Oleh: Nada Asa Fhamilya Febria Andre (Mahasiswa UIN IB)
Malam di Yogyakarta mengadu rindu di waktu yang sendu. Malam semakin riuh sebab serangga malam saling bersautan. Tak kenal jam, mereka semakin riuh membuat kesan malam yang seakan menakutkan. Langit malam juga tidak mau kalah, seakan-akan tau bagaimana perasaanku dia menangis sejadi-jadinya. Tirih airnya tidak dapat dihentikan. Angin malam juga ikut memeluk rusuk yang sempat kedinginan.
Aku Arunika, seorang gadis yang menanti penjelasan dari seorang laki-laki yang berjanji akan memberikan kebahagiaan. Dua tahun sudah, dia tidak ada kabar. Pergi menghilang begitu saja tanpa aba-aba. Aku mencarinya ke sana-kemari, namun tak kunjung aku dapati. Kalimat terakhir yang diucapkan setelah jalan-jalan malam mengelilingi kota Yogyakarta, dia berucap, “Kamu bahagiaku, jadi jangan pergi kemana pun. Aku berjanji akan memberikan kebahagiaan,” itulah kalimat manis yang diucapkan saat menelusuri jalanan dibawah rembulan dengan motor klasik miliknya.
Nyatanya, katanya tidak semanis gulali. Pergi tanpa aba-aba, dan yang ditinggalkan diselubungi luka serta dipenuhi tanda tanya. “Kemana perginya kamu wahai Purnama? Apa kamu lupa dengan janjimu yang melebihi manisnya gula? Ah, aku benar-benar resah dengan semua tanda tanya yang butuh penjelasan,” ucapku gusar sebab memikirkan purnama yang tidak tau rimbanya.
Dua tahun sebelum purnama menghilang tanpa jejak, dia sempat menyematkan sebuah gelang bewarna hitam legam, berinisial huruf “P” seperti terbuat dari benang khusus untuk gelang. Terlihat sederhana, namun bagiku gelang itu memiliki makna. “Ini hadiah untukmu Arunika, gelang ini memang tidak semahal berlian, tapi gelang ini aku membuatnya dengan penuh rasa,” ucapnya yang menatap lekat gelang di pergelangan tanganku.
Saat itu aku benar-benar bahagia, ingin berteriak sebab kata-katanya yang memabukkan rongga telingaku. “Terima kasih Purnama, tapi kamu harus tau bahwa gelang ini lebih mahal dari berlian atau pun batu permata,” ucapku tersenyum tipis yang memegangi gelang yang membalut pergelangan tanganku.
“Kenapa begitu?” tanya Purnama yang menukik sebelah alis tebal nan hitam.
“Karena kamu hahaha,” jawabku yang tertawa ringan.
“Aish, si Aruni sudah mulai pintar merayu. Belajar dari mana?” tanyanya yang juga ikut tertawa.
“Biasa, media masa kan serba ada. Jadi, fungsikan sebaik-baiknya,” timpalku yang masih tertawa melihat wajah Purnama yang terlihat kebingungan.
“Wah, ternyata putri kecilnya om Burhan udah besar sekarang ya hahaha,” ejek Purnama yang mengapit hidungku dengan gemas menggunakan jemarinya.
“Sakit hidung aku tau,” ucapku yang kesal.
“Hahaha, aku hanya bercanda. Maaf, aku kelewatan membuat hidungmu sampai memerah. Ya… sudah, kita pulang sekarang. Keburu larut,” katanya yang berdiri dan menggenggam jemariku menuju parkiran.
Di perjalanan menuju rumah, aku sebenarnya masih mau berlama-lama di angkringan langganan kami berdua. Namun, apa daya waktu yang memisahkan kami.
Setibanya aku di kos, aku merebahkan tubuh. Meregangkan otot-otot tubuh yang cukup kaku. Kira-kira ada 20 menit, sebuah notif masuk. Aku dengan malas menjangkau handphone yang ku lempar asal di atas kasur. Namun, aku kembali senyum-senyum sendiri. Melihat notifikasi yang masuk ternyata dari Purnama.
“Aku sudah sampai di rumah dengan keadaan selamat. Tidak ada satupun yang kurang, malahan rinduku terhadapmu semakin menjadi-jadi,” notifikasinya yang membuatku senyum-senyum sendiri.
“Ya sudah, syukurlah kalau begitu. Bersih-bersih, lalu tidur setelah itu,” balas pesanku.
Kling, notif kembali masuk. Purnama ternyata tidak mau melakukan apa yang aku perintahkan. Malahan, dengan santainya dia mengatakan kalau dia masih kangen. Seketika, aku tertawa membaca notifikasi darinya.
“Tidak mau, aku masih kangen sama si Putri om Burhan ini,” pesannya.
“Jadi mau apa?” Balas pesanku.
“Ketemu lagi hehe,” balasnya.
Tidak lama, layar handphoneku berganti ke panggilan masuk. Ternyata Purnama. “Halo, belum tidur juga,” ucapnya dibalik layar handphone.
“Belum ngantuk,” jawabku singkat.
“Belum ngantuk? Benarkah?” Tanyanya yang tidak percaya.
“Iya Purnama, sudah aku mau bersih-bersih dulu,” ucapku dan mengakhiri panggilan.
Percakapanku dengan Purnama berakhir sampai disitu. Aku sangat bahagia malam ini. Seperti orang yang paling bahagia di dunia. Semua ini karena Purnama, aku mengakhiri panggilan bukan karena kesal padanya tapi karena aku sungguh gugup. Malam ini, lengkingan suara jangkrik seolah-olah ikut bahagia dengan apa yang aku rasakan. Lengkingan suara jangkrik seperti berpesta riya. Merayakan hari bahagia sikap sederhana yang dilakukan Purnama.
Lamunanku buyar, sisi kepala yang ku sandarkan pada jendela kini ku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku.
“Aruni,” panggil seseorang.
“Iya kak, kenapa?” tanyaku.
“Kenapa melamun?” tanya kak Ani, seorang dokter yang sudah menjadi sahabatku.
“Masih memikirkan tentang dia? sudahlah Aruni, kamu cantik, kamu multitalenta, untuk apa menunggu yang tidak pasti?” sambung kak Ani yang menyeruput secangkir kopi.
“Mudah di lisan berat di hati kak,” celetukku yang tersenyum kecut.
“Bukan begitu Aruni, kakak hanya tidak mau melihatmu seperti ini. Sedangkan yang sudah pasti ada di depan kamu. Lintang, dia sungguh-sungguh pada kamu. Ini semua tentang realita Aruni, jangan mau menunggu yang tidak pasti. Jangan terbelenggu oleh yang memberi luka. Apalagi pergi yang meninggalkan tanda tanya,” jelasnya padaku.
“Huftt, entahlah kak. Aku butuh waktu. Besok aku mau ambil cuti kerja selama seminggu dulu. Aku mau menenangkan pikiran.
“Kakak mau ikut?” tanyaku yang menahan dagu di atas meja bundar di ruangan kerjaku.
“Ya sudah tidak apa-apa, malahan itu bagus dan membantu kesehatanmu. Kakak sepertinya tidak bisa ikut, besok ada operasi,” ujarnya.
“Ya sudah kak, tidak apa-apa. Aku mau ke Bromo rencananya. Bromo sepertinya cocok untuk menenangkan pikiranku. Aku balik dulu kak, assalamualaikum,” pamitku beranjak dari ruanganku dan meninggalkan kak Ani.
Keesokan harinya, aku bergegas berangkat seperti kataku pada kak Ani kemarin setelah mendapatkan izin cuti. Perjalanan cukup panjang, cukup membuat pinggangku pegal. Sesampainya di penginapan yang sudah aku pesan secara online itu, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Suasana disini membuatku tenang. Apalagi di Bromo nantinya. Membayangkannya saja, aku senang apalagi merasakan angin sejuk Bromo. Aku berencana ke kawasan gunung Bromo esok hari.
Setelah aku makan malam, aku berjalan menghirup udara malam di sekitaran penginapan ini. Benar-benar asri tempat di sini. Pohon-pohon pinus yang menjulang menambah kesan asri. Apalagi banyak di kelilingi berbagai bunga yang cantik. Langkahku terhenti seketika, tubuhku bergetar, aku sangat ingin berlari memeluk tubuh yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatku. Benar, dia sosok yang aku rindukan selama ini. Benar, dia adalah Purnama. Sungguh, aku tidak main-main soal itu. Langkahku terhenti kembali ketika aku melihat seorang perempuan dibalut baju yang sungguh trendi. Tak lupa, dia memeluk Purnama sambil tersenyum begitu juga dengan Purnama. Aku benci menyaksikan hal seperti ini. Baru saja aku bahagia bertemu dengan Purnama tapi malah lukaku bertambah menyaksikan ini.
“Arunika?” panggil Purnama yang sadar akan keberadaanku.
Aku langsung berbalik dan bergegas pergi dari tempat itu. Sepertinya aku kalau cepat, hanya berlari beberapa meter saja lenganku berhasil dicegat oleh Purnama. Hal itu sontak membuat tubuhku menghadap pada Purnama. Dia menatapku lekat dengan wajah sendu. Aku benci tatapan itu. Yang pada awalnya, aku merindukan tatapan itu. Aku menghempas kuat tangan Purnama.
“Aruni,” panggilnya lembut.
“Maaf, saya harus pergi,” ucapku dingin dan berbalik menuju kamarku.
“Aruni! tunggu. Ada yang ingin aku sampaikan,” teriaknya yang mengejarku
soal perempuan yang memeluk Purnama tadi, aku tidak tau. Aku tidak melihat keberadaannya lagi di sana. Entah pergi ke mana, yang aku tau aku sungguh kecewa dengan Purnama.
“Saya tidak ada urusan dengan anda, jadi saya tidak akan mendengarkan apa pun,” ucapku dingin yang masih berjalan membelakangi Purnama.
Hap, Purnama berhasil meraih lenganku. Wajahnya pucat, tangannya dingin dan matanya sendu menatapku.
“Lepaskan tangan anda, kalau masih bersikeras saya akan teriak!” ucapku dengan nada tinggi yang menatap dingin Purnama.
“Maafkan aku, sungguh aku meminta maaf padamu Aruni,” kata Purnama dengan suara bergetar.
“Semudah itukah? apa anda tidak memikirkan perempuan bodoh ini yang menantikan penjelasan, yang menanti kebahagiaan seperti yang anda janjikan? Ini hasil kebodohan saya menunggu seorang laki-laki yang sungguh saya cintai. Saya bersyukur datang ke sini dan bertemu dengan anda sosok yang selama ini saya cari. Sekarang saya sudah lega, tidak berkecamuk dengan penantian panjang ini.
“Tanpa Anda jelaskan saya sudah paham,” jelasku yang begitu terasa sesak dan menatap kosong.
“Sungguh, aku membencimu. Saya kembalikan gelang ini. Masa saya menjaga gelang ini sudah berakhir. Tentang Aruni dan Purnama juga telah usai. Tidak ada yang salah, itu hakmu melakukan itu semua. Permisi,” kataku yang tidak kuasa menahan air mata.
“Aku melakukan ini karena terpaksa Aruni! Kamu tau aku dari keluarga yang tidak mampu. Aku melakukan ini karena ayah dan ibuku! Aku juga tidak mau melakukan ini Aruni. Aku memohon padamu percayalah, untuk apa aku meninggalkan seorang perempuan yang istimewa bagiku setelah ibuku? untuk apa aku berjanji akan memberikan kebahagiaan padanya? aku meninggalkanmu dengan penuh keterpaksaan! sungguh aku lelah berpura-pura baik-baik saja di mata orang-orang. Percayalah Aruni, aku terpaksa melakukan ini karena ayahku saat itu harus segera dioperasi sebab penyakitnya. Keluarga Bunga datang padaku menawarkan pinjaman dengan syarat aku harus menikahi putrinya. Aku sungguh kalut Aruni, aku tidak mau melakukan itu. Sebab gadisku itu Arunika bukan Bunga. Mengertilah Aruni,” jelas Purnama yang terdengar menahan tangisnya sebab aku masih membelakanginya dan menangis.
Ternyata, perempuan yang memeluk Purnama tadi bernama Bunga. Dan aku masih belum percaya dengan perkataan Purnama. Bagaimana mau percaya, untuk janjinya dua tahun lalu tidak terbukti. Aku berbalik menghadap Purnama, aku tatap matanya yang dibasahi air mata.
“Lantas, apakah kamu pantas meninggalkanku dengan penuh tanda tanya, apakah kamu tidak bisa mengatakan kenyataan pahit yang harus aku rasakan meskipun hanya melalui secarik kertas saja? , apakah pantas Purnama?,” kataku dengan suara yang sudah bergetar.
“Mungkin perkataan maafku tidak cukup dengan luka yang telah aku toreh padamu. Sekarang pukul saja aku, semoga itu membuatmu lega dan memaafkan aku. Ayo Aruni, pukul saja aku,” kata Purnama yang bersimpuh di depanku dengan memukul-mukul kepalanya.
“Sudah Purnama, hentikan! jangan menyakiti diri sendiri, tidak ada gunanya. Aku sudah terlanjur kecewa padamu. Dan penjelasanmu tadi aku tidak percaya. Kamu mengatakan terpaksa, tapi kenapa kamu begitu bahagia saat dipeluknya? lagian, kalian sudah berkeluarga. Aku tidak mau merusak rumah tangga orang lain,” ucapku yang menitihkan air mata.
Purnama terdiam, dia tidak bisa menjawab kata-kataku. Di luar dugaanku, Purnama memukul bruta kembalil kepalanya dan memohon maaf padaku disela tangisnya.
“Sudah, hentikan! tidak ada gunanya kamu melakukan itu Purnama. Kamu mau aku memaafkanmu?,” kataku yang tidak tega melihat Purnama memukul kepalanya dengan brutal.
“Apa itu Aruni? katakan saja, agar kamu bisa memaafkanku,” sargas Purnama.
“Berdirilah, jangan bersimpuh seperti ini,” perintahku yang diiyakan oleh Purnama.
“Katakan Aruni, katakanlah,” desaknya.
“Kamu masih punya satu janji padaku bukan?” Tanyaku yang kali ini sudah tenang.
“Iya, aku punya janji untuk memberikan kamu kebahagiaan. Aku akan lakukan itu sekarang,” katanya padaku yang meraih jemariku untuk digenggamnya namun aku segara menarik tanganku agar tidak digenggam oleh Purnama.
“Berikan kebahagiaan itu padanya, maka aku akan memaafkanmu. Tentang aku, kamu tidak usah khawatir. Aku ini seorang psikiater, jadi aku bisa atasi sendiri. Kamu harus berjanji melakukan itu. Dan itu perintahku!” Tekanku yang tersenyum tipis.
“Aruni, kenapa kamu sebaik ini? terbuat dari apa hatimu? aku laki-laki yang bodoh telah meninggalkanmu. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik dariku Aruni. Dan aku bangga, akhirnya kamu bisa menjadi seorang psikiater seperti yang kamu cita-citakan dulu. Sekali lagi aku meminta maaf padamu, atas luka yang sudah aku toreh,” kata Purnama dengan wajah penuh penyesalan.
“Ya…sudah kembalilah, aku juga harus kembali,” titahku pada Purnama.
Purnama tidak mendengarkan perkataan diriku, dia malah memelukku dengan erat. Aku tidak mau munafik, aku sungguh rindu sekali dengan Purnama. Aku harus belajar merelakan Purnama untuk kebaikan semuanya. Aku tidak mau mengacaukan rumah tangga orang lain. Inilah akhir penantianku yang sia-sia. Bukan malah bahagia tapi luka yang harus aku sembuhkan dengan rapi. Nyatanya benar kata kak Ani, jangan menanti yang tidak pasti. Sebab, ini perihal realita bukan perihal ekpektasi.