Suarakampus.com- Kebebasan pers di era pemerintahan Presiden Joko Widodo menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks. Hal ini terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta melalui platform Zoom dan YouTube di channel AJI Jakarta Official.
Menurut Robert, salah satu pembicara dalam diskusi itu, kekerasan terhadap jurnalis telah beralih dari bentuk alamiah menjadi lebih terstruktur. “Sejarah struktur sosial, ekonomi, dan kekuasaan mengubah sifat kekerasan menjadi lebih struktural,” ujarnya.
Lalu, ia menjelaskan tiga jenis kekerasan yang dikemukakan oleh Johan Galtung, yaitu kekerasan langsung, struktural, dan kultural. “Kekerasan struktural bisa mendasari kekerasan langsung dan kekerasan kultural,” tambahnya.
Sementara itu, Rica dari majalah Tempo menyoroti upaya pemerintah untuk mendelegitimasi peran jurnalis. “Merujuk pada kasus wawancara pura-pura yang melibatkan Presiden JokowiJokowi, ” katanya.
Rica juga menekankan pentingnya independensi media dalam menghadapi tekanan. “Tempo tentu saja punya sejarah panjangnya, dan semacam itu saya kira menjadi biasa saja,” ungkapnya.
Kemudian, Nanik dari AJI mencatat bahwa indeks kebebasan pers Indonesia mengalami penurunan yang drastis. “Tahun 2023 posisi pers menurut Reporters Without Borders itu di tingkat 108, sekarang malah menjadi 111,” jelasnya.
Nanik juga menyoroti berbagai undang-undang yang berpotensi mengancam kebebasan pers, seperti UU ITE dan UU PDP. “Yang paling dikhawatirkan ya teman-teman wartawan bakal terjerat karena ini berlaku untuk media dan jurnalisnya,” tegasnya.
Lalu, Cikita selaku seorang pengacara, menekankan pentingnya upaya preventif dalam menghadapi ancaman terhadap kebebasan pers. “Hal yang dapat dilakukan adalah mengawal penyusunan kebijakan sejak awal,” sarannya. (hkm)
Wartawan: Verlandi Putra, Nur Hikmah Nasution