Menggali Makna Fanatisme dalam Serial Bidaah

Potret Walid, salah satu tokoh dalam serial Bidaah (sumber: Viu)

Oleh: Kamelia

Mahasiswi Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Serial Bid’ah merupakan film terbaru yang sedang hangat diperbincangkan karena alur ceritanya yang penuh kontroversi. Karya film asal Negeri Jiran tersebut berhasil membuat penonton berpikir kritis,hingga menjadi viral di berbagai platform media sosial. Bagaimana tidak, Serial Bid’ah ini mengangkat sebuah isu tentang fanatisme seorang tokoh agama yang poligami serta tindakan pelecehan.

Serial ini menceritakan seorang tokoh perempuan muda yang tumbuh dari keluarga yang paham agama, bernama Baiduri (Riena Diana). Suatu hari ibunya Baiduri, Kalsum (Fazlina Ahmad Daud) meminta Baiduri untuk mengikuti pengajian yang diadakan jamaah yang bernama Jihad Ummah. Sebuah kelompok keagamaan yang di pimpin oleh seorang pria yang bernama Walid Muhammad Mahdi Ilman (Faizal Hussein).

Baiduri bergabung ke dalam kelompok tersebut karena permintaan ibunya, awalnya baiduri merasa biasa-biasa saja, namun setelah beberapa waktu baiduri mengikuti kelompok tersebut baiduri mulai curiga dengan aturan di sana seperti adanya praktik nikah paksa, perkataan pemimpin bersifat mutlak, dan ritual-ritual yang berbeda dengan ajaran agama Islam.

Ceritanya mulai memuncak ketika seorang anak kepercayaan walid pulang belajar dari mesir, yaitu Hambali (Fattah Amin). Hambali melihat bahwa ajaran di sana sudah jauh menyimpang dari ajaran agama. Hambali dibantu Baiduri  melindungi keluarganya dengan membongkar praktik ajaran sesat di dalam sekte tersebut.

Dalam serial ini banyak cerita yang memberikan Gambaran akibat dari fanatisme. Ada beberapa hal yang harus mendapat catatan, yakni peran seorang tokoh Walid sebagai pemimpin jamaah Jihad Ummah yang dipandang merupakan seorang ahli agama, bahkan hafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis. Namun, akibat kekeliruan cara pandang menyebabkan terjerumusnya ke dalam ketersesatan.

Di dalam film ini terdapat 3 perempuan yang dipandang feminisme eksistensial yakni perempuan pelacur, perempuan narasis, dan perempuan mistis. Perempuan pelacur ini sadar akan dirinya yang di eksploitasi tapi mereka memiliki kemauan untuk mendapatkan keuntungan meski jadi objek patriarki, sedangkan perempuan narsis ini seorang perempuan yang mengalami keputusasaan karena tidak menemukan kesejatian, sehingga mengeksploitasi dirinya sendiri alias menjual harga diri demi sebuah validasi. Sementara perempuan mistis ialah seorang perempuan yang ikhlas dirinya di eksploitasi dengan alasan tidak rasional. Maka dari itu mereka rela menjadi korban untuk mendapatkan sesuatu yang tidak rasional.

Dikuutip dari harianbhirawa.co.id dapat di lihat bagaimana karakter walid dalam film tersebut, walid yang memanipulasi iman dan juga menciptakan ajaran baru kepada para pengikutnya.

Dengan otoritas yang dimiliki walid, ia muncul sebagai simbol suatu kebenaran, yang menjadi poros dari semua kebenaran. Ia memanfaatkan ketidaktahuan dengan menggunnakan dalil-dalil agama yang ia karang sesuai kehendaknya.

Di sisi lain, ajaran sesat yang di tampilkan dalam Serial Bid’ah tidak langsung muncul dengan kekerasan,melainkan mereka mengajak orang untuk terlibat dalam narasi dengan memanfaatkan tanda agama.

Berbagai praktis keagamaan yang ada dalam film Bid’ah ini melihatkan situasi yang sering terjadi di realitas. Meski ada sebagian orang yang menganggap bahwa praktik keagamaan dalam film Bid’ah ini merupakan bentuk kecintaan murid kepada gurunya sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Praktik fanatisme dan poligami dalam film ini seharusnya menjadi sebuah refleksi diri bagi para da’i, guru, ulama dan pondok pesantren di Indonesia. Agar islam dapat tegak dengan murni, berpegang pada prinsip yang seimbang, dan toleran. Film ini juga mengingatkan bahwa dalam menjalankan agama, nalar yang baik dan ilmu syar’i harus selalu berjalan seiring,agar tidak terjadi penyimpangan agama, sehingga rasa cinta kepada guru tidak menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

PKM-U 2025 Resmi Ditutup Rektor UIN Imam Bonjol

Next Post

Rindu yang Tak Terpindai

Related Posts