Cahaya Tradisi: Pesona Festival Lampu Colok di Bengkalis Saat Ramadan

Acara Festival Lampu Colok pada malam Ramadhan yang ke-27. (Sumber: Elsa Mayora/suarakampus.com)

Malam di Bengkalis terasa berbeda ketika Ramadan tiba. Jalan-jalan kampung yang biasanya sunyi kini bermandikan cahaya dari ribuan lampu colok yang berbaris rapi. Cahaya kecil dari sumbu yang terendam minyak solar itu berkumpul menjadi lautan cahaya, membentuk pola-pola menakjubkan masjid, kaligrafi, hingga berbagai simbol tradisi Melayu.

Setiap tahun, penduduk Bengkalis menantikan malam ke-27 Ramadan, puncak dari Festival Lampu Colok yang telah menjadi identitas budaya kabupaten di Provinsi Riau ini. Masyarakat berlomba menciptakan susunan lampu colok paling megah dan indah, mempertahankan warisan budaya yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

Dulunya lampu colok ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar, namun dikarnakan harga melonjat tinggi, penggunaan bahan bakar di ganti dengan solar.

Festival lampu colok juga sebagai pengingat bahwa malam Lailatul Qadar sudah dekat, dulunya lampu colok berguna untuk menerangi jalan warga menuju masjid. Namun kini, lampu colok di hias dengan bentuk berbagai macam dan hampir seluruh warga ikut berpartisipasi dalam pembuatan lampu colok ini.

Perjalanan Menyusuri Cahaya
Begitu kaki melangkah ke salah satu desa di bengalis, tepatnya di Duri, Simpang Padang, Kecamatan Bathin Solapan, pengunjung disambut hangatnya cahaya dan aroma khas minyak solar yang terbakar. Anak-anak berlarian dengan riang, sementara para pemuda dengan cekatan menyalakan satu per satu lampu colok yang tersusun rapi pada rangka kayu.

“Festival lampu colok ini digelar mulai malam ke-27 Ramadan hingga malam takbiran. Nantinya akan dilombakan tingkat Kabupaten,” jelas seorang ketua pelaksana, Maulana Mahi Hendra sambil memandu pengunjung melihat karya-karya lampu colok dari dekat.

Dari satu titik ke titik lainnya, keindahan lampu colok terasa semakin magis. Bangunan berbentuk masjid berdiri megah dengan detail mengagumkan, bercahaya indah menerangi kegelapan malam.

Tradisi yang Beradaptasi dengan Zaman
Lampu colok awalnya menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Namun, seiring melonjaknya harga, masyarakat beradaptasi dengan menggantinya menggunakan minyak solar. Meski begitu, esensi tradisinya tetap terjaga.

Dulunya, lampu colok berfungsi sebagai penerang jalan bagi warga menuju masjid, sekaligus pengingat bahwa malam Lailatul Qadar sudah dekat. Kini, tradisi itu berkembang menjadi festival seni yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua. Mulai dari mengumpulkan kaleng atau botol bekas, merangkai pola, hingga menyalakan lampu semuanya dilakukan dengan semangat gotong royong.

Tantangan dan Harapan
Di balik kemeriahan festival, terdapat tantangan yang harus dihadapi. Dana menjadi salah satu kendala utama dalam pembuatan lampu colok. “Tahun ini dana yang dikeluarkan untuk pembuatan lampu colok berkisar 16 juta,” ungkap salah seorang panitia.

Meski begitu, semangat melestarikan tradisi tetap menyala. Pemerintah daerah dan komunitas budaya terus berupaya mempromosikan festival agar tetap lestari dan dikenal lebih luas. Festival ini bahkan telah menjadi daya tarik wisata yang mendatangkan pengunjung dari berbagai daerah hingga mancanegara.

Kenangan yang Tak Terlupakan
Saat malam semakin larut, saya duduk di salah satu sudut desa, menikmati pemandangan lampu colok yang masih menyala tenang. Cahaya temaramnya membawa kehangatan, bukan hanya di jalanan, tetapi juga di hati setiap orang yang menyaksikannya.

Saya mendatangi salah satu muda mudi yang tengah menyaksikan Festival Lampu Colok ini dengan antusias.

Lola Fitaloka, salah satu pengunjung, mengungkapkan kesenangannya menyambut festival lampu colok. “Ini event tahunan, rugi sekali jika dilewatkan,” katanya dengan senyum bahagia.

Saat malam semakin larut, pemandangan lampu colok yang masih menyala tenang menciptakan atmosfer yang hangat dan menenangkan. Cahaya temaramnya tidak hanya menerangi jalanan, tetapi juga menghangatkan hati setiap orang yang menyaksikannya.

“Semoga ke depannya tetap terlaksana dan di tempat yang lebih luas,” harap Lola.

Festival Lampu Colok Bengkalis bukan sekadar tontonan, melainkan perjalanan waktu mengenang masa lalu, merayakan kebersamaan, dan menjaga agar cahaya tradisi ini terus menerangi generasi mendatang. (Lya)

Wartawan: Elsa Mayora

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Daun yang Jatuh

Next Post

Kopi Malam

Related Posts
Total
0
Share
Checking your browser before accessing...