Dialog Senja

Ilustrasi oleh : Zulis/suarakampus.com

Oleh : Zulis Marni
(Mahasiswi KPI UIN Imam Bonjol Padang)

“Jika kamu diberi kesempatan untuk hidup kembali, kamu mau hidup sebagai apa?” tanyaku sambil melempar kerikil ke dalam danau yang tenang itu, dan membuatnya sedikit beriak.

Dia tersenyum simpul. “Aku ga mau hidup sama sekali,” ucapnya santai.

Aku menatapnya sedikit terkejut “Ga takut mati?”

“Yang menakutkan di dunia ini sebenarnya bukan kematian, tapi kehidupan itu sendiri,” lanjutnya melempar senyuman terbaiknya kepadaku.

Aku berdecih pelan mendengar jawaban yang cukup familiar itu. “Atau sekarang jika ada bintang yang jatuh kamu akan berdoa apa?”

“Kematian mungkin,” jawabnya singkat sambil merapikan anak rambut yang menari bersama angin.

Kali ini aku memilih untuk diam, tidak lagi bertanya. Aku duduk di sebelahnya, ikut menikmati danau yang tenang sambil menyaksikan matahari yang sudah kian menjauh membuat warna langit kemerahan.

Aku menatapnya yang tengah memandang lurus ke atas langit dengan khidmat, entah apa yang ia pikirkan. Ia memejamkan mata menikmati setiap detik hembusan nafasnya.

“Menurutmu kenapa kehidupan itu lebih menakutkan?” tanyaku penasaran. Ah, perempuan ini selalu membuatku penasaran sejak pertama kami bertemu.

Dia berpikir sejenak, lalu kembali tersenyum. “Takut mengecewakan, meski sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kadang ada saja manusia yang kecewa. Entah itu hasil atau pun proses, tanpa peduli bagaimana perjuangannya.”

Aku terdiam hening beberapa detik, menyisakan suara derauan angin sore yang mulai terasa dingin. “Kamu pernah mengecewakan orang lain?”

Ia mengangguk pelan, “Bahkan sering, tak terhitung.” Senyumnya memudar, menatapku dengan wajah datar.

“Emangnya apa yang menarik di dunia ini?” tanyanya.

Aku berpikir sejenak mendengar pertanyaan yang tidak begitu sulit. “Hmm.” Aku berdehem pelan menatapnya yang menunggu jawabanku dengan wajah serius tidak biasanya ia bertanya. Lama kami hening dengan isi kepala masing-masing, meski pertanyaan ini tidak begitu sulit tapi aku kesusahan mencari jawabannya.

Ia terkekeh pelan melihatku yang tak kunjung bersuara “kamu aja ga tau,” ujarnya mengejekku.

Aku menghela nafas panjang “Mungkin duduk menikmati sore di pinggir danau bersamamu, adalah hal yang menarik dalam hidupku,” jawabku spontan.

Suara tawa itu kembali menggema di gendang telingaku, ia tertawa mendengar jawabanku. “Itu karena kamu belum menemukan pujaan hati, semuanya akan berubah saat kamu sudah menemukannya. Bisa jadi duduk di pinggir danau akan terasa membosankan, dan kamu akan memilih untuk duduk di pantai bersama pujaan hatimu. Kamu tau? di dunia ini fatamorgana, karna yang kamu sebut menyenangkan sekarang belum tentu esok menjadi hal yang menyenangkan, bisa jadi hal paling kamu benci,” ucapnya panjang lebar.


“Coba beri jawaban yang sedikit masuk akal,” pintanya sambil menepuk bahuku pelan.

“Gimana kalo ternyata kamu adalah pujaan hatiku? Itu ga akan merubah hal yang menyenangkan dalam hidupku,” bantahku mencoba untuk memperkuat argumen yang sebenarnya aku juga meragukannya.

Ia menggeleng pelan, menatapku dengan tatapan prihatin. “Itu terjadi jika aku berkenan, sekarang aku keberatan. Kamu ga mau, kan jatuh cinta sendirian? Itu akan jadi hal yang tidak menyenangkan, bukan?” ucapnya menatapku lirih.

Aku tertawa kecil, “Secara tidak langsung kamu menolak aku,” ucapku meringis pelan memperlihatkan wajah sedih padanya.

Dia memukulku pelan sambil tertawa lalu berdiri dari duduknya, menepuk baju yang dihinggapi oleh daun kering. “Pulang yuk,” ajaknya sebagai akhir dari obrolan singkat kami sore ini.

Aku berjalan mendahuluinya, mendekati sepeda motor yang sudah terparkir berjam-jam lamanya di pinggir jalan.

“Ayo naik, aku antar pulang,” tawarku sambil menepuk jok belakang yang masih kosong.

Dia menggeleng. “Aku bisa pulang sendiri,” jawabnya yakin.

Ia berjalan kearah yang berlawanan sambil melambaikan tangan tersenyum senang, aku mencoba untuk mengikutinya tak tega melihatnya berjalan kaki sendirian.

“Ayo naik! Aku antar pulang,” panggilku lagi.

“Ga usah, aku sudah biasa jalan sendirian,” jawabnya tanpa menoleh, tangannya sibuk memperbaiki tali earphone yang terlilit. “Aku ga suka dikasihani. Jadi, biar aku pulang sendiri tanpa rasa bersalah karena sudah merepotkanmu,” ujarnya.

“Aku ga repot sama sekali, aku juga ga keberatan untuk ngantarin kamu pulang.”

“Tapi aku keberatan.” Ia berdecak pelan merasa kesal dengan tingkahku. Ia menatapku tajam membuat nyaliku ciut. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengangguk lalu memutar balik sepeda motor, dan pergi meninggalkannya yang sibuk memasang earphone di telinganya. Berjalan dengan riang menikmati angin yang berhembus membuat ujung bajunya kesana kemari.

Besoknya kami kembali bertemu di sekolah. Ia begitu tampak jelas dari kerumunan siswa lain. Aku sangat mengenali perawakan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan mengenakan rok panjang. Aku berjalan menghampirinya membawa dua botol air minum pesanannya.

“Duduk di sana yuk,” ajak ku sambil menunjuk sebuah kursi yang di teduhi oleh rindangnya pohon rambutan yang belum berbuah, letaknya di pinggir sekolah.

“Aku ada kegiatan di OSIS, kapan-kapan kita ngobrol lagi. Makasi airnya.” Ia tersenyum riang seperti biasa berjalan menjauh ke arah bangunan kokoh di seberang sana. Aku terpaku menatap punggungnya yang sudah mulai hilang dari pandangan.

Sudah pukul 14.00 WIB bel berbunyi nyaring, sudah waktunya pulang. Aku berlari ke lapangan sekolah menunggunya keluar dari kelas. Benar saja aku menemukannya di ratusan siswa yang berjalan menuju pintu gerbang. Aku tersenyum saat tak sengaja mata kami bertemu. Ia melambaikan tangan kepadaku dan juga berpamitan dengan beberapa teman kelas atau organisasinya. Aku juga tidak tahu.

“Kemana kita hari ini?” tanyaku.

“Makan siang? atau pulang?” Dia balik bertanya.

Aku tertawa kecil, ternyata dia masih sama. Jika ditanya, bukan menjawab tapi malah bertanya balik, tidak masalah selagi itu menyenangkan.

“Makan siang,” ajak ku menarik pergelangan tangannya menuju parkiran.

Seperti biasa kami menghabiskan waktu berjam-jam lamanya, penutup pada hari ini kami kembali menikmati pemandangan di danau seperti biasa.

“Ah, aku harusnya bawa gitar,” ucapku penuh sesal, karena hari ini cukup indah untuk bernyanyi bersama.

“Kamu bisa main gitar?” tanyanya penasaran membuatku sedikit malu untuk mengakuinya.

“Aku bahkan bisa memainkan banyak alat musik, tidak hanya gitar,” ucapku bangga. Aku yakin, wajahku sedang tersipu.

Ia tersenyum senang. “Kamu berbakat,” ucapnya lirih namun masih bisa aku dengar. Wajahnya tertunduk melihat ujung kaki yang ditutupi kaos kaki hitam itu. Wajahnya berubah sendu dan terlihat sedih meski ia tersenyum.
“Kamu juga berbakat kok,” ujarku mencoba menghiburnya.

Ia mengangkat kepala menatapku sejenak, lantas tertawa renyah. “Aku berbakat?” ujarnya di sela-sela tawa.

Aku ikut tertawa meski aku tidak tahu di mana letak lucu dari ucapan itu.

“Aku berbakat dalam hal kalah.” Ia menghela nafas pendek. Dahiku berkerut, memikirkan kata-kata yang tidak aku pahami.

Seolah mengerti dengan tatapanku, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Bakatku adalah kalah, dikalahkan, terkalahkan dan kadang juga mengalah,” ujarnya sambil tersenyum simpul. “Ga semua orang yang bisa kalah, aku berbakat di bagian itu.”

Aku menatapnya lamat-lamat. “Benar ga ada yang ingin kalah, tapi kamu berbakat di sana dan selalu memenangkan kekalahan itu.” Aku menghela nafas panjang, udara di danau ini tiba-tiba terasa sesak.

Ia tersenyum menatapku dengan riang. “Tidak masalah memiliki bakat yang aneh, itu juga membuatku sedikit bangga,” ujarnya berusaha membuat suasana kembali nyaman. Aku ikut tersenyum seolah energi positifnya membawa suasana damai kembali.

Itulah percakapan terakhir bersama dia yang aku ingat. Kini waktunya sudah berbeda, meski tempat tetap sama namun, dia sudah tidak di dunia. Aku selalu membenarkan ucapannya soal kematian yang lebih menyenangkan daripada kehidupan. Hidup adalah tempat yang sangat melelahkan, tempat berjuang hingga kematian menjemput. Penantian yang melelahkan berusaha membawa banyak bekal entah seberapa banyak yang akan dibutuhkan di sana nanti.

“Kamu ternyata memang berbakat dalam hal kalah, beberapa tahun yang lalu kamu dikalahkan oleh kematian,” ujarku menatap gundukan pasir di sebelahku. Suasananya semakin menyekat dada, sudah sepuluh tahun berlalu tapi rasanya tetap sama.

Aku meletakkan bunga di depan batu nisan yang tertulis nama dia di sana. “Bagaimana? apa kamu benar-benar sudah bahagia? dengan kematian yang kamu dambakan?” Aku berdecih pelan melihat tak ada jawaban. Padahal aku sangat merindukan jawaban singkat dengan senyuman riang miliknya, yang membuat semua orang lupa jika dia juga mempunyai luka, luka yang amat dalam hingga membawanya kemari.

Aku menyapu air mata. “Bahkan, sampai sekarang kamu tetap menjadi orang yang paling menyenangkan dalam hidupku.”

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Semesta Katanya

Next Post

Harapan dan takdir

Related Posts
Total
0
Share