Berbagi Ketika Hidup

Oleh: Ulfa Desnawati (Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang)

Laki-laki setengah baya itu lagi-lagi menguap menahan kantuk sembari memandangi ruangan kecil bercahaya lampu 10 watt, sesekali melongo ke luar pintu berukuran kecil yang terbuat dari kayu bekas pembangunan gedung yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Alhasil pria berkulit hitam manis itu berhasil menyulap kayu itu menjadi rumah mini, cukup menjadi tempat berteduh dari hujan dan terhindar dari teriknya sinar matahari yang semakin menyengat akibat pemanasan global.

Laki-laki itu tersenyum tipis memandangi langit Ibu Kota Jakarta. Ia merasa sunyi dalam keramaian teringat anak istrinya yang tinggal di kampung. Wajahnya berpaling menatap seekor hewan berkaki empat yang terus menjulurkan lidah ingin mendekat tapi tak berani mendekat, mungkin ia tahu bahwa orang yang berada di depannya ialah muslim.

Tak enak hati bila ia mendekat, takut orang itu terkena najis karena statusnya yang seekor anjing. Anjing itu terus menggonggong ke arah laki-laki berkumis itu, ia tersenyum riang sambil bergumam syukur kepada Sang Kuasa karena telah diberi kode oleh si anjing bahwa ada pembeli yang datang. Laki-laki tersebut turun dari rumah kecilnya menyelipkan jempol kaki ke sendal jepit berwarna hijau dan bergegas menuju lokasi tempat barang yang ia pasarkan, tak begitu jauh cukup jalan kaki saja.

Laki-laki setengah baya itu tersenyum ramah menghampiri calon pembeli, “mas mau merek yang mana dan tahun berapa?” katanya menawarkan.

“Saya mau beli stiker merek Honda tahun 2000 warna hitam putih, ada mas?” kata calon pembeli bertubuh jangkung berperawakan Sunda.

“Kalau itu stoknya habis mas, kalau mas mau saya bisa belikan di toko langganan saya. Insya allah besok lusa saya bisa jual ke mas, itupun kalau mas gak keberatan,” ucap laki-laki berkulit hitam manis tersebut dengan wajah penuh harap.

Laki-laki bertubuh jangkung itu mengerutkan keningnya dan mulai berpikir. “Oke…, kalau gitu ini nomor HP saya, nanti kalau barangnya sudah ada tolong hubungi saya,” ucapnya.

Kedua laki-laki itu saling bersalaman tanda kesepakatan tanpa tinta dan kertas, namun kepercayaan.

Beda tempat beda situasi, sang istri laki-laki setengah baya itu mulai mengayunkan kakinya. Bukan karena sedang mengayuh sepeda, namun yang ia kayuh berupa sebongkah besi yang dirakit menjadi mesin jahit. Ibu empat anak itu terus mengayuh mesin jahit, sesekali berhenti melepas kaca mata yang mulai berkabut dan membersihkannya secara perlahan dengan kain khusus kaca mata. Terasa penat, namun ia hiraukan teringat magic yang belum terisi nasi dan piring yang rindu dengan samba (bahasa minang berarti lauk pauk).

“Saketek lai (sedikit lagi),” gumam wanita berkulit kuning langsat itu.

Walau hari semakin senyap karena malam, ia hiraukan karena tuntutan pelanggan yang ingin bajunya cepat selesai. Setelah baju selesai wanita manis itu mulai menutup kedai tempatnya mencari nafkah untuk keempat anak yang begitu ia sayangi. Wanita berkerudung hijau itu mulai melangkah menuju sebuah kedai yang tak jauh dari rumah dan kedainya sambil menggenggam uang bernominal 20.000 ribu rupiah.

“Yuang, ibuk bali bareh saliter, taluah 4 dih (panggilan kepada laki-laki yang lebih muda, ibuk beli beras satu liter, telur empat ya),” ucap wanita berkulit sawo matang itu.

Pria berumur 30 tahun itu mulai mengayunkan tangannya mengambil pesanan ibu empat anak itu, kemudian mengambil uang dari tangan si ibu dan memberikan pesanannya.

Si ibu pun kembali berjalan menuju rumah, setibanya di rumah si ibu menyuruh anak perempuannya yang bernama Lina untuk memasak beras dan telur untuk makan malam mereka, anak gadis berumur sembilan belas tahun itu bergegas menjalankan amanah dari ibunya dengan telaten.

Ia menggerakkan kesepuluh jarinya mengerjakan pekerjaan dapur, bukan sulap bukan sihir namun telur yang sedikit itu telah menjadi banyak, rahasia umum wanita, telur itu di campur dua sendok tepuk terigu sehingga menghasilkan telur dadar yang banyak dan cukup untuk mengganjal perut.

Sembari menunggu beras bereformasi menjadi nasi dengan alat ajaib, anggota keluarga mulai menjalankan aktivitas rutinnya mengaji bersama, si ibu dengan baik mendengarkan muroja’ah hafalan anak-anaknya. Begitulah aktivitas sehari-hari keluarga sederhana ini.

Keesokan harinya, ibu empat anak itu menerima upah hasil menjahitnya sebesar 300.000,- rupiah. Ia teringat akan hutang yang harus ia bayarkan kepada Mak Onggah pemilik warung serba ada di desanya, segera ia bayarkan hutang tersebut. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang pengemis dengan baju kumal. Ia merasa tak tega, uang yang tinggal 20.000,- rupiah di dalam sakunya ia keluarkan dan memberinya kepada pengemis itu.

Setibanya di rumah, anak bungsunya mulai bertanya kepada ibunya. “Bu, Ratna mau makan tapi nasinya habis,” ucap gadis cilik berusia 11 tahun itu.

“Sabar sayang, ibu baru menabung sebentar ini,” ucap perempuan berjilbab itu.

Ratna tersenyum manis, seakan sudah terbiasa mendengar ucapan itu. Ia mengangguk kecil dan kembali bermain.

Di Jakarta, laki-laki setengah baya berhasil menjual dagangannya dan mendapatkan bonus dari pelanggan tetapnya. Ia bersyukur sekali karena sudah dua minggu lebih belum bisa mengirim uang untuk anak dan istrinya di kampung. Segera ia mengirimkan uang 200.000 rupiah untuk istri dan anaknya.

Tak berselang lama setelah ibu empat anak itu bersedekah, Allah memberikan rezeki dari jalan yang tiada disangka-sangka, yakni dari suaminya yang berada di perantauan. Ia mengucapkan syukur bisa membeli makanan untuk anak-anaknya. Ibu empat anak itu selalu menanamkan di dalam hati dan anak-anaknya bahwa perbuatan baik yang dilakukan akan mendapatkan balasan yang baik juga. “Berbagi selagi hidup akan menaruh kebahagiaan yang luar biasa baik untuk sekarang ataupun nanti,” gumamnya dengan senyum merekah.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Ibu Kaulah Mentariku

Next Post

UIN IB Rancang Metode Campuran Dalam Pelaksanakan KKN Juli Mendatang

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty