Oleh: Nandito Putra
Mahasiswa HTN Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol /Pemimpin Redaksi LPM Suara Kampus
Demokrasi hanya menjadi angan-angan belaka jika kekuasaan dijalankan dengan cara militeristik, selama tentara tidak dikembalikan ke barak dan dijauhkan dari urusan politik, selama itu pula penindasan akan selalu terjadi.
Perhatian wilayah kawasan terpusat pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, Sabtu (24/04) kemarin. KTT tersebut dikhususkan untuk membahas konflik akibat kudeta di Myanmar yang telah berlangsung sejak 1 Februari 2021. Agenda utama KTT ialah untuk menjembatani upaya penghentian kekerasan dan pengembalian demokrasi serta perdamaian Myanmar.
Akibat kudeta oleh militer tersebut, tercatat 745 warga sipil dan demonstran pro-demokrasi telah dibunuh secara keji oleh pasukan militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing, sementara 3.371 orang berada dalam tahanan yang sampai detik ini tidak diketahui bagaimana nasibnya. Bahkan jumlah warga sipil yang ditahan—Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok aktivis Myanmar—diperkiran lebih besar lagi.
Foto: seorang demonstran membawa poster Angel, salah seorang demonstran yang mati saat aksi protes menolak kudeta. Angel meninggal akibat tembakan aparat saat ikut demonstrasi Rabu (03/02)—Everything will be OK/Reuters.
Alasan kudeta oleh militer di Myanmar ditengarai oleh anggapan bahwa pemerintah melakukan kecurangan pada pemilihan umum pada November 2020 lalu. Partai Liga Nasional di bawah pimpinan Aung San Suu Kyi menang telak pada Pemilu yang berlangsung secara demokratis di Negeri Seribu Pagoda itu. Kendati pihak otoritas penyelenggara Pemilu membantah adanya kecurangan, dilansir BBC (8/2/2021), militer mengklaim sepihak bahwa Komisi Pemilihan Umum Myanmar gagal mengintervensi adanya kecurangan dan tak mengizinkan kampanye secara adil. Klaim itu tanpa bukti yang jelas.
Sejarah Panjang untuk Kisah Singkat Demokrasi Myanmar
Myanmar (dulunya bernama Burma) merdeka dari Inggris pada 1948, menyusul gelombang nasionalisme pasca Perang Dunia ke-II hampir di seluruh bangsa-bangsa Asia-Afrika. Arsitek di balik kemerdekaan Myanmar adalah Jenderal Aung San, yang tak lain merupakan ayah dari kanselir de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, yang dikudeta oleh junta militer di bawah komando Jenderal Min Aung Hlaing pada awal Februari lalu.
Sejarawan Myanmar Thant Myint-U dalam The Hidden History of Burma: Race, Capitalism, and the Crisis of Democracy in the 21st Century, mengatakan, sejarah moderen Burma lahir sebagai pendudukan militer. Terhitung sejak 1948 hingga 2021, Tatmadaw—nama resmi pasukan junta militer Myanmar—telah memegang tampuk kekuasaan otoriter hampir sepanjang sejarah moderen Myanmar. Kudeta militer pertama sejak negara itu merdeka terjadi pada 1962 yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win, menggulingkan pemerintah sipil pimpinan Perdana Menteri U Nu, yang juga merupakan salah satu konseptor Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Maka dari itu, sejak 1962, Myanmar berada di bawah lembah kelam kekuasaan otoriter yang menindas. Pola kekuasaan militer tersebut, di Indonesia, hampir-hampir mirip dengan kekuasaan Soeharto di bawah otoritarianisme orde baru yang bercokol selama 32 tahun.
Tidak seperti Indonesia, transisi demokrasi Myanmar cenderung mengalami kegagalan dan hambatan karena kuatnya kekuatan militer. Adapun kudeta 1962, telah menimbulkan gejolak sosial-politik pada penghujung 1990. Demonstrasi besar-besaran ketika itu telah merenggut 3000 nyawa warga sipil akibat tindakan represif tentara. Aktivis demokrasi Myanmar waktu itu, Aung San Suu Kyi akhirnya mendirikan partai National League for Democracy (NLD) sebagai bentuk perjuangan demokratisasi untuk menuntut diselenggarakannya pemilihan umum. Pemilu berhasil dihelat pada 1990, dan NLD di bawah pimpinan Suu Kyi menang telak, namun sekali lagi, junta militer membatalkan sepihak pemilu dan menjadikan Suu Kyi tahanan rumah hingga akhirnya dibebaskan pada 2010 silam. Putri Evi dari Departemen Ilmu Politik USU, dalam studinya yang berjudul Peran Aung San Suu Kyi dalam Memperjuangan Demokrasi Myanmar, menyimpulkan bahwa genealogis masyarakat Myanmar sangat menghendaki terciptanya demokrasi.
Ada alasan kuat yang melatarbelakangi tuntutan demokratisasi dan kebebasan itu semakin kuat, yakni bahwa Aung San Suu Kyi, khususnya partai NLD pada Pemilu 1990 sebenarnya telah unggul dan mengalahkan partai militer. Kemenangan NLD sebetulnya merupakan refleksi dari keinginan rakyat Myanmar untuk memiliki pemerintahan sipil di bawah payung demokrasi seperti negara lain. Namun keinginan tersebut masih jauh dari kenyataan selama junta militer masih menguasai sistem dan tataran politik Myanmar melalui cara-cara kekerasan.
Dilematis Posisi ASEAN
Hampir tiga bulan sejak kudeta berlangsung di Myanmar, KTT ASEAN yang membahas konflik Myanmar tidak bisa diharapkan sebagai jalan keluar konflik. Posisi ASEAN cukup dilematis dalam menjembatani upaya damai dan menciptakan stabilitas nasional Myanmar. Posisi dilematis itu dapat dilihat pada beberapa prinsip utama ASEAN, yakni mengedepankan prinsip non intervensi dalam urusan dalam negeri anggotanya. Di lain sisi, juga terdapat prinsip menjunjung tinggi Piagam PBB dan hukum humaniter internasional.
Sebagai anggota PBB, kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh militer Myanmar jelas telah melanggar Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau ICCPR. Perjanjian internasional ini mewajibkan anggotanya untuk melindungi hak-hak sipil dan politik individu, termasuk hak untuk hidup, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan berkumpul, hak elektoral serta hak untuk mendapatkan proses pengadilan tanpa keberpihakan. Jika kita melihat respon dunia internasional terkait situasi Myanmar yang kian memprihatinkan tersebut, ASEAN sebagai organisasi kawasan tidak akan mampu berbuat banyak, serta tidak bisa menunjukkan perannya terhadap krisis kemanusiaan di Myanmar. Kesepakatan non intervensi tersebut terlihat “aneh” dan menjadikan negara-negara ASEAN berada di posisi dilematis.
Kemudian, kehadiran pimpinan junta militer Jenderal Min Aung Hlaing pada KTT ASEAN di Jakarta kali ini telah mengangkangi perjuangan berdarah-darah masyarakat Myanmar di tengah todongan bedil militer. Karena secara diplomatis kehadiran sang jenderal seolah-olah memberi legitimasi bahwa pemerintah junta militer berhak duduk sebagai perwakilan Myanmar di KTT ASEAN. Padahal, organisasi-organisasi pro-demokrasi dari berbagai negara yang tergabung dalam Asean Sogie Caucus (ASC) telah melayangkan surat terbuka kepada Pimpinan ASEAN untuk memberi tempat pada perwakilan pemerintahan yang sah, namun tuntutan itu tidak diindahkan.
Akhir kata, dari peristiwa di Myanmar kita harus haqullyakin bahwa, demokrasi hanya menjadi angan-angan belaka jika kekuasaan dijalankan dengan cara militeristik, selama tentara tidak dikembalikan ke barak dan dijauhkan dari urusan politik, selama itu pula penindasan akan selalu terjadi.