Suarakampus.com- Anak memiliki perasaan yang sangat sensitif, ketika orang tuanya bercerai (broken home) akan banyak perasaan yang timbul dan sulit untuk dijelaskan. Usia anak menjadi salah satu hal yang mempengaruhi mereka dalam mengontrol perasaan pasca perceraian.
Anak usia balita mungkin belum paham apa itu perceraian. Namun seiring berjalannya waktu, anak akan menyadari bahwa ada yang berbeda antara keluarganya dengan keluarga orang lain.
Sementara itu, anak yang telah memasuki usia remaja akan cukup peka dengan perceraian yang terjadi, meskipun mereka mungkin terlihat tidak peduli.
Meskipun demikian, setiap anak yang mengalami situasi broken home pasti memiliki perasaan yang sulit untuk dilupakan, bahkan ada juga yang mengalami trauma.
Berikut ada beberapa hal yang umumnya dirasakan anak ketika terjadi broken home yang dikutip dari berbagai sumber:
Perasaan Marah
Perasaan marah pada anak bisa saja muncul dari rasa kecewa terhadap perceraian orang tuanya. Anak akan merasa tidak adil karena perasaan mereka juga ikut dikorbankan akibat peristiwa tersebut.
Anak bisa mengungkapkan perasaan marahnya dalam berbagai aksi. Misalnya memilih marah dalam diam, tidak banyak bicara, atau justru bicara seperlunya. Namun, ada juga yang memilih untuk mengungkapkan rasa marah dari kekecewaan yang ada. Apabila Anak memilih untuk marah dalam diam, orang tua sebaiknya mengajak anak berkomunikasi agar perasaan ini tidak terpendam terlalu lama.
Perasaan Rapuh
Tidak hanya orang dewasa yang mengalami patah hati ketika putus cinta. Anak pun akan merasa hatinya hancur ketika orang tuanya berpisah akibat perceraian. Hal ini dapat menjadi titik terendah dalam hidup anak yang akan ia wujudkan dalam tangisan.
Perasaan Kesepian
Rasa kesepian pada anak akan muncul pasca perceraian, sebab sebelumnya anak terbiasa melihat kedua orang tuanya tinggal dalam rumah yang sama. Namun, setelah perceraian kedua orang tuanya hidup terpisah.
Anak yang biasanya terbuka akan menjadi lebih tertutup. Kebanyakan anak akan memilih untuk menghindari keramaian dan lebih memilih menyendiri. Ketika anak menjadi tertutup, tidak jarang mereka akan berpura-pura tegar di depan banyak orang. Mereka tidak mau orang lain tahu dan bertanya tentang apa yang terjadi padanya.
Anak mungkin akan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab perceraian orang tuanya. Oleh karena itu, kesepian juga dapat memicu depresi apabila tidak ditangani dengan benar.
Perasaan Sensitif
Setelah perceraian orang tuanya, anak akan cendrung mudah marah, sedih, maupun tersinggung ketika menghadapi suatu masalah. Hal ini bisa saja terjadi karena keadaan mental anak yang sedang tidak stabil.
Itulah di antaranya dampak broken home yang dialami setiap anak. Untuk mengantisipasi supaya mental anak tetap terjaga pasca perceraian orang tuanya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tuanya, yaitu:
Menjaga Komunikasi dengan Baik
Komunikasi yang terjalin dengan baik akan membangun rasa kepercayaan antara orang tua dan anak. Dengan komunikasi yang lancar, anak tidak akan merasa sendirian terlalu lama pasca perceraian.
Orang tua bisa mengajak anak untuk sering berdiskusi agar ia lebih terbuka, daripada dibiarkan memendam perasaan sedih dan kecewanya sendiri. Mulailah berdiskusi dengan pembicaraan yang ringan, misalnya mengenai kegiatan sehari-hari yang dilakukan anak. Namun, apabila anak belum mau untuk berbicara, berikan ia waktu untuk sendiri.
Menjaga Kebersamaan
Kebersamaan orang tua dengan anak akan membuat mereka menjadi merasa aman dan nyaman. Meskipun anda dan pasangan sudah tidak tinggal seatap lagi, luangkanlah waktu agar anak bisa berkumpul bersama kedua orang tuanya, meskipun tidak terlalu lama. Anda juga bisa mengajak anak untuk pergi ke tempat yang belum kalian datangi bersama. Mengunjungi tempat baru akan memberikan pengalaman baru untuk anak. (rta)
Penulis: Rahman Ilham S (Mahasiswa UIN IB Padang)