Kematian Intelektualisme

Penulis : M Nurul Fajri

Pengajar Hukum Tata Negara dan Alumni Erasmus+ Scholarship Program Pada Radboud University, Netherland

Pada semester ganjil perkuliahan tahun ajaran 2019/2020, saya mengampu mata kuliah Retorika Hukum di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Padang. Saya sangat senang diberikan kesempatan untuk mengampu mata kuliah ini. Mata kuliah yang tidak sekedar berorientasi kepada aspek praktis. Namun juga berorientasi kepada aspek kognitif atau paradigma berpikir yang dengan cara-cara yang kritis, logis, terstruktur, dan bermuara pada penyelesaian masalah.

Dalam kesempatan itu, pada awal perkuliahan saya membukanya dengan sebuah contoh yang sangat kontekstual saat itu, yakni sidang perselisihan hasil presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. Di mana saya meminta kepada setiap mahasiswa untuk menyaksikan secara utuh sesi mendengarkan keterangan ahli dari Eddy O.S. Hiariej hingga sampai sesi tanya jawabnya.

Terlepas dari preferensi politik, saya ingin menekankan kepada mahasiswa bahwa apa yang disampaikan oleh Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu adalah contoh sempurna dari apa yang diharapkan dalam perkuliahan ini. Kemampuan bertutur dan menjelaskan yang baik, serta kedalaman dan keluasan substansi yang sangat luar biasa. Bahkan boleh disebut apa yang beliau sampaikan pada saat itu tidak pernah sebelumnya didapatkan oleh mahasiswa fakultas hukum manapun di seluruh Indonesia dalam bangku perkuliahan. Entah yang mengambil kekhususan hukum pidana, hukum internasional atau hukum tata negara.

Membuka keterangan keahliannya, Eddy O.S Hiariej menyampaikan, “Menyusun konstruksi hukum dalam suatu permohonan, gugatan, atau dakwaan di sidang pengadilan, haruslah didasarkan pada argumentasi hukum yang jelas dan logis. Hal terpenting dalam argumentasi hukum ialah penguasaan terhadap hukum itu sendiri. Penguasaan hukum di sini tidak semata penguasaan terhadap peraturan hukum kongkrit. Namun lebih dari itu diharuskan menguasi teori-teori hukum, termasuk asas-asas dan berbagai metode penemuan hukum. Pemahaman terhadap teori-teori dan asas-asas hukum yang dangkal mengakibat argumentasi hukum yang dikonstruksikan menjadi rapuh dan mudah untuk dibantah”.

Podium sidang perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi itu benar-benar dimenangkan oleh Eddy O.S. Hiariej. Dengan alasan yang sederhana, ia memenangkan kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan hukum di antara sembilan orang hakim konstitusi dan para pihak yang berada di ruang sidang pada saat itu.

Patut diketahui, keberadaan seorang ahli dalam sebuah persidangan berfungsi untuk memberikan pandangannya sesuai keahliannya untuk membuat suatu perkara menjadi lebih terang sehingga dapat diputus seadil-adilnya. Hal biasa dalam persidangan seorang ahli dihadirkan dengan latar belakang bukan ilmu hukum. Sebab, para pihak atau yang mewakili dalam persidangan terikat keharusan harus berlatar belakang sarjana hukum. Lain soal kalau yang dihadirkan ialah seorang ahli hukum. Sudah harus dipastikan kalau apa yang akan disampaikannya nanti dalam ruang persidangan memiliki “kualitas” yang lebih baik dari pemahaman para pihak yang ada, dan Eddy O.S. Hiariej berhasil melakukan tugasnya dengan mendekati sempurna.

Teori pembuktian terstruktur, sistematis dan masif sungguh luar biasa. Metode perbandingan dan transplantasi teori yang ia sampaikan sulit untuk dibantah. Bahkan sebelum memulai ia mengakui dengan sebuah cerita belakang layar, bahwa sehari sebelum memberikan keterangan, beliau ditelfon oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang bertanya besok akan memberikan keterangan apa. Eddy O.S Hiariej menjawab kalau akan menerangkan tentang TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Lalu langsung dijawab oleh Mahfud. MD, “Oh cocok. Karena ketika saya sebagai ketua MK mengambil beberapa putusan dalam pilkada soal TSM, saya mengadopsi (teori dan metode pembuktian) dalam hukum pidana”. Sebab, disertasi Eddy O.S Hiariej sendiri bicara tentang pembuktian TSM dalam konteks gross violance of human rights yang mana Mahfud. MD merupakan salah satu penguji sidang disertasinya.

Uraian Eddy O.S. Hiariej dalam menjelaskan teori dan metode pembuktian yang bersifat TSM dalam kaitannya dengan perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden begitu memukau. Singkatnya penjelesan tentang TSM tersebut amat komprehensif dan objektif. Sekalipun beliau berdiri sebagai ahli yang dihadirkan oleh salah satu pihak (TKN Jokowi-Ma’ruf).

Dalam penjelasannya, terstruktur mengandung makna bahwa kejahatan tersebut dilakukan secara terorganisasi berdasar chain of commander. Adanya meeting of mind dan adanya kerjasama yang nyata untuk mewujudkan meeting of mind secara kolektif.Sistematis merujuk pada modus operandi yang tersusun secara baik dan rapi dengan pengetahuan yang baik akan tindakan tersebut. Direncakan secara matang tersusun dan sangat rapi tentang apa, siapa, kapan dan di mana pelanggaran/kejahatan dilakukan. Sedangkan masif merujuk pada skala penyebaran terjadinya kejahatan tersebut. Adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran dan dampak yang sangat luas (bukan sebagian) karena adanya tindakan yang bersifat terstruktur dan sistematis.

Lebih kurang satu setengah setalah itu, bersama dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Moh. Mahfud. MD, secara bersama-sama dengan beberapa orang pimpinan lembaga negara dan kementerian lainnya mengumumkan pembubaran dan menyatakan Front Pembela Islam sebagai organisasi terlarang. Dengan dalil tidak memperpanjang surat keterangan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, adanya pengurus dan/atau anggota FPI sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme, 29 orang pernah dijatuhi pidana dan 206 orang terlibat berbagai tindak pidana dan 100 orang diantaranya telah dijatuhi pidana. Ditambah dengan beberapa tindakan razia (sweeping) dan diakhiri oleh video berdurasi tiga menit yang ditutup tanpa sesi tanya jawab. Secara langsung Eddy O.S. Hiariej membacakan isi dari Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam.

Dalam negara legisme, memang aspek legalitas tindakan dikedepankan. Kewenangan pembubaran tersebut memang dimiliki pemerintah dan dinyatakan konstitusional. Lantas bagaimana kualitas pembuktian dan korelasinya terhadap terbitnya surat keputusan bersama tersebut? Di mana bukti-bukti katanya harus lebih terang dari cahaya dan jelas posisi dan signifikasinya terhadap perkara (persoalan)?

Dengan menempatkan diri berjauhan dengan perspektif HAM dan Demokrasi, apakah kekuasaan memiliki alat peredem intelektualitas dan intelektualisme? Sementara kita tau bahwa kematian ilmu pengetahuan terjadi ketika para intelektualnya merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang ada dan juga karena pengkhianatan kaum intelektual terhadap ilmu pengetahuan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Covid-19 Varian Baru Ikut Bikin Gaduh Jagat Sepakbola Inggris

Next Post

UKM Menwa Jalin Silaturahmi Lewat Makrab

Related Posts
Total
0
Share