Suarakampus.com- Berbicara tentang Minangkabau, maka tidak akan terlepas dari berbagai keunikan peristiwa sosial di masa lampau, maupun di masa sekarang. Bahkan dari kebudayaan, Minangkabau mendapatkan tempat popularitas dalam skala nasional hingga internasional. Yang fenomenal dari sisi kuliner terfavorit seperti rendang, dari sisi wisata populer salah satunya ada Jam Gadang di Bukittinggi.
Kalau perihal kebudayaan banyak sekali yang populer, seperti seni beladiri pencak silatnya yakni Silat Harimau, seni tari ada berupa Tari Piring, arsitektur rumah yang khas atau ikonik berupa rumah gonjong, dan ada salah satu tradisi yang sangat populer di Sumatra bahkan hingga Negeri Sembilan (Malaysia) yakni Tradisi Basapa, di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman.
Kegiatan tradisi ritual basapa, oleh masyarakat sekitar dilaksanakan untuk meminta keberkahan kepada Syaikh Burhanuddin yang telah berjasa dalam menyebarkan Islam di Minangkabau. Bahkan, diketahui pula, masyarakat ada yang meminta dan memohon kepada Syaikh Burhanuddin dengan berbagai hajat dan permintaan perihal duniawi dan perihal ukhrawi. (Prasetya, 2020, hal. 02)
Sekitar tahun 1316 H/1897 M, Penyelenggaraan ritual Basapa pertama kali dilakukan oleh para jamaah pengikut Syaikh Burhanuddin. Saat itu para peziarah pergi ke makam Ulakan tidak ada penentuan jadwal kunjung bagi mereka. Kemudian dua ulama pewaris Syekh Burhanuddin yakni Syekh Kepala Koto Pauh Kambar dan Syekh Tuanku Kataping mengambil inisiatif bermusyawarah dengan sejumlah ulama dan jamaah Tarekat Syattariyah untuk menentukan waktu ziarah bersama ke makam Syekh Burhanuddin. Akhirnya, para anggota rapat memutuskan bahwa ziarah dilaksanakan secara rutin pada setiap hari Rabu setelah tanggal 10 bulan Safar. (Ediyanti, 2020, hal. 9)
Setelah kesepakatan tentang pelaksanaan, Basapa hanya ditangani oleh alim ulama, pemuka adat, cerdik pandai dan masyarakat, mereka juga mengangkat Qadhi bertugas mengurusi pelaksanaan Basapa. Namun, sekarang ditanggungjawabi Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman, dengan harapan upacara Basapa dapat dijadikan sebagai salah satu aset pariwisata dan memberikan pendapatan kepada daerah. Akan tetapi, dalam praktiknya di lapangan peran pemuka adat ninik mamak kenagarian Ulakan sangat memiliki andil besar dalam penyelenggaraannya. (Febriyanto, 2000, hal. 38-39)
Ninik mamak memegang hak ulayat dari wilayah makam Syekh Burhanuddin kemudian mengorganisir pelaksanaan dari kegiatan Basafa, dengan membentuk kepanitiaan-kepanitiaan dalam kegiatan religius ini. (Ediantes, 2016, hal. 22)
Walaupun Syaikh Burhanuddin Ulakan adala tokoh ulama dari Tarekat Syattariah, tetapi dalam ritual Basapa, para peziarah kebanyakan tidak terdiri dari pengikut Tarekat Syattariah, melainkan mereka adalah masyarakat umumnya dari berbagai daerah. (Susanti, 2018, hal. 48)
Pelaksanaan ritual Basapa ini dilakukan sebanyak dua kali, yakni sapa gadang dan sapa ketek. Sapa gadang adalah ritual yang pertama dilakukan setelah tanggal 10 bulan Safar pada hari Rabu yang diikuti oleh para peziarah dalam jumlah cukup besar dari luar daerah Sumatera Barat seperti Aceh, Riau, Jambi dan lainnya hingga Malaysia.
Sedangkan sapa ketek adalah pelaksanaan ziarah sepekan setelah sapa gadang dilaksanakan. Namun, pada sesi sapa ketek ini biasanya diikuti oleh peziarah masyarakat daerah Padang Pariaman saja. (Prasetya, 2020, hal. 04)
Bahkan kenyataannya peziarah yang datang pada yang kedua kalinya pun demikian ramai dengan yang pertama, mereka terutama berasal dari berbagai wilayah provinsi yang berada di Sumatera Barat. Para peserta yang hadir diikuti dari kalangan orang-orang alim, para pejabat publik, aparatur negara dan golongan lainnya.
Setiap tahunnya sebelum pandemi menyerang dunia global dan wilayah Minangkabau (Sumatra Barat) khususnya, antusiasme luar biasa dari masyarakat yang hadir ke dalam acara tersebut pada umumnya beralasan karena menghormati beliau yang sudah berjasa dalam menyebarkan Islam di Minangkabau dan ditambah lagi ada beberapa hal keramat yang melekat dari Syekh Burhanuddin sehingga menjadi daya tarik bagi peziarah untuk hadir ke dalam proses ritual yang dilaksanakan setiap tahunnya di bulan Safar tersebut.
Kemudian lagi, hal unik bisa didapatkan dari tradisi ini, kalau diberikan penafsiran dari kata Basapa (bahasa Minangkabau) atau ‘Bersafar’ secara tidak langsung diartikan melakukan suatu kegiatan atau aktivitas di bulan Safar. Umumnya, orang menanggap kegiatan atau tradisi ritual yang dilakukan setiap bulan Safar merupakan aktivitas atau cara untuk mengusir dan menghindari atau lebih populernya ritual tolak bala. Akan tetapi, kenyataannya kegiatan ritual Basapa yang ada di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman ialah dalam rangka untuk mengingat kematian dari Syekh Burhanuddin yang wafatnya bertepatan pada bulan Safar tersebut.
Namun, dengan situasi dunia global yang masih pandemi, termasuk wilayah lokasi penyelenggaraan pun juga masih terkena dampak pandemi Covid-19. Mengingat sebentar lagi akan memasuki bulan Safar, masih menunggu keputusan dan kebijakan efektif pihak pemerintah daerah dan pihak panitia dari masyarakat setempat. Apakah agenda ritual tahunan ini akan tetap akan dilaksanakan atau tidak secara massal. Semoga saja kebijakann yang dikeluarkan memberikan solusi yang terbaik pada saat ini bagi masyarakat di sana.
Penulis: Johan Septian Putra (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)