Suarakampus.com- Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum, Universitas Andalas mencatat bahwa telah terjadi pelanggaran hak konstitusional di tengah pandemi selama tahun 2020. Hal tersebut disampaikan dalam catatan akhir tahun PUSaKO yang dilangsungkan secara virtual, Senin (11/01).
Berdasarkan laporan PUSaKO ada empat hal yang dikritisi dalam berhukum dan bernegara sepanjang 2020, di antaranya proses pembentukan undang-undang (UU) yang tidak partisipatif, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi, penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi serta menyempitnya ruang kebebasan berpendapat.
Menurut PUSaKO, pandemi yang berlangsung hampir di sepanjang 2020 telah mengakibatkan ketidakstabilan dalam proses berhukum dan penyelenggaraan negara.
“Tahun 2021 belum menjamin covid akan berakhir, sehingga kita harus mengantisipasi agar masalah-masalah hukum di 2020 tidak terulang kembali,” kata Peneliti Muda PUSaKO, Hemi Lavour Febrinandez.
Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan DPR bersama Pemerintah tidak menggambarkan kepentingan masyarakat di tengah pandemi. UU yang disahkan juga terbilang minim, hanya tiga UU dari 37 RUU yang masuk dalam prolegnas prioritas, yakni UU Cipta Kerja, UU Minerba dan UU Bea Materai dan revisi terhadap UU Mahkamah Konstitusi.
“Kita sangat menyayangkan di tengah pandemi yang lebih diutamakan adalah menambah masa jabatan hakim konstitusi yang mulanya lima tahun menjadi hingga usia pensiun,” kata Hemi.
Hemi juga mengatakan, penyelenggaraan Pilkada di tengah Pandemi pada tanggal 9 Desember lalu membuktikan ketidaksiapan pemerintah. “Di dalam Perpu tentang Pilkada telah dijelaskan dalam pasal perubahannya bahwa ketika dianggap bencana non-alam itu masih terjadi maka Pilkada masih dapat ditunda,” ungkapnya.
“Dalam hal ini, pilkada mestinya dapat ditunda, namun pemerintah terkesan tergesa-gesa dan memutuskan untuk tetap melaksanakan pilkada di tengah lonjakan pandemi, sehingga membahayakan nyawa masyarakat,” katanya.
Lanjutnya, pada Juli 2020 rasa keadilan masyarakat juga dicederai oleh vonis majelis hakim yang hanya menghukum ringan kedua pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Kasus yang telah bergulir sejak tahun 2017 itu baru dapat diselesaikan pada 2020.
“Sejatinya kasus ini masih menjadi tanda tanya karena tidak ada upaya pengembangan fakta-fakta yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Seharusnya kasus-kasus seperti ini menjadi fokus perbaikan ke depannya, sebab efeknya bukan hanya terhadap korban, namun juga rasa kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum yang ada,” katanya.
Peneliti PUSaKO lainnya, Nisa Amerta menyatakan bahwa banyaknya diskusi-diskusi yang dibubarkan oleh aparat. “Ranah akademik yang seharusnya menjadi ruang luas untuk menyampaikan pendapat atau ekspresi malah direduksi,” kata Nisa.
Selama Pandemi kita dihadapkan pada keadaan khusus yang tidak dapat melakukan aksi secara bebas karena harus mematuhi protokol kesehatan. “Pembubaran Aksi penolakan yang dilakukan aparat pemerintah disertai dengan kekerasan terhadap masyarakat dan mahasiswa terkait Undang-undang Omnibus Law juga menjadi catatan pada tahun ini,” lanjutnya.
Nisa merujuk kepada Pasal 18 ayat 1 Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, disebutkan bahwa siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan UU ini dipidana penjara paling lama satu tahun.
Sementara itu, soal pembatasan kebebasan berpendapat, menurut peneliti senior PUSaKO Charles Simabura, baru-baru ini penggunaan UU Ormas tak hanya melihatkan tindakan represif oleh negara. Untuk iu, Charles menilai bahwa negara tidak serta merta membubarkan ormas karena dinilai tidak sejalan dengan pemerintah.
“Negara juga perlu menyediakan ruang responsif serta negara juga perlu memfasilitasi dan melakukan pembinaan terhadap ormas,” katanya.
Wartawan: Nada Andini (Mg)