Korupsi Warisan yang Tak Kunjung Terputus

(Sumber: Isyana/suarakampus.com)

Oleh: Verlandi putra

(Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan)

Sebuah ironi yang menyayat hati bangsa Indonesia terus terulang dalam sejarah panjang republik ini. Pergantian presiden silih berganti, dari era Soekarno hingga Prabowo Subianto, namun praktik korupsi tetap menjadi hantu yang menghantui negeri. Kasus terbaru yang melibatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam skandal Harun Masiku menjadi bukti nyata bahwa korupsi telah mengakar begitu dalam di tubuh elit politik Indonesia.

Dilansir dari detiknews.com, KPK baru-baru ini telah memanggil Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan suap pergantian antarwaktu (PAW). Kasus ini menjadi cermin betapa kompleksnya persoalan korupsi di Indonesia, di mana seorang tokoh partai besar diduga terlibat dalam upaya menghalangi penyidikan dan bahkan membantu tersangka korupsi untuk melarikan diri.

Ironisnya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Sapto Waluyo dari Universitas Indonesia, seperti yang dikutip dari laman fisip.ui.ac.id, pasca bubarnya rezim Orde Baru (1998-2023), gejala korupsi bukannya menurun, tetapi justru semakin merebak sebagai konsekuensi dari perubahan politik dan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa perubahan sistem politik dan pergantian kepemimpinan nasional tidak serta merta mampu memberantas praktik korupsi yang telah mengakar.

Menilik sejarah panjang pemberantasan korupsi di Indonesia, seperti yang dipaparkan dalam artikel Politik fisip.unair.ac.id, setiap era kepresidenan sebenarnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan membentuk lembaga-lembaga untuk memberantas korupsi. Mulai dari pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) di era Soekarno, Tim Pemberantasan Korupsi di masa Soeharto, hingga lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era Megawati. Namun mengapa korupsi tetap saja tumbuh subur?

Jawabannya mungkin terletak pada apa yang disampaikan Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan memang cenderung memberi kesempatan untuk korup, dan ketika kekuasaan itu bersifat mutlak, maka korupsi pun akan berlaku mutlak di dalamnya. Pernyataan ini seolah menjadi pembenaran atas realitas yang terjadi di Indonesia.

Mengutip dari laman aclc.kpk.go.id, Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai landasan hukum yang kuat untuk memberantas korupsi. Mulai dari UU No. 3 tahun 1971 di era Orde Baru, hingga UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Bahkan, pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Namun, keberadaan regulasi yang begitu lengkap ini rupanya belum mampu membendung arus korupsi yang terus menggerogoti negeri.

Kasus Harun Masiku yang hingga kini masih buron, seperti dilansir detiknews.com, menjadi bukti nyata bagaimana sistem hukum kita masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oleh para koruptor. KPK sendiri mengaku “tidak bengong saja” dalam mencari Harun Masiku, namun fakta bahwa seorang tersangka korupsi bisa menghilang begitu lama menunjukkan masih adanya kelemahan dalam sistem penegakan hukum kita.

Dampak korupsi yang berkepanjangan, seperti yang diuraikan dalam fisip.unair.ac.id, telah menggerogoti berbagai aspek kehidupan berbangsa. Dalam aspek ekonomi, korupsi telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat, tingkat investasi menurun, kemiskinan meningkat, dan ketimpangan distribusi pendapatan semakin lebar. Ini belum termasuk dampak sosial dan politik yang tak kalah merusaknya.

Transformasi arena pemberantasan korupsi pasca Orde Baru, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Sapto Waluyo, sebenarnya telah membuka peluang bagi munculnya aktor-aktor baru dan terbentuknya arena yang lebih kondusif bagi pemberantasan korupsi. Namun, pergeseran posisi aktor dan pembentukan lembaga-lembaga baru ternyata belum cukup untuk mengubah “budaya” korupsi yang telah mengakar.

Upaya pencegahan dan perlawanan terhadap korupsi memang telah dilakukan melalui berbagai cara. Menurut fisip.unair.ac.id, diperlukan peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang efektif, pendidikan politik dan anti korupsi kepada masyarakat, serta rekrutmen dan kaderisasi politik yang kredibel. Namun, semua ini akan sia-sia jika tidak ada political will yang kuat dari para pemimpin negeri.

Menariknya, pemerintah telah menyadari pentingnya pendidikan dalam upaya pemberantasan korupsi. Seperti yang tercantum dalam Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019, perguruan tinggi diwajibkan menyelenggarakan Pendidikan Anti Korupsi (PAK). Ini menunjukkan bahwa ada kesadaran bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya soal penindakan, tetapi juga pencegahan melalui edukasi.

Namun, pertanyaannya kemudian: sampai kapan Indonesia harus menunggu untuk benar-benar bersih dari korupsi? Pergantian presiden memang bisa mengubah kebijakan dan sistem, tetapi mengubah mentalitas dan budaya korupsi membutuhkan lebih dari sekadar pergantian pemimpin. Diperlukan revolusi mental yang menyeluruh, mulai dari elit politik hingga masyarakat grassroot.

Kasus Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku menjadi pengingat pahit bahwa korupsi masih menjadi “budaya” yang sulit diberantas di Indonesia. Meskipun telah memiliki berbagai instrumen hukum dan lembaga pemberantas korupsi, namun tanpa perubahan mendasar dalam cara berpikir dan berperilaku para elit politik dan pejabat negara, korupsi akan tetap menjadi “warisan” yang diwariskan dari satu era kepresidenan ke era berikutnya.

Transformasi arena pemberantasan korupsi, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Sapto Waluyo, memang telah membuka ruang bagi perubahan. Namun, perubahan ini harus dimulai dari hal yang paling mendasar yaitu integritas para pemimpin dan pejabat negara. Tanpa integritas, segala upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi “proyek” yang tak berujung.

Yang lebih memprihatinkan, korupsi di Indonesia sepertinya telah bermetamorfosis menjadi virus yang semakin sulit dibasmi. Jika di masa lalu korupsi mungkin masih bersifat individual atau kelompok kecil, kini praktik korupsi telah melibatkan jaringan yang lebih luas dan sistematis. Kasus Harun Masiku, misalnya, menunjukkan bagaimana korupsi bisa melibatkan berbagai pihak, dari politisi hingga aparat penegak hukum.

Melihat realitas ini, wajar jika muncul pesimisme di kalangan masyarakat. Namun, seperti yang tercermin dalam berbagai kebijakan dan upaya yang telah dilakukan, setidaknya ada harapan bahwa Indonesia masih memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Yang diperlukan sekarang adalah konsistensi dalam penegakan hukum dan keberanian untuk menghadapi mafia korupsi yang telah mengakar.

Pergantian presiden memang bukan jaminan berakhirnya praktik korupsi di Indonesia. Namun, setiap pergantian kepemimpinan seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen dan strategi pemberantasan korupsi. Tanpa komitmen yang kuat dan strategi yang tepat, korupsi akan tetap menjadi warisan yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pergantian pemimpin atau pembentukan lembaga baru. Diperlukan transformasi menyeluruh dalam cara berpikir dan berperilaku, mulai dari elit politik hingga masyarakat umum. Hanya dengan demikian, harapan untuk memiliki Indonesia yang bersih dari korupsi bisa menjadi kenyataan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

UIN Imam Bonjol Padang Pastikan Seleksi SPAN PTKIN Transparan dan Terstruktur

Next Post

UIN Imam Bonjol Padang Buka Berbagai Jalur Mandiri pada PMB 2025

Related Posts
Total
0
Share