Suarakampus.com- Konsolidasi demokrasi Indonesia pasca reformasi menemui jalan terjal. Menurut Ketua Network for Indonesian Democratic Society Dahlia Umar, hal itu terlihat seiring berjalannya sirkulasi kekuasaan sejak reformasi hingga saat ini yang lebih mengedepankan demokrasi prosedural, alih-alih menerapkan demokrasi substansi.
Ia mempertanyakan implementasi nilai-nilai demokrasi yang mencakup kebebasan berpendapat dan berserikat, penegakan HAM, supermasi hukum, dan pemilu yang bebas dan adil. Menurutnya, penerapan demokrasi hari ini telah terjerumus dalam arus balik menuju otoritarianisme.
Menurut Dahlia, terdapat permasalahan disain elektoral yang mengakibatkan oligarki memainkan peranan yang begitu besar dalam membentuk konfigurasi politik Indonesia. “Pemilu hari ini hanya menjadi alat meraih kekuasaan, bukan menciptakan pemerintahan dengan akuntabilitas dan representasi kepentingan rakyat,” kata Dahlia dalam diskusi virtual bertajuk Indonesia Democracy Consolidation, Senin (05/07).
Ia menilai, rezim hari ini merupakan bentuk pemerintahan otoriter gaya baru. Hal itu terjadi ketika partai politik tidak lagi menjadi penentu dalam membentuk dominasi kekuasaan eksekutif. “Sekarang peran itu diambil alih oleh oligarki, bukan lagi partai politik,” katanya.
Keterhubungan masyarakat dengan parpol, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Januari 2021, menunjukkan tingkat identifikasi partai (party id) hanya menyentuh angka 12 persen. Itu artinya, 88 persen masyarakat Indonesia merasa tidak terhubung dengan partai politik.
“Parpol semakin menarik diri ke arah kepentingan elit negara dan menciptakan kesenjangan antara kelompok penentu penyelenggara negara dengan rakayat. Rakyat hanya menjadi objek politik lima tahunan semata,” kata Dahlia.
Pasca pemilu 2019, Indonesia semakin terjerembab ke dalam jurang otoritarian gaya baru. Pemerintah memborong seluruh kekuatan parpol dengan hanya meninggalkan tiga partai sebagai kelompok oposisi: Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat.
Dengan dukungan 427 kursi yang dimilikinya, rezim Jokowi telah menyamai capaian orde baru. Semenjak menanamkan kekuasaannya, Golkar yang merupakan mesin politik Soeharto selalu menguasai parlemen lebih dari setengahnya, sehingga hal itu mampu membuat The Smilling General bercokol 32 tahun lamanya.
Inilah yang menurut Stevan Levitsky dan Daniel Ziblat dalam bukunya How Democracy Die (2018), bahwa berkembangya kultur dan tindakan otoriter oleh penguasa yang dipilih dalam pemilu yang demokratis. Sederhananya, Ziblat dan Levitsky mengatakan bahwa cara-cara demokrasi sering digunakan untuk menabrak nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Masih menurut Dahlia, ancaman demokrasi semakin menganga ketika pemerintahan tidak dijalankan dengan prinsip check and balances. Ketidakseimbangan kekuatan politik yang ada semakin membahayakan hegemoni kebijakan dan regulasi yang dihasilkan.
“Kecenderungan Presiden terpilih untuk menggalang koalisi pemerintahan sebesar-besarnya menghambat terbentuknya oposisi berbasis parpol,” kata Dahliah
Wartawan: Nandito Putra