Oleh : Riska Tri Purwanti
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri ( IAIN) Parepare
Detik berlalu jadi abu
Kisah berantai kini sudah jadi debu
Air mata menetes di pusara
Membeku bagai permata indah lelap tidur dalam kerang merona.
Kusingkap secercah embun dini hari
Wangi kucium semerbak puing harapan
Melebur nyata tak sanggup membasuh duka
Ketika waktu tetap berputar menurut hukumnya
Aku masih menjadi pesan tersirat yang tersimpan dalam kitab semesta
Ku bahagia di balik desas-desus luka
Walau ku tak tahu cara menghamba
Dzatnya tak pernah acuh meninggalkan segalanya
Semilir dendam beringas di kepala
Fakta hilangkan bahagia terhempas angin
Merenggut nyawa betebaran naik ke udara
Malam menjadi sekat untuk ku bersimpuh
Dosa mengalir bagai air menghantam karang di lautan biru
Rela kusungkurkan tubuhku jika itu adalah salah satu cara untuk menemukan jawabanmu
Jiwa telah gerah dari dosa yang kini berubah jadi nanah
Tangis berdarah bahkan tak pantas ku kirim lewat doa
Berulang dan berulang ku ulang
Hingga muak telinga mendengar
Jiwa ini sakit
Saking sakitnya,
Ia mampu menembus inti jantungku yang paling dalam
Membuat tulang rusuk ku rapuh, retak dan patah
Rongga dada menganga sebab luka di dalam masih basah berdarah
Aku disekap oleh fananya cerita
Dunia telah menjadi panggung sandiwara
Kau yang kini menjadi sutradara
Sedang aku adalah properti bisu yang tak memainkan peran dalam memulai sebuah drama.
Beberapa kali kau beri peringatan untuk hamba pendosa
Hingga kau butakan mata ini, kau tulikan telinga ini, dan kau bungkam mulut ini
Lantunan ayat suci Al-Qur’an kini sudah menjadi hal yang lumrah
Tak dapat lagi menyentuh apalagi menampar hati seorang hamba
Tak ada satupun panca inderaku berfungsi kerena nafsu
Tak ada sentuhan hidayah yang datang menegurku
Dan tak ada uluran tangan yang mampu menolongku,
Tuhan…
Bisik insan yang naif ini
Bisik walau harus kau pecahkan gendang telinganya,
Cuci dan otak-atik otaknya agar bersih dari doktrin-doktrin kefanatikan Agama.
Tuhan…
Kita bertemu lewat sujud-sujud hariku
Di atas sajadah hitam ku bersimpuh
Di sepertiga malam tahajud ku mengaduh,
Berlinang air mata memanggilmu
Nafasku tersentak terengah-engah
Kedua betisku bertaut kesakitan
Nyawaku hendak sampai ke ubun-ubun
Tak sempat mulut ini mengucap
“Ashadu anla ilaa ha illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah”
Berhenti aliran darahku
Nadiku mulai mati dan meninggalkan semua sajak dalam puisi,
Jam dinding terus memperdengarkan detakannya
Azan berbunyi memanggil umatnya
Aku yang kini terkapar di atas sajadah
Masih menjadi teka-teki hingga menciptakan sebuah keambiguan lara
Wahai Tuhanku,
Aku adalah seorang manusia hina
bahkan makhluk yang lebih dari hina
Tuhan…
Munafik diri ini
Ibarat bunga Raflesia yang indah akan fisik dan busuk akan sifat
Sekarang bunga itu harus berganti menjadi setangkai mawar hitam
Karena ku butuh waktu
Untuk mengubahnya menjadi setangkai melati putih
Aku yang lahir dari sucinya putih
Telah larut dari segunduk dosa, sebait ego, dan sesajak nafsu
Dan kini telah bercampur air racun pekat
Ternetralisir oleh tirta amarta keruh merasuk dalam jiwa sang pendosa
Tuhan…
Kini aku hanya ingin dua dari seribu doaku
Kembalikan ruhku
Dan ajari aku cara bertuhan kepadamu.
Parepare, 08 Januari 2020 lalu