Media Baru dengan Kenakalannya

Ilustrasi: Nadia/suarakampus.com

Oleh Silvi Amelia

(Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Imam Bonjol Padang)


Media baru merupakan perkembangan teknologi komunikasi yang
memperluas jangkauan komunikasi manusia. Media baru ini dapat diakses
dengan menggunakan internet di berbagai platform yang mana bisa
digunakan oleh berbagai usia. Media baru ini mengubah cara berkomunikasi
khlayak dan memiliki karakteristik dan kekurangan serta kelebihan tertentu.
Semua itu bagaimana kita bisa mengolah berbagai informasi yang
didapatkan dari media baru. Namun, tampaknya pada saat ini litersi kita
terhadap media apalagi media baru ini sangat kurang. Hal ini membuat
kebanyakan orang menganggap bahwa media baru ini banyak hal
negatifnya. Padahal apabila kita bisa membuka mata sedikit lagi terhadap
media baru ini pasti kita akan banyak menemukan dampak postif dari media
baru ini.


Dilansir dari CNBC Indonesia menyebutkan pada awal tahun 2023
bahwa tingkat literasi digital di Indonesia hanya sebesar 62 persen. Jumlah
tersebut paling rendah jika diabandingkan negara di ASEAN lainnya yang
rata-rata mencapai 70 persen. Ini tentu tidak baik, kita perlu beberapa upaya untuk meningkatkan literasi digital di Indonesia supaya tidak terjadi
penipuan di media baru.


Penipuan adalah salah satu bentuk negatif atau kenakalan yang ada di
media baru karena kurangnya literasi digital. Dari penipuan ini dapat
berkembang menjadi kasus-kasus lain yang merugikan banyak orang.
Literasi media yang rendah membuat individu lebih rentan terhadap
penyebaran informasi palsu atau hoaks. Mereka mungkin tidak memiliki
keterampilan untuk memverifikasi kebenaran informasi yang mereka terima
sehingga, dapat dengan mudah mempercayai dan menyebarkan berita palsu.
Hal ini dapat menyebabkan kebingungan, ketakutan, dan konflik di
masyarakat.


Sebagaimana dalam karyanya yang berjudul “Kejahatan Berkembang
Serentak Dengan Teknologi Informasi”, Abdullah Kusairi, dosen Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam
Bonjol Padang menuliskan hoax dan Fakenews adalah penipuan yang diolah
dalam bentuk informasi. Kejahatan bermedia yang seperti ini sangatlah
berbahaya karena dengan penyebaran berita palsu bisa menyebabkan
kesalahpahaman terhadap suatu informasi yang disebarkan. Kita perlu kritis
dalam memilah informasi yang ada di media, dengan itu kita tidak akan
termakan oleh informasi palsu tersebut. Tentu cara yang bisa dilakukan
supaya bisa berpikir kritis yaitu dengan gerakan literasi media. Hal ini salah
satu cara yang bisa membantu kita untuk menghindari kenakalan media
baru.


Selanjutnya, Abudullah Kusairi (2023) dalam karyanya yang berjudul
“Tersungkur di Bawah Selangkangan Digital” menuliskan dampak negatif yang
muncul akibat penggunaan media sosial, dengan focus pada Facebook,
termasuk masalah privasi, penyebaran berita palsu, dan berdampak besar
terhadap sistem demokrasi. Permasalahan kurangnya literasi media paling
besar dan paling ditakutkan adalah penyebaran berita palsu. Ini juga
merambas kepada permasalahan politik. Apalagi pada tahun demokrasi
seperti saat ini sangatlah mudah untuk seseorang menyebarkan berita yang
tidak benar demi meraih suara yang banyak. Tidak menyudutkan pihak
manapun, tetapi itu memang suatu kenyataan dimana diantara mereka ada
yang merupakan tim sukses bekerja untuk mempromosikan yang mereka
dukung. Namun, pesan yang ia sampaikan dibuat berlebihan supaya orang
tertarik dan terpengaruh hak suaranya. Tentu ini bukan cara yang bagus dan
termasuk ke dalam kategori penyebaran berita palsu. Kita hendaknya harus
berhati-hati dalam menyampaikan informasi karena sekarang sudah ada
undang-undang yang mengatur tentang penyebaran informasi yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU ITE”) dan perubahannya, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana.


Selain penyebaran berita palsu, contoh dampak negatif dari media
baru yaitu kebudayaan masyarakat yang mulai berubah. Sebenarnya ada
positifnya, namun kembali lagi kita perlu banyak mengkaji hal negatif
supaya kita sadar untuk lebih berliterasi media. Kebudayaan yang dahulunya suka berkumpul untuk berdiskusi akan suatu isu kini sudah mulai
tergantikan dengan pertemuan online yang mana membuat interaksi
langsung sedikit berkurang. Sesungguhnya ini sangat memudahkan untuk
pertemuan jika dalam jarak jauh, tetapi bagaimana dengan yang hanya
berasalan malas untuk bertemu orang lain atau istilah kekiniannya anti
sosial? Tentu ini sangat disayangkan. Lagi pula dengan pertemuan online ini
tidaklah efektif. Disaat kita menyampaikan sesuatu tiba-tiba sinyal internet
tersendat dan yang kita sampaikan tidak tersampaikan dengan sempurna
dan itu juga bisa menyebabkan informasi palsu tersampaikan. Untuk hal ini
solusinya yaitu mempersiapkan semuanya sebelum memulai,
memperhatikan segala kelengkapan yang dirasa perlu untuk pertemuan
tersebut. Tetapi alangkah baiknya kita kembalikan lagi budaya lama yaitu
berkumpul di suatu tempat yang sama supaya tetap terjaganya silaturrahmi
kita sesama makhluk Tuhan.


Perilaku anak muda yang mulai tidak senonoh juga merupakan hasil
dari kurangnya literasi digital. Contohnya, hanya dengan menonton dan
membaca yang mereka dapatkan dari internet dan tidak menelaah lebih
lanjut, lalu mereka sudah menganggap apa yang mereka lihat itu benar
dilanjutkan dengan menirunya. Padahal tidak semua yang mereka lihat itu
benar, ada yang hanya bercanda dengan candaan yang mungkin hanya
dipahami oleh sesamanya namun orang yang menyaksikan menyalahpahami
candaan tersebut. Abdullah Kusairi dalam karyanya berjudul “Tersungkur di
Bawah Selangkangan Digital” memaparkan data dari Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023 yang menyatakan dengan bangga, masyarakat Indonesia kian melek internet. Sudah 78 persen, atau 215 juta
mendapat akses. Padahal itu tidak semuanya yang benar-benar melek
internet, bisa dilihat dengan bagaimana perilaku generasi muda yang rusak
akibat video tiktok yang mereka tonton, seperti berkata kasar, galau-galau
tidak jelas, dan menyebarkan kebencian.


Namun, bagaimanapun media baru atau media sosial akan terus
berkembang. Kita hanya bisa mengawasi perkembangannya dengan tetap
bijak dalam bermedia dan tentu dengan terus melakukan literasi digital.
Seperti yang tuliskan oleh Abdullah Kusairi dalam karya berjudul “Bijak
Menggunakan Media Sosial”, yaitu media sosial, dunia maya, bukanlah
dunia lain. Dibutuhkan kearifan, berpikir dulu baru berbuat, juga berlaku di
situ. Dari kutipan beliau sangatlah memotivasi serta bisa dimaknai dengan
kita sebagai generasi muda yang dikatakan sudah melek dengan internet
harus lebih paham dan bisa menelaah terlebih dahulu terhadap apa saja yang
kita dapatkan dari internet dan juga lebih berhati-hati dalam menyebarkan
informasi ke media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Tanah merah 30 September 2009

Next Post

Mahasiswa KPI Boyong Enam Piala dalam Lomba Exposition UIN Bukittinggi

Related Posts