Oleh: Verlandi Putra
(Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan)
Matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan. Langit berubah jingga, seolah malu menyaksikan apa yang sedang berlangsung di tengah pekarangan masjid kecil itu. Suara anak-anak mengaji terdengar sayup, bercampur dengan desiran angin yang menyapu dedaunan.
Fahri berdiri di depan rak buku yang ada di pojok masjid. Matanya terpaku pada kitab kuning yang tampaknya sudah jarang disentuh. Ia meraih kitab itu perlahan, lalu membersihkan debu yang menyelimutinya. Bibirnya bergerak pelan, membaca judul yang tertera di sampulnya. Namun, pikirannya melayang sangat jauh dari apa yang ada di hadapannya.
“Kamu nggak pulang?” sebuah suara lembut mengagetkannya.
Fahri menoleh, di sana berdiri seorang perempuan dengan jilbab berwarna lavender. Dia adalah Zahra, perempuan yang selalu membuat Fahri kehilangan kata-kata. Entah mengapa, setiap kali Zahra berada di dekatnya, Fahri merasa dirinya seperti seorang penyair yang lupa rima.
“Aku…” Fahri menunduk, menyembunyikan kegugupannya. “Masih ingin di sini sebentar.”
Zahra tersenyum, senyuman yang selalu membuat hati Fahri berdebar. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Jangan lupa kunci masjidnya.”
“Iya,” jawab Fahri pendek.
Zahra melangkah pergi, meninggalkan jejak wangi melati yang samar. Fahri menghela napas panjang. Ia tahu perasaan itu semakin sulit ia tahan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tak bisa sembarangan menyatakannya. Cinta baginya, adalah hal yang sakral. Tidak hanya tentang kata-kata indah, tetapi juga tanggung jawab.
Di sebuah sore lain, Fahri sedang membantu Pak Harun, seorang penjaga masjid yang membersihkan halaman. Zahra datang membawa termos besar berisi teh hangat.
“Pak Harun, ini teh untuk menemani kerja bakti,” kata Zahra seraya tersenyum ramah.
“Wah, terima kasih, Zahra.
Fahri, ayo, kita istirahat dulu!” Pak Harun mempersilakan mereka duduk di bawah pohon mangga besar di samping masjid.
Fahri, seperti biasa, hanya tersenyum tipis. Zahra menuangkan teh ke gelas-gelas kecil. Ketika giliran Fahri menerima gelasnya, tangan mereka hampir bersentuhan.
“Maaf,” ujar Zahra sambil tersenyum kecil.
“Tidak apa-apa,” jawab Fahri singkat, wajahnya memerah.
Pak Harun yang duduk di samping mereka tertawa kecil. “Zahra, kamu itu seperti anak perempuan sendiri buat saya. Fahri ini juga sudah seperti anak. Siapa tahu kalian nanti jadi keluarga beneran, ya?”
Zahra tertawa ringan. “Pak Harun bisa saja.”
Namun, Fahri tak ikut tertawa. Kata-kata itu seperti pukulan halus di dadanya. Ia hanya menunduk, tak sanggup melihat Zahra.
Malam itu, Fahri berdiri di depan cermin kecil di kamarnya. Ia menatap bayangannya sendiri, mencoba merangkai kata-kata yang selama ini tak pernah terucap.
“Zahra, aku mencintaimu,”. Ia mencoba berkata, tetapi kalimat itu terdengar aneh bahkan di telinganya sendiri.
Ia menggeleng. Tidak, ia tak bisa mengatakannya begitu saja. Zahra bukan sembarang perempuan. Dia adalah seseorang yang membuat Fahri merasa harus menjadi lebih baik, lebih pantas, sebelum berani mengungkapkan apa yang ia rasakan.
Hari-hari berlalu, dan perasaan Fahri semakin dalam. Namun, ia tetap bungkam. Ia memilih menunjukkan perasaannya melalui tindakan kecil: memastikan sandal Zahra selalu tersusun rapi di rak, meminjamkan payung saat hujan deras, atau meninggalkan bunga kecil di rak buku tempat Zahra sering membaca. Tapi Zahra, dengan segala kepolosannya, hanya menganggap itu sebagai kebaikan seorang teman.
Suatu hari, Zahra mendekati Fahri di taman masjid. “Fahri, aku boleh tanya sesuatu?”
“Tentu,” jawab Fahri singkat.
“Kenapa kamu selalu diam setiap kali aku bicara? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?”
Pertanyaan itu membuat Fahri tersentak. Ia ingin menjelaskan, tapi kata-kata seolah menguap dari pikirannya. Akhirnya, ia hanya menggeleng.
“Kamu aneh, tahu nggak?” Zahra tersenyum kecil, lalu melanjutkan, “Tapi aku senang berteman denganmu.”
Kata “teman” itu seperti pedang tajam yang menusuk hati Fahri. Namun, ia hanya tersenyum lemah.
Waktu terus berlalu. Zahra mulai sibuk dengan aktivitasnya sebagai pengajar di sebuah sekolah Islam. Sementara Fahri, yang kini menjadi asisten imam masjid, semakin jarang bertemu dengannya. Namun, perasaan itu tak pernah pudar.
Hingga suatu hari, sebuah undangan pernikahan datang. Nama Zahra tertulis di sana, bersama seorang pria bernama Ridwan. Fahri membaca undangan itu berulang kali, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi buruk.
Pada malam sebelum hari pernikahan, Fahri duduk di teras masjid, memandang langit yang di penuhi bintang. Pak Harun duduk di sampingnya.
“Fahri, kamu tahu kan, cinta itu bukan soal memiliki?” ujar Pak Harun, seolah bisa membaca isi hati Fahri.
“Tapi Pak, kenapa rasanya sesakit ini?” Fahri akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam.
Pak Harun tersenyum bijak. “Karena kamu mencintai Zahra dengan tulus, dan cinta yang tulus itu tak pernah mudah. Tapi ingat, Fahri, Allah selalu tahu apa yang terbaik untuk kita.”
Malam itu, Fahri berdoa lama. Ia memohon kekuatan kepada Allah untuk menerima takdir-Nya dengan ikhlas.
Pernikahan Zahra berjalan lancar. Fahri hadir, meski hatinya terasa kosong. Ia menatap Zahra dari kejauhan, melihat senyuman bahagianya. Di saat itu, Fahri akhirnya menyadari bahwa cinta sejati adalah tentang menginginkan kebahagiaan orang yang kita cintai, meskipun kebahagiaan itu bukan bersama kita.
Setelah pernikahan itu, Fahri memutuskan untuk melanjutkan studi ke luar kota, meninggalkan semua kenangan tentang Zahra. Tapi satu hal yang ia bawa adalah pelajaran tentang cinta yang ia temukan melalui doa, kesabaran, dan pengorbanan.
Bertahun-tahun kemudian, Fahri kembali ke kampung halamannya sebagai seorang ustaz. Ia mendengar bahwa Zahra dan suaminya hidup bahagia. Dan meskipun perasaan itu tak pernah benar-benar hilang, Fahri kini telah berdamai dengan dirinya sendiri.
Di suatu malam yang hening, Fahri kembali berdiri di depan masjid kecil tempat segalanya dimulai. Ia tersenyum, menatap langit.
“Zahra, kau tetap menjadi syair yang membuatku gugup. Tapi kini, aku tak lagi ragu untuk mencintaimu dalam doa.”