Akhirnya sudah dua tahun lebih aku kembali menjalani hidup yang aku impikan. Damai, tidak memiliki hubungan dengan siapapun dan mempunyai satu sahabat yang selalu ada selain keluarga. Cukup tenang dan begitu tentram. Masalah yang aku hadapi hanya seputar pekerjaan kantor dan tugas kuliah yang tidak ada habisnya. Yaah begitulah kalau kerja sambil kuliah tantangannya deadline yang selalu mepet dan jadwal yang tabrakan.
Aku Nahwa salah satu mahasiswi semester tujuh dengan jurusan akuntansi yang sedang magang disebuah perusahaan yang lumayan ternama di kotaku. Aku pikir dengan menyibukkan diri dengan kuliah sambil kerja membuat aku akan lupa dengan makhluk menyebalkan dari masa lalu tapi ternyata aku salah. Hidupku yang sudah damai kini kembali berantakan saat kemunculan manusia tidak diundang dalam kehidupanku. Jika aku tidak mengambil mata kuliah itu pasti aku tidak akan bertemu dengannya.
“Wa! Bangun kebo!”
Seseorang mengguncang tubuhku dengan kasar, menyadarkan aku dari alam mimpi. Aku mengusap wajah yang lelah karena semalam bergadang membuat laporan di kantor. Aku mendongak menatap Alin yang sudah duduk dengan baju rapi dan rambut yang klimis.
Aku memperbaiki dudukku menatap lurus ke depan, di sana sudah ada dosen laki-laki yang terlihat sangat muda dari biasanya. Aku mengucek mata berusaha memfokuskan penglihatan ku kepada sesosok yang tampak tidak begitu asing.
“Lin, aku ga salah liat kan?” tanyaku kepada Alin dengan setengah berbisik.
Alin menoleh menatapku khawatir sambil menghela nafas panjang “Iya itu dia” jawabnya singkat dapat membuat jantungku berdegup kencang, seketika wajahku pucat seperti baru saja melihat setan, yaah beneran setan yang ada di depan kelas sekarang. Aku bisa gila jika itu benar dia.
“Oke class, kenalin saya Aryo asisten Prof. Ruby yang akan mengajar disini selama tiga bulan ke depan karena beliau sedang ada urusan di Hongkong”, suara berat itu memenuhi ruang kelas yang sempat sepi beberapa detik. Mata Aryo menatapku sebentar lalu tersenyum miring membuatku kesal dengan sikapnya, dia mengejekku?
Ini petaka. Aryo adalah mantan kekasihku beberapa tahun yang lalu. Dulu dia adalah seniorku dan kami menjalin hubungan hanya enam bulan, saat itu dia skripsi dan aku masih mahasiswa baru di universitas ini. Awal pertemuanku dengannya tidak begitu spesial, aku hanya tidak sengaja meminjam buku senior yang ternyata itu adalah milik Aryo. Dia dulu di kenal sebagai mahasiswa yang pintar di jurusan seangkatannya. Ia menyelesaikan kuliahnya 3,5 tahun dengan IPK yang fantastis.
“Jadi dosen pas udah dijadiin mantan, coba aja pas pacaran dulu kan enak nilai kamu aman Wa”. Celetuk Alin seenaknya sambil menyeruput kopi dingin yang ia beli saat selesai kelas dengan Aryo tadi.
“Bisa diem ga” ketus ku memelototi Alin yang hanya terkekeh pelan melihat wajahku yang ditekuk abis.
Aku merengek pelan merutuki nasib yang tidak begitu memihak kepadaku, tiga bulan lamanya aku harus melihat wajahnya setiap hari senin, aah aku semakin muak dengan hari senin. Hari-hariku akan kembali suram seperti dulu meskipun rasa sebalnya tentu sudah tidak sama lagi, dulu dia kekasih sekarang dia adalah dosen. Khilaf-khilaf nanti nilai ku bisa E.
Hari terus berlalu mau bagaimanapun aku berteriak tidak suka tetap saja akan bertemu dengan Aryo di setiap hari senin pagi. Tidak terasa ternyata aku sudah melewati satu bulan lebih di mata kuliah yang di ajarkan oleh Aryo, sejauh ini masih berjalan aman-aman saja kadang saat dikelas Aryo sesekali melempar senyumannya ketika memanggil namaku saat presensi. Muak sekali.
“Untuk tugas-tugas kalian tidak usah dikumpulkan ke ketua kelas tapi kumpul ke Nahwa saja, bisa kan Nahwa?” pinta Aryo sambil tersenyum manis, yaah senyuman yang dulu menjadi favoritku tapi sekarang membuatku mual.
“kenapa harus saya ya pak? Kan ketua kelas ada” balasku menatapnya sinis
Alin menyikut lenganku menatap sambil menggelengkan kepala, menyadarkan bahwa posisiku yang sekarang adalah seorang mahasiswi yang sangat butuh nilai meskipun Aryo dosen yang menyebalkan.
Aku menghela nafas panjang menatap Aryo yang masih setia dengan senyum andalannya “Baik pak, minggu depan saya antar keruangan bapak, terimakasih telah mempercayai saya atas tanggung jawab ini” jawabku dengan nada penuh penekanan sambil meremas kertas yang berada di atas meja.
“Oke saya tunggu jam tiga sore nanti, jangan ngaret ya”, ujar Aryo kemudian melangkah kaki meninggalkan ruangan kelas yang sempat panas akibat terbakar emosi.
Kini kerjaan ku menjadi bertambah karena laki-laki jahanam itu membuat ulah, aku tidak habis pikir kenapa aku bisa pacaran dengan orang gila seperti dia.
Sudah pukul enam sore aku pamit pulang dengan beberapa teman kantorku lalu pergi ke perpustakaan daerah yang tidak jauh dari kampus, di sana aku sudah berjanji dengan Alin akan mengerjakan tugas bersama.
Aku tidak tahu ini adalah hari apes atau bagaimana, saat hendak memarkirkan motor di depan gedung perpustakaan daerah, aku tidak sengaja menabrak mobil sedan hitam yang terparkir anggun di sana. Aku terkejut saat alarm mobil itu berbunyi dengan cepat aku kabur dan untung saja tidak ada yang tahu. Aku melihat ada goresan yang agak besar di bagian belakang mobil itu, bukannya tidak bertanggung jawab hanya saja aku kepepet dan sedang tidak punya uang juga untuk ganti rugi, lagian siapa suruh pakai mobil ke sini.
Aku masuk ke perpustakaan dengan wajah yang sudah sangat kusam pastinya, aku melihat Alin dan beberapa teman lainnya juga duduk disebuah meja di bagian pojok ruangan. Aku menyapa mereka dengan senyum simpul.
“Lama banget” ujar Alin saat aku hendak duduk di sebelahnya.
“Aku udah pake motor dengan kecepatan seribu ya, tidak usah komen” jawabku dengan nada agak tinggi.
“Lebay” Alin menyodorkan sebungkus sandwich dan sekotak susu kepadaku
“Nih ambil, muka kamu udah kaya gembel tidak makan sebulan soalnya” ujar Alin lagi dengan sedikit pelan karena takut mengganggu teman yang lain sedang belajar.
Aku menerima pemberian itu dengan senang hati, tanpa basa-basi aku langsung membasmi sandwich itu dengan beberapa kali gigitan saja. Alin berinisiatif untuk mengikat rambutku yang sudah seperti bulu singa.
“Setidaknya keramas lah Wa” ujar Alin sambil menguncir rambutku dengan gelang karetnya. Aku hanya mengangguk pelan tanpa menjawab, mataku tetap fokus dengan layar monitor.
Kalian kalo pacaran mending keluar aja deh, berasa nyamuk kita di sini” celetuk Bragi yang merupakan teman se kelasku.
Aku memukulnya spontan dengan buku cetak yang ada di atas meja “berisik banget jomblo”, ketusku
Alin tidak menggubris ucapan Bragi, karena ocehan sampah seperti itu sering sekali ia dengar. Tidak hanya Bragi tetapi juga teman-teman kelas lainnya mereka menganggapku dan Alin menjalin hubungan.
Aku tidak tahu kenapa waktu begitu cepat berputar seolah-olah sangat semangat mempertemukanku dan Aryo, ya lagi-lagi Senin. Aku berjalan di sepanjang koridor dengan tumpukan makalah yang sudah berada di pangkuanku, Alin menawarkan untuk membantu tetapi aku menolak karena ia ada kelas tambahan hari ini.
Alin memang sudah aku anggap seperti saudara tapi terkadang aku merasa tidak enak hati harus selalu merepotkannya apalagi semenjak aku putus dengan Aryo waktu itu, Alin lah yang selalu aku repotkan.
Aku mengetuk pintu coklat tua, di dalam ruangan terlihat sepi seperti tidak ada orang di dalamnya. Aku mencoba mengintip dari jendela kaca, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam.
“Cari saya?”
Aku terperanjat kaget saat mendengar suara itu muncul tiba-tiba, aku seperti maling yang baru saja tertangkap basah. Aku membalikkan badan, menatap laki-laki yang mengenakan baju batik dan celana dasar panjang, terlihat sangat rapi tidak seperti beberapa tahun yang lalu.
“Iya pak, saya mau menyerahkan tugas sesuai yang bapak minta” ujarku berusaha se formal mungkin agar terlihat professional, padahal hatiku sekarang sudah mau copot.
Aryo tersenyum kemudian membuka ruangan itu, aku tidak pernah melihat Asisten Dosen (Asdos) memiliki ruangan pribadi sebelumnya, tapi entahlah aku juga tidak tahu ini ruangan siapa.
Aryo tidak mengajakku masuk keruangan itu, ia mengambil makalah itu di tanganku tanpa mengatakan sepatah kata pun, membuat suasana semakin canggung.
“Saya permisi pak” ucapku mecoba bersuara setelah beberapa detik hening
“Bisa kamu jelaskan?” ujar Arya terdengar serius membuatku yang hendak melangkah terhenti.
“Maksud bapak apa ya? Saya tidak mengerti”, aku menatap wajahnya yang terlihat datar, posisi kami di depan pintu masuk ruangan jadi, beberapa orang yang lewat memperhatikan kami.
“Alasan kamu melakukan itu ke aku?” tanya Aryo lagi dengan santai.
“Maaf pak, kita sudah tidak ada hubungan lagi, dan itu semua masa lalu. Jangan diungkit-ungkit lagi, dan tolong profesional dengan pekerjaan bapak sekarang. Jangan membawa perasaan dalam memberi saya nilai nanti”, aku menghela nafas panjang “Saya pamit terima kasih”
Aryo menarik pergelangan tanganku tidak membiarkan aku pergi begitu saja, oh tuhan benar-benar menyebalkan. Coba saja aku ke sini bersama Alin pasti tidak ada drama menyedihkan ini.
“Maksud aku, kamu bisa jelasin kenapa nabrak mobil aku, terus main kabur gitu aja?” tanya nya dengan nada mengejek.
Aku menelan ludah kasar, aku lupa jika di perpustakaan itu ada CCTV. Aku merutuki diriku dalam hati, ah betapa bodohnya aku malah membahas masa lalu dengannya. Sangat terlihat jelas kalau aku masih memikirkannya.
“Tapi itu tidak penting, aku cuma butuh penjelasan yang kamu simpan selama tiga tahun”, Aryo kembali memasang wajah datarnya, kembali dengan mata yang sudah terlihat lelah. Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak ingin membahas masa-masa itu lagi.
“Maaf, itu sudah sangat lama berlalu. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, hanya saja saya muak dengan sikap bapak, dan saya ingin berhenti menyakiti diri saya dengan cara menjauhi bapak” ujarku dengan suara yang sedikit bergetar. Ah benar-benar membuatku lelah. Aku melepaskan tangan Aryo yang masih menggenggam pergelangan ku.
Aryo terdiam beberapa detik setelah itu tersenyum kaku “Oke, kalo itu memang keinginan kamu, aku anggap hari ini ga pernah terjadi” ujar Aryo sebelum menutup pintu ruangan, dan membiarkan aku pergi begitu saja. Tidak, aku sama sekali tidak membencinya, aku hanya membenci akhir hubungan ini. Masih teringat jelas bagaimana sikap Aryo, langsung tanpa berpikir panjang menyetujui keputusanku untuk berpisah, tanpa ingin mencoba mempertahankannya sama seperti sekarang.
Angin malam membelai wajahku menggoyangkan anak rambut ke sana kemari, taman komplek perumahan di malam hari sudah sangat sepi. Setelah pulang dari kampus, aku menceritakan semua kejadian yang aku alami sore tadi kepada Alin, sambil menangis Alin hanya diam tidak menanggapi ceritaku. Ia menghela nafas berat, sesekali ia mengusap punggungku mencoba menenangkan. Alin menatap wajahku yang sudah basah oleh air mata.
“Kamu terlalu fokus dengan orang di masa lalu hingga, lupa dengan orang yang ada depanmu” ujar Alin pelan.
Alin benar, saat ini mataku masih menoleh ke belakang, semenjak tiga tahun yang lalu, bohong jika aku lupa dengan semua tentang Aryo. Meski sudah berusaha menyibukkan diri tetapi, tetap saja tidak ada perubahan dalam diriku. Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang aku harapkan dari hubungan aku dan Aryo, di satu sisi aku ingin kita seperti dulu tetapi, di sisi lain aku muak dengan sikapnya yang seolah-olah tidak merasa bersalah. Sekarang hubunganku dengan Aryo bagaikan hujan lebat di malam hari, dingin dan tidak ada pelangi. Ah, sudahlah itu masa lalu dan tidak akan terulang kembali meskipun indah untuk dikenang tetapi tidak untuk diulang.
Penulis: Zulis Marni (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)