Sejarah Pendirian Pantai Penyu: Minimalisir Penangkapan Secara Ilegal

Potret Pantai Penyu di Desa Apar, Pariaman Sumatera Barat (sumber: Iqbal/ suarakampus.com)

Suarakampus.comMaraknya penjualan telur penyu secara ilegal menjadi sejarah pendirian Pantai Penyu di Desa Apar, Pariaman Sumatera Barat. Perencanaan tersebut dimulai oleh Pemerintah Kota Pariaman pada 2007-2008 dan beroperasi tahun 2009.

Tenaga Teknisi Observasi Penyu, Aksa Prawira menyebutkan penjualan telur penyu sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Sumbar khususnya Kota Padang. “Ke Padang wajib makan telur penyu begitu pandangan orang,” jelasnya.

Lanjutnya, mengakali hal tersebut dilakukan konservasi penyu dengan beberapa tahap, seperti penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat. “Kita juga alihkan mata pencaharian mereka ke arah yang lain,” ujarnya.

Kendati demikian, kata dia, untuk masyarakat yang masih menjual telur penyu dilakukan adopsi dan penjualan ke tempat observasi. “Kalau di pasar satu telur sekitar Rp10.000, jika dibawa ke sini kami beli Rp3.400,” pungkasnya.

Ia mengungkapkan telur yang diadopsi bakal di inkubator dan ditetaskan selama kurang lebih dua bulan. “Metode penetasan dipakai semi alami dan buatan,” katanya.

“Jika alami bisa di inkubasi dalam tanah, tetapi cara ini tidak bisa menentukan jenis kelaminnya,” sebutnya.

Ia menuturkan untuk telur yang memiliki suhu panas maka penyu jantan dan suhu dingin adalah penyu betina. “Kalau penetasan buatan telur bakal dimasukan ke dalam ember dengan menjaga kelembabannya,” ungkapnya.

Lanjutnya, sekitar 75% telur yang menetas dilepas ke laut dan sisanya digunakan untuk sosialisasi, edukasi, serta penelitian. “Kalau ada mahasiswa yang melakukan penelitian maka digunakan yang 25% dari sisanya,” ucapnya.

Selanjutnya, pada tahun 2011 dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) konservasi penyu di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pariaman. “Tahun 2014 muncul Undang-undang Nomor 23, salah satu pasalnya mengatur tentang konservasi,” tuturnya.

“Adanya UU tersebut, konservasi penyu dialihkan kepada pemerintah provinsi Sumbar,” tambahnya.

Kemudian, Aksa mengatakan tahun 2018 dibentuk lagi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Konservasi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar. “UPT ini membawahi tiga kegiatan di antaranya konservasi dan pengawasan,” lugasnya.

Ia menjelaskan fungsi pengawasan dilakukan sebulan sekali dengan tujuan mencegah ilegal fishing serta mengawasi alat tangkapnya yang tidak kurang dari 3/4 pukat (jaring). “Biasanya kita bakal patroli di sekitar pantai,” ucapnya.

Ia mengaku program UPT ini sudah dapat dikatakan berhasil lantaran sudah minimnya penangkapan telur penyu secara ilegal. “Sekarang penangkapan secara ilegal sudah banyak berkurang,” tutupnya. (wng)

Wartawan: Januarica Amora Putri

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Musibah Pertengahan Bulan, Tuhan yang Disalahkan

Next Post

Semarakkan 1 Muharam 1445 H, Mahasiswa KKN UIN IB Gelar Perlombaan Tahfiz

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty