadaan seakan berubah seketika, ibu Sinta diserang penyakit hipertensi. Untunglah penyakit ini masih bisa diajak kompromi namun masih tetap berdiam diri. Seakan ia telah menemukan tempat ternyaman pada diri ibu Sinta.

Ujian tingkat duapun tak terasa sudah berlalu, waktu pulang sudah di ambang pintu. Namun liburan Sinta tahun ini agak sedikit mendung, karena penyakit yang berdiam di tubuh sang ibu. Dia tak lagi bisa diajak kompromi dan berusaha menguasai diri sang mentari. Yah begitulah, sosok ibu memang layak diibaratkan sebagai mentari yang menerangi keluarganya pribadi.

Libur tahun ini juga bertepatan pada akhir ramadhan yang akan menyambut hadirnya bulan kemenangan. Kondisi ibu yang semakin tidak kondusif hingga akhirnya ibu dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Betapa memilukan perasaan Sinta waktu itu melihat sang Ibu yang semula bisa dijaga di rumah sekarang harus tidur di rumah yang berbeda.

Gema takbir terdengar jelas dari tempat penginapan baru ibu Sinta. Rasa pilu tak dapat lagi dicegah, namun apalah daya hati yang tak dapat menguraikan kata-kata. Tidak ada lagi momen makan katupek gulai paki, silaturrahmi ke rumah kerabat ataupun bikin kue lebaran seperti biasanya. Sekarang Sinta harus mengurus keperluan ibunya di penginapan baru itu yang tak lain rumah sakit desa.

Seperti rasa yang telah mengikat satu sama lainnya, perasaan duka tak hanya menjumpai Sinta, Ara pun juga kerap merasa sedih menyaksikannya. Di saat semua orang gembira menyambut bulan kemenangan Sinta dan ibunya harus berjuang melawan penyakit yang tengah menyerang. Ara sering mengunjungi Sinta dan ibunya di rumah sakit, walaupun hanya sekedar untuk memberikan canda gurau sebagai pengobat penat seketika. Barulah beberapa hari ke depannya ibu Sinta diizinkan pulang ke rumah.

Seperti jadwal piket yang tertulis rapi pada papan mading asrama, kesembuhan ibu Sinta segera di susul dengan down nya kondisi ayah Sinta. Ibu yang belum bisa apa-apa, sekarang sang ayah yang berperan sebagai tulang punggung keluarga juga tidak bisa bekerja. Memang sepertinya derita lebih senang berdiam diri di tengah harmonisnya hubungan keluarga ini. Beberapa kali sinta sering mengeluhkan keadaannya tatkala mereka bersama.

Sebagai seorang teman yang tidak hanya hadir ketika bahagia namun juga menemani keadaan duka yang melanda. Ara memberikan apa yang ia bisa walaupun hanya sekedar kata-kata pengobat luka. Kondisi yang semakin parah ditambah dengan sang ayah tidak suka perawatan medis hingga akhirnya dirawat di rumah saja. Setiap hari tak ada kabar bahagia yang menghampiri namun rasa resah kerap menghantui akibat kondisi ayah yang sudah terbilang jauh dari kata membaik.

“Aku lelah Ra, lelah dengan seluruh ujian yang silih berganti. Mulai dari tokoku yang kebakaran tahun lalu, kemudian ibu sakit dan sekarang…” isaknya dipangkuan Ara.

“Lelah itu biasa, beristirahatlah! Tapi kamu harus janji gak bakal pernah nyerah. Kamu harus bertahan demi keluargamu, kita harus bagi peran agar segala kondisi segera tertuntaskan,” kata Ara menenangkan.

“Ibu masih dalam masa pemulihan dan belum bisa berbuat banyak. Sedangkan ayah semakin tak berdaya dan tetap tidak mau berobat ke rumah sakit dengan alasan takut disuntik. Aku benar-benar gak tau harus berbuat apa,” rintihnya.

“Intinya jangan nyerah, insya allah kondisi akan segera baik-baik saja,” ucap Ara.

Tepat pada hari yang kesepuluh ayah Sinta dirawat di rumah kondisinya semakin mengalami penurunan. Keluarga besar ayahnya langsung membuat kebijakan untuk segera memberikan perawatan medis yang sewajarnya. Sang ayah tak kuasa lagi berkata untuk memberikan penolakan. Tubuh yang tergeletak lunglai itu hanya pasrah pada keadaan ataupun menunggu sang malaikat datang untuk memberikan kedamaian.

Tuhan yang belum menghendaki berpulangnya insan yang tengah melalui perjuangan kehidupan. Beruntung pada waktu itu ayah Sinta cepat mendapatkan perawatan medis karena penyakit diabetes yang menyerang sang ayah telah berkolaborasi membentuk penyakit kulit yang sudah pada fase tetanus. Terlambat memberi penanganan mungkin malaikat Israil terpaksa datang menjemputnya. Keberuntungan masih berpihak walau banyak duka yang mesti dikenang. Pada akhirnya sang ayah mendapatkan pertolongan jua dan kembali pulih seperti kondisi sediakala.

Masa-masa libur tahun ini memang dapat dikatakan suram bagi Sinta, warna abu-abu seakan datang mengelabui pandangan. Seluruh waktu libur ia kerahkan untuk mengurus kedua orang tuanya. Sebagai anak perempuan pertama ia merasa bertanggung jawab atas hal yang demikian. Ketika ayahnya sakit dia juga menjadi perawat yang paling handal. Ia menggantikan posisi ibu yang belum bisa merawat sang suami akibat kodisi tubuh yang belum mengizinkan.

Namun pada liburan tahun itu pula Ara banyak menghabiskan waktu bersama Sinta yang tak lain merupakan jelmaan kembaran baru yang mereka perbincangkan. Liburan semester berakhir dan tuntutan telah menunggu seperti rutinitas biasanya. Dengan hati yang berat Sinta harus cuti sebagai perawat sang ayah. Kebetulan waktu itu kondisi ayah sudah membaik dan beberapa hari ke depan sudah bisa dibawa pulang. Karena Sinta yang sudah kembali ke kota, Aralah yang menyambut kepulangan sang ayah dari rumah sakit.

“Aku titip keluargaku ya Ra. Aku harus balik ke kota untuk melanjutkan studiku, tapi aku janji akan segera kembali,” pesannya ketika menunggu mobil yang akan membawanya ke kota.

“Insya allah akan aku bantu sebisaku, kamu tenanglah di sana. Walau raga tak bisa bertemu, kita akan tetap bersatu dalam komunikasi via telepon tiap harinya,” kataku.

Beberapa minggu setelah itu, Ara juga kembali memulai dan menikmati rutinitas perkuliahan seperti biasanya. Kabar bahagia itu datang dari seringnya telepon genggam yang mengabarkan ayah Sinta sudah sehat dan mulai bisa bekerja seperti biasa. Ara dan Sinta seperti layaknya saudara yang saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan satu sama lainnya. Walaupun semenjak liburan itu pertemuan kami bisa dibilang tidak ada akibat kesibukan masing-masing. Namun komunikasi tetap selalu terjaga dan saling ingat tatkala suka duka datang menyapa.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Mimpi yang Tak Akan Jadi Kenangan

Next Post

M. Yusuf Rahman Nahkodai DPC Imapar UIN IB Periode 2021-2022

Related Posts

Tentang Diri

Oleh: Athaya Syahla Hanifah Rania menghidupkan data seluler, lalu meng-klik salah satu aplikasi yang selalu menjadi target atas…
Selengkapnya
Total
0
Share