Oleh: Alif Ilham Fajriadi
September yang kelabu, bagi kita yang sepertinya hampir sampai di batas segala angan ini. Doa-doa menjelang tidur dan cerita indah untuk diri sendiri mulai pudar sepeninggalmu dari tempat yang aku sebut harapan.
Benar kata beberapa penulis yang kerap aku ulang-ulang membaca buku mereka. Bahwa jatuh cinta adalah patah hati paling disengaja-bahwa cinta adalah kerelaan-bahwa cinta adalah kasih paling tulus tanpa pengharapan-bahwa cinta adalah jalan untuk pulang.
Aku masih ingat cerita kita dulu, dan bahkan masih melekat hebat. Tentang pintamu untuk kita di tahun-tahun yang akan datang, tentang aku yang masih menjadi orang yang sama, dan tentang segala hal cerita yang bertepuk sebelah tangan itu.
September yang hebat, mampu membawaku ke suatu tempat yang disebut kehampaan, tak berwarna dan tidak merasakan apa-apa. Semuanya seakan-akan mati, seperti tidak bergairah dan tak lagi hangat. Kamu seumpama Antartika, dan aku tentu Meksiko, segala hal yang tak sampai menjadi temu dan akrab untuk rasa kita.
Dan ternyata mencintaimu seperti membaca buku favotir bagiku. Bermula dengan debar ketidaktahuan, lalu terjerat rasa penasaran, hingga terjebak di tengah-tengah keinginan untuk mengungkap rahasiamu. Dan kau tau bagian terindahnya? Aku menghindari untuk mengetahui akhir ceritanya, karna mungkin tak ada lagi buku yang sepertimu.
Aku menemukanmu di antara cerita-cerita yang tidak aku baca, aku kehilanganmu di antara cerita-cerita yang sedang aku buat. Aku membayangkanmu pembuka dan penutup sebuah cerita.
Aku meramu perasaan dengan kata-kata seorang penulis, yakni jangan berahap, bahaya. Sukai saja karena suka, rindukan saja karena rindu, cinta itu kuat dan sederhana, ekspektasi membuatnya lemah dan rumit.
September yang hampir usai, dan aku yang masih menjadi pecundang di hamparan teks-teks bertebaran, angkuh dan tidak asik ini. Aku memaknaimu dengan cara indah, mengingatmu di setiap pagi. Dan, apakah ada yang lebih manis dari itu?
Semua orang boleh untuk singgah, datang, maupun pergi. Sore ataupun malam sama saja. Kehilangan tetaplah kehilangan, yang membedakannya hanya bagaimana kehilangan demi kehilangan itu mengubah diri kita. Mengubah jiwa kita. Dan kau berhasil, mengubahku dalam keadaan menjadi kosong.