Musibah Pertengahan Bulan, Tuhan yang Disalahkan

Sumber: Pixabay


Oleh: Hidayatul Fikri
Gubernur DEMA FDIK 2023 UIN IB Padang

Pertengahan bulan Juli, tepatnya hari Jum’at pada tanggal 14 Juli 2023, lagi-lagi rakyat Provinsi Sumatera Barat diuji dengan musibah. Musibah banjir dan longsor terjadi di beberapa titik kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Membaca berbagai penjelasan yang disampaikan oleh pemerintah dan masyarakat di berbagai media, bencana banjir dan longsor tersebut disebabkan oleh intensitas hujan yang sangat tinggi, di beberapa daerah Provinsi Sumbar.
Membaca penjelasan tersebut, saya berfikir bahwasannya apa yang disampaikan oleh pemerintah dan masyarakat tersebut seolah-olah menyalahkan tuhan. Mengapa demikian, karena intensitas hujan yang sangat tinggi bukanlah masalah utama yang harus dijadikan alasan penyebab banjir dan longsor yang terjadi. Manusia seakan kehilangan kesadaran dan menyalahkan tuhan, tanpa disadari banjir dan longsor yang terjadi juga akibat dari berbagai macam kesalahan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.

Dalam musibah ini, seharusnya pemerintah dan masyarakat bisa membangun kesadaran dan ajang untuk intropeksi diri. Karena banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya musibah banjir dan longsor tersebut. Bukan serta merta yang harus disalahkan adalah tuhan, karena intensitas hujan yang tinggi, melainkan harus bertanya kepada diri sendiri, kesalahan apa yang sudah kita lakukan sehingga mengundang musibah itu.

Ada beberapa masalah yang harus disadari oleh manusia karena ulah tangannya sendiri. Masalah utama penyebab terjadinya banjir terutama di daerah-daerah perkotaan, disebabkan oleh pembangunan yang jor-joran tanpa memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Berdasarkan dari penjelasan yang disampaikan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapelda) Sumatera Barat menyatakan, masih banyak perusahaan dan juga proyek pemerintah di provinsi Sumatera barat yang tidak mempedomani AMDAL.

Dampak pembangunan dengan sistem kapitalis yang lebih mengutamakan Profit Oriented semata, tidak diperhatikan bencana yang akan dihadapi oleh masyarakat dikemudian hari. Maka hal yang lumrah ketika hujan datang dengan intensitas yang tinggi, air tidak bisa dialiri ketempat yang semestinya air mengalir, namun tergenang menciptakan genangan yang besar hingga akhirnya menyebabkan terbenam wilayah sekitarnya. Karena iitu sebelum melakukan pembangunan, perlu dilakukan kajian guna bangunan yang akan dibuat dan analisis secara kritis serta mendalam terhadap efek yang timbul pada lingkungan hidup. Ketika pembangunan mengabaikan AMDAL maka dampak yang dirasakan bukan oleh satu kalangan saja, tapi semua kalangan bisa merasakannya.

Masalah yang kedua adalah kesadaran masyrakat yang sangat rendah dalam menjaga kelestaraian lingkungan. Membuang sampah sembarangan, bahkan mereka membuang sampah ke sungai yang mengakibatkan menghambat aliran air. Dan tentunya hal ini merugikan mereka sendiri ketika banjir datang, termasuk membuat area pemukiman yang sangat dekat dengan bantaran kali atau sungai. Sehingga ketika banjir datang, maka daerah tersebutlah yang pertama diterjang banjir.

Masalah yang ketiga adalah beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, pemukiman dan pertokoan seperti yang terjadi di Kota Padang. Kota Padang kini sudah beralih fungsi menjadi daerah industri dan pemukiman sehingga menyebabkan semakin menyusutnya lahan pesawahan.

Dari semua itu, tentu berawal dari kurangnya peran Negara dalam tata kelola lingkungan serta kurangnya edukasi terhadap masyrakat terkait upaya untuk melestarikan lingkungan. Ditambah lemahnya sanksi bagi orang-orang yang melakukan pengrusakan, serta pemerintah membuka kran yang cukup lebar bagi para investor, namum lemah dalam pemberian aturan dan sanksi. Para pemilik modal diberikan kemudahan dalam izin pembangunan di negri ini, tapi mereka abai dengan kelestarian lingkungan.

Provinsi Sumatera Barat yang masyarakatnya terkenal akan budaya kegotongroyongan justru menjadi tanda tanya. Terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya kegotongroyongan di kalangan masyarakat Sumatera Barat juga menjadi penyebab hilangnya kesadaran akan kepedulian terhadap lingkungan yang ada di masyarakat. Masyarakat sekarang lebih cenderung bersikap individualisme, sehingga semangat gotong royong mulai memudar, bahkan hilang dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Sumatera Barat.

Hal itu terjadi karena Akhir-akhir ini pergeseran sistem kegetongroyongan berubah menjadi sistem perburuhan tanpa disadari semakin jelas, unsur-unsur tertentu dalam kehidupan masyarakat yang dulunya dilakukan secara bersama-sama dengan gotong royong, hari demi hari telah bergeser ke sistem perburuhan. Awalnya sistem kehidupan semacam ini terasa agak asing dan janggal di pandang mata. Namun seiring waktu menjadi kebiasaan yang harus diterima dan didorong oleh beberapa hal, baik yang bersumber dari faktor interen maupun ekstetren.

Seharusnya semangat nilai-nilai gotong royong yang ada pada masyarakat Sumatera Barat, bisa menjadi solusi dari musibah banjir dan longsor yang terjadi. Setidaknya bisa meningkatkan kesadaran bagi masyarakat agar pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Jika lingkungan sudah dijaga dan dilestarikan dengan baik, setinggi apapun intensitas hujan yang turun, pasti bisa mengalir dengan baik tanpa adanya penyumbatan yang menyebabkan terjadinya genangan.

Mengatasi musibah banjir dan longsor ini harus ada usaha bersama antara masyarakat, pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat. Dan yang terpenting adalah menanamkan kesadaran atas kesalahan yang dilakukan, bukan lansung menyalahkan tuhan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Mahasiswa KKN UIN IB, Bantu Masyarakat Pasca Banjir Bandang di Limo Koto

Next Post

Sejarah Pendirian Pantai Penyu: Minimalisir Penangkapan Secara Ilegal

Related Posts
Total
0
Share