Suarakampus.com- Hobi menonton anime telah membawa beberapa mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang ke dunia cosplay menciptakan peluang baru, tetapi juga menuai beragam tanggapan. Di tengah pro dan kontra, mereka tetap menyeimbangkan kecintaan terhadap budaya Jepang dan kewajiban akademis.
Pandemi COVID-19 menjadi pintu gerbang bagi salah satu mahasiswa UIN IB Padang, berinisial T, untuk mengenal dan mencintai anime. Berawal dari ajakan teman, kebiasaan ini berkembang menjadi hobi yang tidak tertinggalkan.
“Genre action dan romance adalah favorit saya. Alur ceritanya yang tak terduga serta keunikannya menjadi daya tarik tersendiri,” ungkapnya.
Namun, tidak berhenti di situ, kecintaannya pada anime berkembang, mulai aktivitas cosplay pada awal 2022. Ia mulai aktif menghadiri berbagai acara budaya Jepang, mengenakan kostum karakter favorit, dan merasakan pengalaman baru.
Event cosplay ini tidak diadakan di kampus UIN IB, tetapi juga di sejumlah universitas se-Sumatra Barat. “Kami sering tampil dalam acara fashion show, mengenakan kostum tokoh anime. Tiketnya bervariasi, dari Rp50 ribu hingga Rp300 ribu, tergantung acara,” tuturnya.
Meski belum pernah mengikuti kompetisi, T aktif di berbagai acara setiap akhir pekan bersama komunitasnya.
Semenjak bergabung dengan komunitas cosplay di Kota Padang memberikan tantangan tersendiri bagi T. Ia mengaku mengalami culture shock karena perbedaan budaya yang cukup mencolok.
“Dalam komunitas ini, interaksi laki-laki dan perempuan sangat bebas, berbeda dengan lingkungan UIN yang kental dengan nuansa Islam,” katanya.
Namun, pengalaman ini tidak hanya memberikan tantangan tetapi juga keuntungan, seperti menambah jaringan, meningkatkan keterampilan, dan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penyelenggara acara. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit, terutama untuk menyewa kostum. “Saya sering patungan untuk menyewa kostum, mulai dari Rp100 ribu hingga Rp300 ribu,” jelasnya.
Sayangnya, hobi ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan teman kuliah. Karena itu, T memilih menggunakan nama panggung untuk menyembunyikan identitasnya. “Orang tua tidak mengetahui kegiatan saya ini. Saya melakukannya hanya saat ada event,” ungkapnya.
Tidak hanya T, Azhari Akbar juga menekuni cosplay. Berbeda dengan T, Azhari mengaku kecintaannya terhadap budaya Jepang dipengaruhi oleh sang ayah yang sering mengajaknya menonton kartun Jepang sejak kecil. Ia mengidolakan karakter-karakter dengan latar belakang kelam seperti Johan Liebert dari Monster dan Itachi Uchiha dari Naruto.
“Cosplay bagi saya bukan sekadar hobi, melainkan bentuk ekspresi diri. Saya belajar merangkai kostum dan mendalami karakter yang diperankan,” ujar Azhari.
Meski demikian, ia tetap menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara hobi dan tanggung jawab akademis. ia juga harus menghadapi stereotip negatif yang kerap melekat pada istilah wibu.
Azhari menegaskan bahwa cosplay adalah bentuk apresiasi budaya, bukan sekadar meniru secara berlebihan. “Istilah ini sering menjadi ejekan, tetapi dalam komunitas kami, itu adalah label umum untuk penggemar anime,” tuturnya.
Azhari berharap adanya unit kegiatan mahasiswa (UKM) khusus yang dapat memfasilitasi minat mahasiswa terhadap budaya Jepang. Pada akhirnya, cosplay bukan sekadar hobi, tetapi juga media untuk mengekspresikan diri, menjalin hubungan, dan mengenal budaya lain.
Namun, dalam konteks masyarakat yang menjunjung tinggi norma agama dan adat, penting bagi para cosplayer untuk menjaga keseimbangan antara hobi dan nilai-nilai lokal. “Dengan disiplin waktu dan menjaga batasan, cosplay dapat menjadi bentuk apresiasi budaya yang positif,” tutup Azhari.
Fenomena ini menuai beragam tanggapan. Reza Fahmi, pakar psikologi UIN IB, melihat obsesi terhadap budaya Jepang sebagai bentuk penghargaan yang kebablasan. Menurutnya, kecenderungan ini dapat mengesampingkan budaya lokal dan berpotensi menimbulkan gangguan psikologis.
“Kita hidup di lingkungan yang menjunjung tinggi norma agama dan adat. Budaya Jepang memiliki akar kepercayaan Shinto, yang sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam,” jelasnya.
Ia juga menyoroti tren cosplay pria yang mengenakan kostum wanita sebagai bentuk perilaku yang melampaui batas penghormatan terhadap budaya asing.
Sementara itu, Fadli Ma’arif Wiguna, teman sekelas Azhari, memiliki pandangan yang lebih moderat. Ia menganggap cosplay sebagai bentuk kreativitas yang sah selama tidak melanggar norma. “Selama masih sesuai gender dan tidak melanggar aturan kampus, saya tidak melihat masalah,” katanya.
Namun, Fadli juga berharap agar komunitas cosplay tidak terlalu menonjolkan aktivitasnya di lingkungan akademis. “Di kampus, identitas sebagai mahasiswa tetap harus diutamakan,” tambahnya.
Wartawan: Devita Rahma dan Azzahra Siti Nurahmi