Takdir Allah Lebih Baik dari Rencana Manusia

Group of people studying together at the library, working with a laptop and searching for books

Penulis: Yosi Sriwahyuni

(Mahasiswi IAI Sumbar-Pariaman)

Arsyi Asyifa merupakan seorang siswi tingkat tiga Madrasah. Karena fisiknya yang lemah dan mudah sakit, dia sulit mendapatkan izin dari Ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Walaupun sudah berusaha membujuk, tetap saja hati sang Ibu masih tertutup untuk mengizinkannya.

Arsyi berusaha menerima hal itu, sehingga ia pun tidak ikut serta mendaftarkan diri untuk seleksi hasil rapor yaitu SNMPTN dan SPAN-PTKIN. Sahabat, teman-teman, dan gurunya sangat menyayangkan keputusan gadis itu. Namun perjuangannya belum berakhir, dia masih bisa berdoa, pikirnya. Arsyi memutuskan untuk salat istikharah meminta kemantapan hati dari Tuhan, agar ia berlapang dada menerima keputusan itu. Jika memang ini yang terbaik, kuatkan hati ini menjalaninya. Namun, jika masih ada jalan, berilah dia petunjuknya.

Beberapa bulan kemudian, ujian nasional telah siap dilaksanakan dan hasil kelulusan pun sudah ke luar. Esok harinya, dengan air mata yang ditahan agar tidak jatuh lagi, gadis itu berusaha ikhlas dan memantapkan langkahnya untuk pergi mendaftar ke kampus swasta di kampungnya. Tiba-tiba, Ibunya, Ani datang menghampirinya.

“Arsyi, nak kalau memang hatimu masih berkeinginan untuk kuliah ke kota, Ibu izinkan. Tapi ingat, kamu harus pandai menjaga diri dan kesehatanmu. Jika kamu sakit, Ibu akan memindahkan kamu kuliah di sini,” tegas Ibunya.

“Baik, Bu. Arsyi janji akan jaga kesehatan dengan baik.” Dengan tangis haru, Arsyi memeluk ibunya. Alhamdulillah, sungguh Maha Baiknya Allah, Sang Pemilik Hati, mudah sekali bagi-Nya membolak-balikan hati hamba-Nya, gumam Arsyi dalam hatinya.

Karena saat itu yang tersisa adalah jalur seleksi UM-PTKIN, gadis itu pun memutuskan mendaftarkan dirinya ke Universitas Islam sebagai tempat menuntut ilmu.


Tibalah saatnya ujian seleksi UM-PTKIN dilaksanakan, di dalam ruangan banyak sekali peserta ujian, Arsyi duduk di pojok paling depan. Walaupun merasa gugup, Arsyi berusaha untuk santai mengerjakan soal demi soal. Beberapa hari kemudian, keluarlah hasil UM-PTKIN. Alhamdulillah, Arsyi lulus pada pilihan pertamanya.


Orang tua Arsyi bekerja sebagai pedagang sembako, mereka berjuang mencari uang untuk membiayai pendidikan putri sulungnya itu dan ketiga adik Arsyi. Melihat kedua orang tuanya yang bekerja dari subuh hingga malam, membuat Arsyi tidak tega jika harus membayar lelah dan peluh mereka dengan kekecewaan. Namun, manusia hanya bisa menjalankan sementara Tuhanlah yang menentukan. Manusia bisa saja mempunyai keinginan, namun Allah lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya.


Sepulang dari kampus, gadis itu menghempaskan badannya ke atas kasur. Dia merasa lelah dan letih yang amat berat, badannya menggigil kedinginan, kepalanya pusing sekali. Di semester tiga ini Arsyi sering sakit karena mengikuti beberapa kegiatan di kampus. Ia merasa jenuh jika rutinitasnya setiap hari hanya sekedar kuliah, kos dan pulang. Jauh dari keluarga membuatnya berusaha untuk tetap kuat, walaupun merasa lemah sekali.

Kakak kosnya, Ratna mencoba merawatnya untuk beberapa hari. Dia memutuskan untuk tidak memberitahu orang tuanya karena takut mereka akan khawatir dan memindahkannya. Gadis itu mengira dia hanya sakit biasa, paling tiga hari pasti sembuh. Namun ternyata tidak, sakitnya bertambah parah, sudah lima hari dia tidak masuk kelas. Untung saja selama dia sakit, di kampus ada acara seminar dan dosen-dosennya juga sibuk, ada yang tidak hadir dan ada yang menjadi penguji skripsi sehingga dia tidak mengkhawatirkan absennya.

Ibu kos Arsyi datang melihatnya, mengusap kepala Arsyi yang begitu pucat. “Pulanglah, Nak! Rawatlah oleh keluargamu, Ibu tidak tega melihatmu seperti ini, kalau sudah sembuh kembalilah ke sini,” pinta Ibu Des kepadanya dengan lembut. Beliau begitu khawatir terhadap gadis itu. Arsyi dengan Ibu kosnya sangat dekat, mereka sering bercerita bersama.“Iya Bu, besok Arsyi, akan pulang kampung, Bu.” Jawab Arsyi, lirih.

Pagi ini pusing kepalanya sudah sedikit mereda. Gadis itu mengecek uang sakunya, “Hanya tinggal enam belas ribu, lima ribu untuk beli tiket kereta dan enam ribu untuk naik ojek dari stasiun ke rumahku, sisa uang ku hanya bisa untuk naik angkot ke stasiun,” gumam Arsyi.

Tiba-tiba Ibu kos datang menghampiri Arsyi ke kamarnya, “Arsyi, kamu pulang naik apa nak?” tanya Ibu Des kepadanya.

“Arsyi naik angkot Ibu,” jawabnya singkat. “Kok naik angkot? kamu akan berjalan keluar sampai gang untuk mencari angkot? Ini Ibu ada sedikit uang, kamu pulang naik go-jek ya. Lihatlah muka kamu pucat sekali, Ibu takut kamu pingsan di tengah jalan,” pintanya pada Arsyi.

“Terimakasih ya, Bu.” Arsyi pun mengeluarkan ponselnya dan memesan go-jek ke stasiun kereta api. Setibanya di rumah, “Ya Allah, Arsyi. Kenapa pucat begini, Nak? Kamu sakit kenapa tidak memberitahu Ibu?” tanya Ibu pada Arsyi.

“Maafkan Arsyi, Ibu. Arsyi gagal menjaga kesehatan Arsyi,” ucap Arsyi lirih. “Tidak usah dipikirkan dulu, Nak. Kesehatanmu jauh lebih penting,” ujar Ibu Ani.

Besoknya Ibu Ani membawa Arsyi ke dokter Idris. Ibunda Arsyi mengatakan kalau sudah seminggu ini sakit dan belum sembuh. Setelah di periksa, melihat kondisi Arsyi dokter menyuruh perawat menyuntik dan mengambil darah gadis itu untuk di cek di laboratorium. Setelah 2 jam menungu hasil lab, dokter mengatakan kalau Arsyi terkena tipus dan hemoglobinnya rendah, setengah dari Hb normal bagi perempuan, serta perlu transfusi darah.

Ibu tidak mengizinkan untuk melakukan transfusi darah karena khawatir efek sampingnya akan membuat sakit gadis itu bertambah parah. Arsyi pun percaya saja pada naluri sang Ibu. Beliau memutuskan untuk merawatnya di rumah dan memberikannya obat penambah darah.

Dalam doa, Arsyi memohon agar diberi kesempatan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya dan dia ingin sehat. Akhirnya setelah sehat, Arsyi menuntaskan masa semester tiga di kampusnya dan dia dipindahkan ke kampus swasta.

“Sedih? Kecewa? Pasti, tetapi Aku akan belajar ikhlas dan sabar menjalankan takdir ini,” ujar Arsyi menguatkan hatinya.

Arsyi menceritakannya kepada tantenya, Lin yang telah dia anggap sebagai Ibu kedua karena beliau yang lebih paham bagaimana kepribadian Arsyi.

“Nte, Arsyi merasa tak kuat. Arsyi telah bikin Ayah dan Ibu kecewa, Arsyi merasa tidak berguna dan malah ada teman Arsyi yang berkata bodoh kamu, rugi tau,” Sambil menangis Arsyi mencurahkan isi hatinya pada tantenya.

“Arsyi, kamu masih bersyukur diberi kesempatan untuk kuliah. Banyak orang di luar sana yang tidak mendapatkan kesempatan sepertimu. Niatkan melanjutkan pendidikan itu sebagai bentuk mentaati perintah Allah, jangan pedulikan omongan orang dan ingat hati itu punya ruang dan tidak semua masalah masuk ke dalam bilik hati. Cukup masalah akhiratlah yang membuat hatimu bersedih, urusan dunia cukup sekadarnya. Perbanyak istighfar, ingat kepada Allah dan tetaplah salat,” nasehat tante Lin kepada Arsyi.

“Iya, Nte. Arsyi akan ingat pesan tante dan juga janji tidak akan mengecewakan siapapun. Untuk kali ini, Arsyi akan melanjutkan pendidikan ini dengan baik sampai akhir, Insya Allah,” ucap Arsyi dengan senyum penuh semangat. (rta)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Rektor UIN IB Serahkan Berkas Bakal Calon Rektor Pada Senat

Next Post

“Si Muntu” Keliling Kampung, Momen Unik Perayaan Idulfitri di Pesisir Selatan

Related Posts

Rumah

Oleh: Kholilah Tri Julianda (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang) Tempat yang awalnya menjadi perlindunganBerganti menjadi tempat bersautnya teriakan…
Selengkapnya
Total
0
Share
Just a moment...