Langkah Perantauan

Ilustrasi renungan saat tengah malam di perantauan (Sumber: Pixabay.com)

Ketika itu cahaya bulan menerangi malam, bintang bintang hadir menemani gelapnya malam. Hembusan angin malam yang menusuk tulang dalam. Kesunyian tempat ibadah mulai diramaikan dari kalangan anak-anak hingga orang tua.

Kala itu, beduk masjid dilantunkan. Semua orang bergegas menuju tempat ibadah tanpa terkecuali. Dalam waktu sekejap semuanya mendirikan salat isya di malam hari ini. Melaksanakan ibadah penuh dengan kekhusukan, sunyi, tenang, dan tanpa keributan. Jauh dari keramaian masyarakat, hanya diramaikan oleh ribuan orang bersarung memakai kopiah dengan berbaju putih.

Setelah imam membaca salam salat, semua orang masih sibuk dengan kekhusukan zikirnya. Sebelum zikirnya selesai, maka belum ada yang mau meninggalkan masjid ini. Jangankan meninggalkan masjid, berbicara dengan kawan sebelah tidak bisa, apalagi mau bermain. Tanpa terasa, dengan berjalannya waktu nikmatnya zikir hingga larut malam. Semua orang kembali ke asramanya masing-masing.

Di dalam masjid paling sudut belakang, tanpa disadari masih terdapat seorang santri yang belum berhenti bermunajat dalam doanya. Lampu masjid telah dimatikan tanpa sepengetahuan pengurus masjid bahwa masih ada satu santri di dalam masjid. Dia tersebar ketika jam sudah menunjukkan larut malam.

Beni, nama seorang santri yang mondok di Pesantren Nurul Islam. Beni salah satu santri baru masuk di tahun ini dan menginjak kelas satu madrasah Tsanawiyah. Antara sedih, bahagia, gelisah, dan penasaran masih menyelimuti diri Beni.

Malam pertama di perantauan orang, tentunya hal ini akan terasa sangat berat, mustahil dan rasanya tidak kuat. Rasanya mau pulang, rindu dengan tidur dipeluk mamanya.

“Ma, Beni mau pulang, gak kuat lagi tinggal di sini,” dalam hatinya berkata keras.

Tidak terima tinggal seperti ini serta satu kamar penuh dengan kawannya. Ketika aktivitas malam telah usai dan digantikan dengan tidur istirahat malam. Seluruh santri dilarang keras untuk beraktivitas. Duduk di atas ranjang kasur, termenung menghadap kaca melihat bulan menyinari indahnya malam. Dia masih tidak percaya dengan keputusannya, belum pernah terbayangkan sebelumnya tinggal di sini di perantauan orang demi menuntut ilmu.

“Beni mau pulang ya buk, Beni gak sanggup tinggal di sini, Beni gak ada kawan, Beni rindu ibuk, Beni janji akan jadi anak baik lagi, jangan paksa Beni tinggal di sini buk,” curhat Beni dalam hati.

Tidak tahan lagi mau ngomong ke siapa, teman-teman pada tidur. Air mata tidak bisa dibendungi lagi, tangisannya membasahi kasur. Beni masih membayangkan betapa enaknya main di rumah ketika itu. Betapa hangatnya ada mama di setiap saat menemani. Betapa lucunya seorang ayah ketika tertawa bersama anaknya. Rumah yang nyaman itu sudah beda cerita, tempat kenyamanan sudah jauh dari sebelumnya. Sudahlah, pondok ini sekarang menjadi rumah kedua Beni.

Sekarang suasana baru, teman baru, orang tua baru, suasana makan baru, dan tidur bersama teman bukan dengan orang tua, serta belajarnya berbeda. Sekarang Beni belum tahu apa-apa tentang dunia masa depan ini. Beni masih memikirkan tentang rumah, padahal ini demi masa depan untuk kenyamanan bersama Beni.

Akhirnya, Beni tertidur di atas tangisan dan khayalannya. Ketika itu, jam menunjukkan sudah pagi hari, bulan masih tetap setia menemani hidup baru Beni. Setelah shalat subuh dilaksanakan, nama Beni dipanggil untuk datang ke kantor asrama. Dengan tampang polos ditambah perasaan cemas, ada perihal apa dipanggil di kantor. Setelah sampai di kantor, Beni dikasih paket satu kardus. Tidak tertahankan deraian tangisannya, dia membaca paket itu dari mamanya. Baru semalam dia rindukan sekarang dikirim pengganti rindunya. Alangkah bahagianya ketika itu. Suatu hal yang tidak percaya bagi Beni, dia membuka bungkusan paket itu dan menemukan surat kecil.

“Beni, kau hebat mau mondok, yang kuat ya, mama yakin kau bisa, dan pasti berhasil,” pesan mama Beni di atas kertas kecil.

Penulis: Febrian Hidayat (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Stop Cemburu pada Pasangan, Berikut Caranya

Next Post

Menunggu Takdir Tuhan

Related Posts

Kau

Oleh Ulya Rahma Yanti Mahasiswa PGMI UIN Imam Bonjol Padang Kempa asmara membuatku terlenaEngkau bagaikan bagaskara nan menyilaukanUntuk…
Selengkapnya
Total
0
Share