Penulis: Firga Ries Afdalia
Dear Hanum
Aku mencintaimu Hunum Puspita Dewi
Salam
Rudi
Begitulah kira-kira terjemahan kalimat cinta yang dinyatakan Rudi pada gadis pujaan hatinya. Dia mengungkapkan kalimat romantis tersebut melalui tebakan angka yang hangat diperbincangkan dalam ruangan yang berukuran delapan kali delapan itu. Satu guru berhalangan hadir, seluruh murid menikmati waktu sesuai dengan passion masing-masing. Suasana kelas terdengar bising, ada yang merumpi di pojok kelas, bermain game dan tebakan angka, membaca buku atupun novel, dan siswa teladan ada yang mengulang pelajaran kembali. Sedangkan Rudi menghabiskan waktunya untuk menyatakan cinta pada gadis pujaannya.
“Hanum, kamu bisa membaca tebakan angka ini?” tanya Rudi pada Hanum.
“Mmmm, untuk apa?” tanya Hanum sambil mengernyitkan dahi.
“Oke, akan aku ajari dengan menuliskan rumusnya dan kamu tinggal merangkai. Kasih tahu jika kamu sudah membacanya ya,” kata Rudi menjelaskan.
Hanum seorang gadis polos yang dulunya pernah termakan rayuan buaya jadi takut memulai hubungan untuk yang kedua kalinya. Dia berhasil membaca surat itu dan Rudi pun tersenyum tipis mengharapkan jawaban yang segera.
“Aku belum bisa jawab apa-apa, kamu apa-apaan sih, kalau semua taman-teman tahu dan menertawakan kita bagaimana?” umpat Hanum melalui gawainya seraya pipinya memerah. Hanum tidak habis pikir dengan pola pikir laki-laki itu.
Hanum berpikir Rudi memang berbeda dengan laki-laki lainnya, dia pemuda yang tampan, soleh dan rajin ibadah, aktif di berbagai bidang, serta berprestasi. Iya, dia sangat lihai menyontek hingga jarang mendapatkan nilai yang jelek. Hehe.. Hanum benar-benar bimbang dengan pilihannya dan Rudi pun berhasil meyakinkannya.
Semenjak tanggal 14 Februari itu mereka sering bersama bahkan satu kelas pun mengetahui sifat mereka sebenarnya. Seperti kata orang, ketika sepasang manusia sedang dimabuk asmara tidak lagi mengedepankan logikanya, hanya nafsu dan keinginan yang lebih berperan di atas semuanya. Hari demi hari dilaluinya bersama dengan untaian kata di gawainya setiap malam, walaupun hanya sekedar basa basi menanyakan kabar, tugas, makan, dan rayuan gombal lainnya.
Musim telah berganti dan hubungan keduanya bertransformasi, awalnya mereka berdua orang yang taat beragama dan sangat menjaga adabnya. Namun, setelah beberapa minggu berpacaran, semuanya luntur dari diri mereka. Rudi tidak lagi segan memegang tangan bahkan sampai mengelus kepala pacarnya dan saat jam pelajaran pun mereka kerap bercengkrama.
“Itu yang di belakang sedang membahas apa?” tanya guru fisika yang sudah mulai bosan dengan tingkah mereka. Hanum dan Rudi satu kelas dan duduk di bangku yang berdekatan. Rudi duduk di belakang Hanum, tidak jarang juga mereka duduk berdua.
Rudi atapun Hanum tidak bergeming dan susana kelas jadi hening, hingga suara guru tersebut menghasilkan melodi dengan ritme tak beraturan. Akhirnya semua murid di kelas mendapatkan pencerahan.
“Satu kelas ini saudara, diharapkan kalian tidak bermain rasa satu sama lainnya,” begitulah kira-kira inti omelan guru itu.
Rudi yang begitu romantis berhasil menggoyahkan pertahanan diri Hanum. Tak jarang Rudi memberikan hadiah pada Hanum, menghabiskan waktu bersama hingga pulang lebih lama daripada yang lainnya.
“Hanum silahkan buka tasmu,” kata Rudi senyum-senyum sendiri.
“Apa ini?” tanya Hanum.
“Itu untukmu Hanum Puspita Dewiku,” jawab Rudi sambil mengedipkan satu matanya dengan genit.
Hanum bidadari yang tertutup, dia tidak banyak menceritakan masalahnya kepada orang lain, lebih suka menyimpan sendiri. Padahal, setiap hari ia selalu pergi bersama Ruhi. Ia dengan baik hati memberikan tumpangan pada Ruhi yang terkendala biaya pendidikan.
“Apa menurutmu Rudi cowok yang baik?” tanya Hanum pada Ruhi saat mengendarai motor.
“Baik, dia cowok yang ideal,” jawab Ruhi sesuai yang ia lihat dan sependek pengetahuannya.
Tidak ada lagi yang diceritakannya, walaupun Ruhi dengan senang hati menemani setiap urusannya dan pulang terlambat untuk menungguinya. Namun, orang sekitar terlihat mulai geli akan hubungan yang mereka ciptakan, seperti mulai pudarnya rasa malu atau memang seperti itu budaya orang yang dimabuk cinta pada umumnya.
Lorong-lorong kelas menjadi saksi bisu cinta mereka, baik ketika menunggu guru masuk ke ruangan, ada jam kosong ataupun di waktu luang lainnya mereka sering di sana. Selesai salat ataupun makan siang, bahkan tak jarang mereka mengulur-ulur waktu pulang dari tempat tersebut. Menciptakan suatu lelucon yang hanya lucu bagi mereka dan garing menurut yang lainnya.
“Pulang kita lagi Ruhi?” basa-basi Hanum setiap harinya.
“Terserah,” jawab Ruhi yang seolah mengerti keadaan dan tahu diri juga bahwa dirinya bukan siapa-siapa yang minta tebengan pada Hanum.
Hanum juga tidak mau menghabiskan watunya dengan sia-sia, dia selalu menyiapkan buku bacaan untuk menemani hari-harinya, baginya tak ada yang lebih setia daripada buku yang bisa dibaca kapan saja.
“Tunggu sebentar ya, sulit mengeluarkan motor di parkiran dengan kondisi yang serame ini,” dalihnya melanjutkan obrolan dengan sang pujaan hati. Dunia terasa milik berdua hingga melupakan orang di sekitarnya.
“Hanum, mari kita pulang, tidak ada lagi orang di sini, udah lengang,” bujuk Ruhi pada Hanum karena tidak enak nanti ada yang melihat mereka masih di sekolah.
“Santai aja Ruhi, ngapain cepat-cepat pulang, lanjutkan saja bukumu itu,” goda Rudi pada Ruhi jika selalu mengajak kekasihnya pulang.
Hanum memilih untuk pulang dan obrolan pun dilanjutkan saat perjalanan hingga akhirnya berpisah di persimpangan rumah Hanum.
“Tit..tit..” suara klakson motor sebagai tanda perpisahan mereka.
Waktu itu memanglah masa-masa yang manis bagi Hanum dan Rudi. Namun, sedalam apa pun cinta yang engkau tanam, sedalam itu pulalah rasa sakit yang akan engkau terima. Hubungan mereka hanya berumur beberapa bulan saja dan berakhir karena keadaan yang tak lagi mengizinkan. Keduanya tidak lagi baik-baik saja walaupun masih terikat dalam ikatan alumni sekolah.
Ranum dan Hanum telah bersahabat sedari kecil, sering menghabiskan waktu bersama, pemikiran yang tidak jauh berbeda hingga prestasi pun tak pernah kalah. Ketika berada di bangku sekolah dasar mereka jadi bintang kelas yang tak jarang dapat rangking berdekatan, Ranum mendapatkan peringkat tiga dan Hanum dua, begitu seterusnya dan hanya sekali Ranum yang mengambil posisi Hanum.
Menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) menjadi pemisah mereka. Mereka masuk ke sekolah yang berbeda, namun disatukan kembali ketika masuk sekolah menengah atas (SMA). Walaupun berada di atap yang sama, kehangatan belum juga tercipta. Mereka hanya saling sapa ketika di parkiran atau sesekali berpapasan, setelah itu mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Persahabatan mereka kembali hangat setelah berada di ruangan yang sama pada kelas dua SMA. Mereka ditakdirkan bersama setelah melalui seleksi masuk kelas unggulan. Kali ini mereka tak lagi berdua, ditambah dengan kehadiran Ruhi.
Ruhi seorang gadis yang semasa kecilnya sering dibully dan sekarang akan menjadi teman dekatnya. Ruhi dan Ranum juga telah berteman semenjak SMP.
Hubungan manis tiga sekawan ini juga tak berlangsung lama, semua kandas ketika Hanum menjalin hubungan dengan Rudi.
“Urus aja temanmu itu,” ucap Ranum pada Ruhi. Ranum sangat kesal dengan situasi ini, dia merasa keadaan tidak memperlakukannya secara adil.
“Temanku kan temanmu juga,” rajuk Ruhi pada Ranum.
“Aku tidak peduli lagi, silahkan kamu urus sendiri. Dia sudah banyak menikungku. Aku sudah muak dengan semua ini. Dasar… Mangguntiang dalam lipatan,” ucap Ranum melepaskan kekesalannya. Dia merasa Hanum sangat sering mengambil apa yang sudah ia raih dan selalu mengambil keuntungan darinya. Kemudian dia berlalu begitu saja meninggalkan Ruhi sendirian.
Semenjak itu, hubungan Hanum dan Ranum tidak lagi baik walaupun tidak pernah mengeluarkan kata-kata. Seakan perasaan mereka mewakili satu sama lainnya, pertengkaran hanya terjadi di hati dan pemikiran mereka masing-masing.
*
Ranum mengenal Rudi setahun sebelum Hanum mengenalnya. Ranum mengenalnya dari awal ospek hingga berada di ruangan yang sama dari awal hingga akhir sekolah. Banyak kegiatan yang mereka geluti bersama, mempunyai jiwa humor yang tak jauh beda, sama-sama suka olahraga dan ciri fisiknya pun tak jauh beda.
“Ran, sepertinya kamu kelihatan serasi dengan cowok itu deh,” kata Ruhi menggoda Ranum dan menengok ke arah Rudi yang tengah bermain futsal di lapangan.
“Siapa maksudmu, Rudi?” tanya Ranum mengernyitkan dahi seolah tak mengerti dengan tingkah aneh temannya itu.
“Nahnah.. iyaaa, yang itu… Kalian kelihatan serasi,” kata Ruhi penuh ekspresi.
“Eh jangan gila deh, dia itu teman sekelasku, jadi gak bakal mungkin,” dalihnya.
“Alah, gak mungkin apanya. Kita liat aja ntar,” sambil terkekeh Ruhi mempertahankan argumennya.
Waktu terus berlalu, musim terus berganti dan Ranum terus saja menorehkan prestasi. Hubungan mereka pun semakin dekat satu sama lainnya. Ranum berhasil menjadi orang nomor satu di sekolahnya dan Rudi selalu jadi partner setianya. Namun, kelakuan bodoh dari orang yang menyatakan cinta pada Ranum berhasil memberikan kenangan yang sedikit kelam akan masa lalunya. Ranum tidak lagi mencintai bahkan membenci orang yang menyatakan cinta itu kepadanya.
“Maukah kamu jadi kekasihku Ranum?” ucapnya dengan menyodorkan mawar dan boneka beruang. Kala itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya Ranum dan waktu itu Rudi habis kecelakaan, satu kelas berinisiatif menjenguknya. Pada kesempatan itulah cowok menyebalkan itu merusak suasana.
“Terima sajalah,” goda Rudi yang semakin menambah kejengkelannya.
Keadaan masih tidak berubah seperti tahun sebelumnya. Namun, setelah Ranum memperkenalkan Rudi pada Hanum dan mengajak mereka berteman, kondisi seakan berubah. Rudi dan Ranum memang ditakdirkan bersama, bahkan tak jarang tanpa sengaja mereka berada pada regu yang sama hingga harus berangkat latihan berdua. Namun tidak ada yang mengetahui kata hati seseorang. Rudi yang begitu perhatian padanya ternyata malah bermain rasa dengan teman dekatnya.
Rudi tidak pernah membahas Hanum dengannya begitupun sebaliknya Hanum tidak pernah membahas Rudi dengannya. Hanum dan Rudi seakan ikut merasa bersalah akan rasa yang mulai tumbuh yang langsung dipupuknya. Mereka juga sering salah tingkah jika tiba-tiba Ranum datang di tengah percakapan mereka. Mereka seakan-akan bersikap seperti orang suci tanpa dosa.
Tidak mudah mengendalikan sebuah rasa, namun Ranum tentu saja bisa melakukannya. Babak baru menggapai masa depan berhasil mengalihkan pikirannya. Ranum tidak pernah salah tingkah ataupun salah bicara jika mereka tengah berada pada satu kelompok yang sama.
*
“Hubungan kita tidak bisa dilanjutkan, cukup sampai di sini saja dan semoga kita bakal dipertemukan di waktu yang tepat nantinya,” ucap Hanum dari seberang sana. Ia lalu meneteskan air mata akan keputusannya. Ia telah membulatkan tekad untuk hijrah dan menjaga hatinya.
“Aku tidak bisa berkata banyak, jika itu keputusanmu,” jawab Rudi lirih namun penuh arti. Beberapa kali ia mencoba menolak keputusan konyol itu setelah sekian bulan bersama dan telah berpikir panjang untuk ke depannya. Namun, beberapa penjelasan yang diberikan Hanum akhirnya dapat ia pahami dan memutuskan untuk hijrah juga.
Hingga hubungan keduanya tidak bisa lagi diperbaiki walaupun dari luar terlihat aman terkendali. Hanum dan Rudi juga tidak pernah berkomunikasi, bahkan ketika ada acara kelas pun Hanum memutuskan tidak pergi. Namun, Rudi dan Ranum masih seperti biasa, beberapa kali komunikasi dan jika bertemu juga terlihat enjoy dengan status jomlo yang mereka sandang satu sama lainnya.