Oleh: Najwalin Syofura
(Mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam)
Akhir-akhir ini di tengah hiruk pikuk demonstrasi “Indonesia Gelap” di Bundaran Patung Kuda, Kamis (20/2/2025), lantunan puisi Wiji Thukul berjudul “Apa Guna” bergema, menguak kembali relevansi kritik sosial sang penyair di tengah dinamika Indonesia kontemporer. Pemilihan puisi ini bukanlah kebetulan. Wiji Thukul, aktivis sekaligus penyair yang karyanya tajam mengkritik rezim Orde Baru, menghilang secara misterius pada, (10/02/1998) meninggalkan jejak pertanyaan besar tentang demokrasi dan keadilan di Indonesia.
Puisi “Apa Guna” dalam konteks demonstrasi ini menunjukkan keberlanjutan perjuangan Wiji Thukul. Puisi-puisinya, yang dulu di tujukan pada otoritarianisme Soeharto, kini seakan masih relevan untuk mengkritik berbagai permasalahan yang masih membayangi Indonesia. Meskipun rezim Orde Baru telah runtuh, perjuangan untuk keadilan, transparansi, dan demokrasi yang sesungguhnya masih terus berlanjut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Thukul melalui puisinya, seperti “apa guna demokrasi tanpa keadilan?”, masih relevan dan menggema di tengah masyarakat.
Kehilangan Wiji Thukul bukan hanya kehilangan seorang penyair berbakat, tetapi juga kehilangan suara kritis yang lantang menyuarakan kebenaran. Kisah menghilangnya Thukul menjadi simbol perjuangan yang belum selesai. Penggunaan puisi nya dalam demonstrasi merupakan bentuk penghormatan sekaligus panggilan untuk melanjutkan perjuangan tersebut. Semoga Indonesia benar-benar dapat melepaskan diri dari bayangan masa lalu dan mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Yakni sebuah demokrasi yang tidak hanya berada di atas kertas, tetapi juga terwujud dalam kehidupan masyarakat. Semoga suara-suara kritis seperti Wiji Thukul terus bergema dan mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia.