Ketika Ketakutan Berubah menjadi Kebahagiaan

(Sumber: dokumentasi pribadi penulis)

Oleh: Ade Lustika Sari
(Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam)

Sebagai mahasiswa perantauan, aku sering kali merasa cemas dengan keadaan keuanganku. Kiriman uang jajan dari ibu selalu terbatas, sehingga setiap bulan aku harus mengelola dana itu dengan sangat hati-hati. Sebagian besar digunakan untuk membayar kos, sementara sisanya hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Namun, ada suatu bulan di mana pengeluaranku membengkak karena banyak kebutuhan mendesak, seperti membeli bahan tugas dan biaya transportasi membuat uangku habis lebih cepat dari biasanya. Akibaatnya, aku tidak mampu menyisihkan uang untuk membayar kos tepat waktu.

Kondisi ini membuatku sangat tertekan. Malam-malamku menjadi penuh kegelisaan. Setiap kali aku mencoba tidur, pikiranku justru sibuk memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Bagaimana jika ibu tau tentang kesulitan ini? Apakah beliau akan marah? Atau mungkin merasa kecewa dan sedih? Aku tahu, bahwa kondisi ekonomi keluarga kami tidak sebaik dulu. Oleh karena itu, aku merasa sangat takut untuk menyapaikan masalah ini kepadanya. Aku takut menjadi beban tambahan.

Namun, perasaan itu justru perlahan mendorongku untuk mengambil langkah yang lebih besar, yaitu memberanikan diri untuk berbicara. Meski aku tau ini akan sulit, aku sadar bahwa memendam masalah hanya akan membuat semuanya semakin buruk. Semakin lama aku menunda untuk bercerita, maka semakin besar rasa cemas yang aku rasakan. Dengan perasaan gelisah dan suara bergetar, aku akhirnya memutuskan untuk menelpon ibu. Aku menceritakan situasi keuanganku dengan jujur, hingga kesulitan untuk membayar kos. Sembari meminta maaf karena tidak bisa mengatur uang dengan baik bulan itu.

Jawaban ibu benar-benar di luar dugaanku. Dengan suara lembutnya, ibu hanya berkata, “Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu bisa makan dengan cukup di sana. Untuk uang kost nanti biar ibu aja yang bayarnya”. Mendengar kata-kata itu, aku langsung merasa semua beban yang selama ini menekan dadaku lenyap seketika. Air mataku jatuh, bukan karena sedih, tetapi karena terharu. Kata-kata ibu yang sederhana itu mengubah ketakutanku menjadi rasa lega yang luar biasa.

Aku tersadar, meskipun hidup kami dalam keterbatasan, ibu selalu memprioritaskan kebutuhanku. Ia memastikan aku bisa makan dengan baik, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan sesuatu untuk dirinya sendiri. Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa kasih sayang ibu tidak perlu diwujudkan dalam bentuk material atau tindakan besar. Cinta dan perhatian yang tulus, bahkan hanya dalam bentuk kata-kata sederhana, memiliki kekuatan yang luar biasa.

Pengalaman ini juga mengajarkanku bahwa ketakutan sering kali hanya ada pada dalam pikiran kita. Aku selama ini membayangkan bahwa berbicara jujur akan memperburuk keadaan. Namun, kenyataannya, kejujuran justru menjadi jalan untuk memahami kasih sayang dan dukungan yang lebih dalam dari ibu. Ketakutan tidak selalu membawa hasil yang buruk. Terkadang, ketika kita berani menghadapinya, kita justru menemukan solusi yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.


Sebagai seorang anak, aku sering merasa ragu untuk berbicara tentang masalahku kepada ibu. Aku takut menambah bebannya, padahal sebenarnya ibu hanya ingin tau aku baik-baik saja. Sebuah penelitian bahkan menunjukkan bahwa komunikasi yang baik dalam keluarga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi stress secara keseluruhan. Dalam kasusku, keberanian untuk jujur kepada ibu membuatku merasa lebih dekat dengannya dan membantu mengurangi kecemasanku secara bermakna.

Aku yakin bahwa pengalam seperti ini tidak hanya aku rasakan sendiri. Banyak orang, terutama mahasiswa perantauan, mungkin pernah berada dalam situasi serupa. Ketakutan untuk berbicara jujur kepada orang tua sering kali menjadi hambatan besar. Ketakutan ini mungkin berasal dari rasa khawatir akan penolakan atau kekecewaan. Namun, aku percaya bahwa banyak orang tua, seperti ibuku, hanya ingin memastikan anak-anaknya merasa aman dan didukung. Bahkan dalam keterbatasan, orang tua memiliki cara masing-masing untuk menunjukkan kasih sayang mereka, baik melalui tindakan maupun kata-kata.

Keterbukaan adalah kunci untuk menghdapi situasi semacam ini. Berani mengungkapkan masalah, meskipun sulit, adalah langkah awal untuk menemukan solusi. Orang tua mungkin tidak bisa selalu memberikan bantuan berupa materi, tetapi dengan dukungan emosional mereka bisa menjadi kekuatan terbesar bagi kita. Seperti yang aku alami ini, kata-kata ibu yang sederhana justru menjadi sumber semangat yang luar biasa.

Melalui cerita ini, aku ingin mengajak kalian semua untuk tidak membiarkan rasa takut menghalangi kita untuk berbicara jujur. Ketakutan memang manusiawi, tetapi keberanian untuk menghadapinya adalah langkah pertama menuju kebahagiaan dan solusi. Dalam kasusku, keberanian untuk mengugkapkan masalah kepada ibu memberiku pelajaran berharga tentang cinta, kepercayaan, dan pengertian.

Jika kita sedang menghadapi masalah, maka cobalah untuk berbagi dengan orang-orang terdekat kita. Kata-kata sederhana seperti “ tidak apa-apa” mungkin terlihat biasa saja, tetapi bagi yang mendengarnya, kata itu bisa memberikan kekuatan yang luar biasa. Jangan pernah ragu untuk berbicara dan mencari dukungan. Karena pada dasarnya, dalam keterbukaan kita sering kali menemukan kebahagiaan yang sejati.


Hidup adalah perjalanan yang penuh tantangan, tetapi melalui setiap tantangan, kita bisa belajar dan tumbuh. Seperti yang aku pelajari dari ibuku, cinta dan perhatian tidak harus diwujudkan dalam bentuk besar. Bahkan, dalam kata-kata sederhanapun, kasih sayang yang tulus bisa dirasakan begitu kuat. Jadi, beranilah menghadapi ketakutan, karena siapa tau, kebahagiaan yang kita cari mungkin sedang menunggu di balik kebenaran itu.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Kecanduan? Tapi Bukan Kecanduan Narkoba!!

Next Post

Jejak Langkah di Lorong Waktu

Related Posts
Total
0
Share