Oleh: Indah Yulfia
(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)
“Sekuntum ragu, nadi perjuangan, lupakan.”
Aku tidak tahu tentangnya, keseluruhannya sempat membuatku penasaran. Siapa pun pasti mengatakan hal yang sama. Kebanyakan karena tertarik dan menarik.
Dua kata yang hampir sama namun berbeda makna. Layaknya keinginan dan kerterkaitan. Di tengah suasana defensif total, langit bermuram durja. Rengeknya segugukan membasahi lokasi setempat.
Bau petrichor menguar, tumbuhan seolah menikmati siraman sang langit. Momen melankonis mendominasi. Seperti pernyataan bukan?
Namun, dibandingkan suasana yang tercipta oleh dua orang yang tak lain adalah tokoh utama, sedang menikmati rasa hangatnya selimut.
Entah apa yang ia lakukan di dalam mimpi. Senyum yang jarang menghias wajahnya, kini fasih dan terlihat nyata bagi yang melihatnya.
Brakk…
Bunyi yang cukup keras, membuat gendang telinga tak nyaman. Dan ya, mengusik tidurnya si empu. Kekesalannya memuncak, namun ia tak peduli apa penyebabnya. Dengan bantal ia mencoba meredam suara yang mengusik telinganya.
“Lihat, anakmu itu tidak berguna Yah!! Seharian tidur, main hp, keluar kamar pas ku tanyai dia hanya diam! Maunya apa sih Yah!” Percakapan yang jauh dikatakan dari harmonis mendengungkan gendang telinganya.
“Tidak apa, tidak kenapa-napa, tidak akan terjadi hal apapun.” mantranya dalam hati, ini tak baik untuk dirinya, sungguh ia merasa jika hatinya tersayat dan pikirnya membenarkan.
Beberapa menit kemudian, ia terjatuh bersamaan pemikiran negatif yang meliputinya, merasuki sampai ke dalam mimpi.
Suatu tempat yang tidak diketahui, seorang anak tertatih dalam langkah yang ia ambil. Keringat sebiji jagung melingkupi dahi, bibirnya pecah-pecah, penglihatannya buram. Namun, ia menikmati perjalanan yang entah kemana membawanya.
Senyumnya menenangkan, namun ia mati. Tuhan tak seharusnya menciptakannya dengan olok-olokan dunia, entah kenapa si anak bahagia setelah kenyataan pahit menyertainya.
Ia pun terbangun dalam kubangan selimut hangat dan rasa sesak mendominasi nafas, mimpi itu rasanya nyata sekali.
Matanya menerawang, sekilas ia tidak dapat menampik beberapa persepsi. Entah beribu tanya yang sudah ia pikirkan. Seberat apapun itu, ia tak akan mempertanyakan pada siapapun. Dan tentu saja tersimpan rapi di dalam memori yang entah berantah akan membuatnya lupa.
305 kata tanpa nama, mari kita mulai setidaknya lembaran baru.
“Tunggu, Dik ini kebanyakan konjugsi, nah ini paragrafnya tidak rancu. Kebanyakan kata random, terus ini. Sebenarnya niat tidaka?!” ucap Adzar metoletir ketikan yang sedang dikerjakan Diksi.
“Writer block Dzar, ga tau aku, belum revisi. Masi kerangka mungkin.” ujar Diksi dengan kening berkerut, membolak-balikkan kertas yang sesuai target kerja pikirnya begitu.
“Nyerah dik? udah 24 hari sejak kamu ngambil masalah yang ini.”
“Ya, nyerah!”
“Semudah itu? Analogi macam apa itu? Yaudah, libur sampai tanggal 1.” perintah Adzar, ia tahu bagaimana rasanya dikendalikan writer block.
“Makasi Dzar,” Diksi pun pergi, meninggalkan sejumlah permasalahan yang belum mengakibatkan kehancuran.
Seperti hari ini, mejanya akan bersih selama beberapa hari. Lupakan tugas, ia akan pergi mendaki dan menulis beberapa kata dan pulang.
“Hahaha, siapa pula yang akan peduli. Cukup ayah dan bunda yang bertanya apa tujuanmu Dik.” kekeh Rayn, saudara sekaligus manusia satu-satunya pendengar Diksi curhat.
“Kak, apapun atas nama bebas pasti bakal random. Cikal bakal perjuangan hasil akhirnya ga bakal ngefek.” ucap Diksi yang entah dibuat mengerti atau merenung.
“Atas nama ragu, aku pun tidak mengerti dik.”
“Hahaha.” kini tawa diksi tak beralasan,
“Raja gaje kau.” ucap Rayn kesal beralih melihat ibundanya berkacak pinggang di depan kamar.
“Hei, anak muda. Ibunda lupa jika kalian sudah setua itu.”
Kali ini tiga orang beda generasi itu tertawa bersama, entah untuk apa.
“Hei, namaku Snow. Aku tidak tahu apa yang kalian tertawakan.” ucap adik Diksi dan tentu saja adik Rayn juga.
“Ibunda,” lalu ruangan yang tadinya didominasi oleh tawa terganti segugukan, snow yang membuat ketiganya bertanya-tanya.
Beberapa saat, Snow terdiam lalu tertawa canggung. “Hari ini, aku tidak tahu untuk sekian lama waktu menipuku, aku tetap sedih. Bunda izinin Snow ya.”
“Kemana?” ucap Diksi yang terlalu paham maksud adiknya itu.
“Ke hatimu.” ucap Snow keterlaluan.
“Hm…” dehem Diksi mewakili Bunda dan Rayn.
“Kak, Snow masuk di kampus.”
“Hubungannya naon?” Rayn pun menimpali.
“Entah, tidaka tahu, tidak ada penjelasan, bahkan Snow tidaka tahu mau ngapain.” Diksi pun mangut-mangut paham.
“Snow, kak Diksi paham. Apapun itu jangan pake hati, pikir dulu, beberapa kemungkinan ada. Jangan ambil pikir kalo Snow mutusin, konsekuensi pasti ada. Kalo terikat Snow tidak bakal bisa lari, palingan Snow egois.” ucap Diksi yang diangguki Snow.
“Dah la, bunda mau masak.” ucap Bunda beranjak ke dapur.
“Dik, nanjak tahun baru seru nih.” titah Rayn mengalihkan Diksi.
“Kemana?” tanya Snow pada Diksi.
“Gunung Tambora, sekalian ke Labuan Bajo.” ucap Diksi terkekeh.
“Wuoah, keren tapi Snow ga bakal ikut.” ucap Snow tidak tertarik, lalu kabur entah kemana.
731 kata, lepas dari makna.
Hari ini, tidak ada apa-apanya. Seperti biasa, Snow membaca sesuatu di balik layak persegi empat. Rayn yang sibuk di meja kerjanya, Diksi yang masih memejamkan matanya, Ibunda yang sibuk dengan perkerjaan rumahnya, Ayah yang entah kemana.
Cukup bukan? Tapi entah mengapa ada yang kurang. Sepertinya kebebasan tidak tertarik pada keteraturan menghasilkan sesuatu.
Ada baiknya mengakhiri bukan? Sejak kapan ada hal menarik untuk dibahas, salahkan penulisnya friends, writer block katanya.
Lagi dan lagi ambil makna, jangan berusaha sesaat lupa bahwa menyerah tidak akan mengerahkan apapun.
Larilah jika ingin, perjuangan akan selalu ada, definisinya kamu berjuang, kamu jatuh, kamu lupa apa yang kamu bisa, kamu… Ya kamu.
Stay, stay healthy, stay smile, stay slow walaupun broken. Wkwkwk nitip salam, buat siapapun yang hadir.