Rasisme Kontruksi Sosial Budaya Masa Lalu

Suasana diskusi budaya (Foto: Tantri/suarakampus.com)

Suarakampus.com- Bidang Advokasi dan Kajian Departemen Riset Kajian Budaya mengadakan Diskusi Budaya. Mengangkat tema Memahami Rasisme di Indonesia Sebagai Konstruksi Sosial Budaya dan Bagaimana Ia Terbentuk di Masyarakat, kegiatan ini digelar via zoom meeting, Sabtu (27/03).

Diskusi ini mendatangkan dua pemateri sekaligus, yakni Dosen Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran, Gani Ahmad Jaelani, dan Peneliti dan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gajah Mada phil. Vissia Ita Yulianto

Membuka acara, Gani Ahmad Jaelani menjelaskan rasisme merupakan strategi penguasa terdahulu untuk membedakan etnik manusia dari faktor biologisnya. “Contohnya anak cucu PKI akan tetap dianggap jahat dan menyimpang kendati ia tidak melakukan kesalahan,” katanya.

Ia mengatakan rasisme telah membudaya dengan versi yang berbeda. Dahulu masa kolonial pribumi dipandang rendah karena faktor kemiskinan dan ilmu pengetahuan.

“Bahkan orang yang lahir dari darah campuran antar Eropa dengan pribumi dianggap cacat karena di dalam tubuhnya mengalir darah pribumi,” tuturnya.

Lanjutnya, rasisme kerap disamakan dengan etnosentrisme, seksisme, klasisme dan ageism. “Semua ini dikatakan bagian dari rasisme karena sama-sama membedakan manusia dari segi etnik, jenis kelamin, kelas sosial dan usia,” tuturnya.

Senada dengan itu, Vissia Ita Yulianto juga menuturkan bahwa rasisme adalah sebuah pengelompokkan/klasifikasi manusia berdasarkan ciri fisiknya. “Orang kulit putih dianggap lebih cantik dari pada orang berkulit gelap, sehingga banyak orang yang merasa didiskriminasi,” tuturnya.

Ia menerangkan bahwa rasisme berasal dari logika darwinistik yang percaya bahwa perilaku dan kualitas seseorang ditentukan oleh ciri-ciri biologisnya. “Logika ini telah dipercaya dan menjadi dasar untuk menguasai kelompok lain,” terangnya.

Namun, Ia menuturkan pada zaman sekarang rasisme hadir dengan versi yang berbeda karena masyarakat Indonesia telah merdeka. “Tidak ada lagi pengelompokan etnis oleh penguasa namun secara tidak langsung pengusaha memberikan diskriminasi melalui produknya,” tuturnya.

Menurutnya, Kehadiran produk kecantikan dan filter kamera secara tidak langsung mendatangkan diskriminasi bagi manusia. “Kecantikan ideal dinilai dari kulit yang putih dan badan yang langsing sehingga anak zaman sekarang rela tidak makan demi membeli produk kecantikan untuk terlihat ideal,” ungkapnya. (fga)

Wartawan: Tantri (Mg)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Kongres VI Aspem Sumbar Resmi Dibuka

Next Post

K-Pop Mendominasi Masyarakat di Tengah Pandemi

Related Posts
Total
0
Share