Cemara Kasih

Sumber: Pixabay.com

Oleh: Evrilia Rahayu Mustafa
(Mahasiswi MPI UIN Imam Bonjol Padang)

Pada saat itu juga, ia berhenti memikirkan bagaimana layaknya perjalanan sepasang sepatu, yang hilang tanpa usai. Aku menghela nafas sambil tersenyum. Menyorot kedua mata ke arah kepala sampai ujung kaki, lantas aku bertanya, “Pantaskah telapak kakimu tergores hanya karena salah satu alasnya hilang?”

Ia kembali menyerka tudungnya. Hawa panas seakan menyimpuk dedaunan yang telah usai mengenyam. Ia merenung, cengkeram tangan yang penuh dengan peluh. “Akankah dunia adil tanpa kasih halnya cemara?” Ia bertanya tajam ke arahku.

Aku membisu tanpa lirih, menatap sepasang sepatu putih yang ku kenakan.

Kedua mataku kembali menyorot ke atas, aku melihat banyak helaian daun yang menutup angkasa. “Apakah kamu ingat kotornya tanah yang melekat di tanganmu, tepat setahun lalu?” tanyaku tenang.

Ia menilik ke bawah, hati memandang akar-akar pohon yang menjalar, menyeka butiran tanah yang menyelimuti akar. “Ya, aku ingat. Bukankah kita yang menanam pohon ini bersama?” Ia kembali menanya dengan suara lirih.

Aku mengangguk pelan, menatap kedua sudut matanya yang penuh dengan binar gemerlap. “Kamu tahu apa yang istimewa tentang pohon ini?” tanyaku padanya.

“Tidak ada, ia hanya sebuah pohon cemara yang kita tanam,” jawabnya lantang.

Aku tersenyum pelan, menatap sinar cahaya yang menembus ranting pohon. “Seseorang sedang duduk di bawah pohoh hari ini, karena seseorang menanam sebuah pohon beberapa waktu lalu,” ujarku bijak.

Ia tertampar keras, pipinya seketika pucat, mendengarkan pernyataan yang ada di depannya.

Gerimis menyapu helaian daun dan menusuk kulit wajah yang tertampar. “Apakah daun bisa hidup tanpa ranting?” tanyaku padanya. Ia menjawab dengan yakin, “Tentu saja tidak, daun dan ranting itu hidup berdampingan. Tanpa ranting, daun tidak tahu harus hidup di mana,” ujarnya.

Aku mengusap bahunya sambil berkata, “Kamu benar. Seperti itu filosofi kasih, ketika kedua elemen memang ditakdirkan bersama, berdampingan dengan cinta, maka ia akan tumbuh dengan lebat.” Ia mulai mengerti atas perkataanku.

“Apakah mereka saling melengkapi?” Ia bertanya dengan penuh keyakinan.

Aku mengutip sehelai daun yang gugur tepat di sampingku, menaruh tepat di telapak tangannya, lalu membisik ke arah telinga. “Kemana rantingnya?” tanyaku lambat.

Ia bingung atas pertanyaanku, lalu menoleh ke atas. “Rantingnya tertinggal di atas,” jawabnya bimbang.

Girangku menyapanya, “Sekali lagi kamu benar! rantingnya memang tertinggal di atas. Namun, tidak menutup kemungkinan akan jatuh bersamaan, selaras ranting tidak akan jatuh bersamaan hanya karena sehelai daun, masih ada daun lainnya yang hinggap dalam satu ranting untuk menutupi tempat yang kosong”

Ia berpikir keras, “Apakah artinya mereka tidak peduli akan kekurangan satu dan lainnya?”

“Ya! kekosongan ranting akan tertutup oleh daun lainnya. Sehelai daun yang jatuh masih bisa tumbuh dalam satu ranting yang sama,” jawabku seiring mencari celah angkasa yang tertutup dedaunan.

Ia tersenyum, menatap bebinar mata yang mulai menyusut akan gemerlap malam. Seakan hembusan angin membuka celah dedaunan tersambar sinar yang tertutup cemara.

Padang, 5 Februari 2023

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Penuh Tantangan

Next Post

Keringat

Related Posts
Total
0
Share
Just a moment...