Suarakampus.com- Ajang Pemilihan Rektor (Pilrek) UIN Imam Bonjol Padang untuk masa jabatan 2021-2025 turut mengundang perhatian dari beberapa alumni UIN IB. Sebab, minimnya bakal calon rektor dan penetapan rektor yang diatur oleh Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tersebut dinilai tidak demokratis.
Hal tersebut disampaikan Ketua Ikatan Alumni (Iluni) UIN IB Jabodetabek Ilza Mayuni. Katanya, penyebab Pilrek kali ini berjalan lesu karena adanya unsur politisasi pemilihan dan regenerasi profesor yang berjalan lambat.
“Saat ini jumlah profesor yang berada di UIN IB sangat minim, di mana hanya dua profesor berusia di bawah 60 tahun yang merupakan salah satu syarat bakal calon rektor,” katanya, Jumat (30/04).
Kendati demikian, Ilza berpendapat bahwa persyaratan calon rektor hendaknya perlu ditinjau kembali. Pasalnya, tidak hanya profesor mempunyai kemampuan memimpin yang baik, namun seorang berpangkat lektor pun juga memiliki kapabilitas leadhersip yang cukup mumpuni.
“Tingginya persyaratan yang ditetapkan Kementerian Agama (Kemenag) telah membuat banyak nama urung mengikuti Pilrek,” ujarnya.
Menurutnya, Pilrek bakal berjalan dengan menarik dan berkompeten jika diikuti oleh banyak calon. “Ketika suatu pemilihan diikuti banyak kontestan, tentu bakal menyajikan beragam opsi kepada kita semua untuk memilih pemimpin yang berkualitas,” tuturnya.
Kehilangan Daya Tarik
Sementara itu, Sekretaris Iluni UIN IB Farid mengatakan UIN IB harus sadar dan introspeksi diri atas minimnya peserta yang maju pada Pilrek kali ini. “Tidak adanya peserta dari luar menandakan UIN IB sudah kehilangan daya tarik,” ucapnya.
Berkaca dari penyelenggaraan Pilrek pada 2015 lalu, sambungnya, terdapat empat orang yang maju untuk memperebutkan kursi nomor satu di UIN IB. Bahkan satu nama di antaranya berasal dari eksternal UIN IB, yakni Armai Arif dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Sangat jauh perbedaanya, dan ini merupakan tanggung jawab kita semua untuk mengembalikan daya tarik UIN IB di kancah nasional.” tuturnya kepada wartawan suarakampus.com.
Dilanjutkan, melihat persaingan kedua bakal calon rektor yang tidak begitu ketat, bisa saja disebabkan oleh sesuatu yang disengaja oleh pihak kampus. “Saya beranggapan ada beberapa oknum yang sengaja memperlambat pengkaderan seorang dosen maupun civitas akademika lainnya. Hal tersebut dipicu demi mempermulus salah satu nama untuk menjadi rektor” sebutnya.
“Pihak kampus juga telah gagal dalam membina dan meningkatkan daya juang dosen untuk mencapai puncak kariernya,” sambung Alumni Jurusan Sejarah Peradaban Islam itu.
Sementara itu, Alumni Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Juher mengatakan, demokrasi di ranah Perguruan Tinggi Keagamaan telah mati sejak adanya campur tangan Kemenag dalam menetapkan rektor, yang tertuang pada PMA No. 68 Tahun 2015. Hal ini juga berpengaruh terhadap minimnya peminat peserta pada Pilrek tahun ini.
Untuk itu, ia menegaskan pihak kampus hendaknya mengembalikan program calon dosen yang pernah diagendakan menteri agama dulu. Lebih rinci, program tersebut mengatur pendidikan gratis terhadap dosen dalam meraih gelar doktor.
“Jika Kemenag tidak bisa, maka sudah seharusnya UIN IB menyiapkan anggaran untuk program tersebut demi meningkatkan mutu akademik dan kualitas” jelas Mahasiswa FTK angkatan 1967 itu.
Ia berharap ke depannya UIN IB mampu menetapkan rancangan dan strategi khusus dalam menata pekerjaan jangka panjang. “Kerja tidak hanya rutinitas, namun ada program berskala panjang yang harus dicapai,” tutupnya.
Hingga berita ini dimuat, tim suarakampus.com telah berulang kali mengkonfirmasi kepada masing-masing bakal calon rektor pada Pilrek kali ini. Namun, bakal calon tersebut enggan memberikan jawab dan ada yang berdalih tidak mempunyai waktu lantaran sedang berada di luar kota.
Wartawan: Firga Ries Afdalia