Suarakampus.com-Kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga sipil kembali lagi terjadi. Kali ini, dua orang oknum TNI-AU menginjak kepala seorang warga di Merauke, Papua. Tindakan nirkemanusiaan itu terekam dalam sebuah video singkat yang tersebar di jagad dunia maya, Selasa, (27/07) kemarin.
Dalam video berdurasi 1 menit 21 detik itu, seorang pria warga Papua, Steven (18) yang diduga tuna wicara terlihat ribut di sebuah warung di Merauke. Tak berselang lama, dua personel TNI AU menyambangi warung dengan gestur superior di balik seragam yang ia kenakan.
Tanpa melakukan perlawanan, Steven diseret ke ke luar warung dengan posisi tangan terkunci dan ditindih ke trotoar. Terlihat satu prajurit lain menginjak kepala Steven.
Peneliti bidang hukum dari The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez, menilai proses pengamanan oleh oknum aparat tersebut sangat berlebihan dan melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Menurut Hemi, jikapun warga sipil tersebut diduga melakukan tindakan yang melanggar hukum, seharusnya aparat tidak bertindak reaktif apalagi melanggar HAM.
“Tindakan yang berlebihan. Apakah benar si pemuda yang diinjak kepalanya ini benar-benar melakukan sebuah tindak pidana, dan kalaupun dia memang melakukan tindak pidana, kan harus ada putusan dari pengadilan dulu,” katanya kepada suarakampus.com, Rabu (28/07).
Hemi mengatakan, dua oknum aparat tersebut tidak hanya melanggar HAM, tetapi juga menerobos asas presumption of innocent, dimana seseorang tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan. “Tindakan yang dilakukan oknum aparat melanggar HAM, asas norma hukum dan melanggar etik sebagai aparat negara yang seharusnya memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat malah melakukan tindakan yang tidak manusiawi,” pungkasnya.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan semua orang harus diperlakukan sama oleh aparat, terlepas apapun latar belakangnya. Ikhsan menyebut, prajurit TNI harus bersikap profesional sebagaimana tercantum dalam UU TNI.
“Poinnya adalah, aparat wajib bersikap humanis dan menjunjung tinggi HAM, karena definisi tentara profesional dalam UU TNI mengamanatkan demikian,”katanya melalui pesan singkat kepada suarakampus.com, Rabu (28/07).
Papua dan Kekerasan Aparat
Kuatnya pendekatan militer di Papua merupakan cerminan dari bagaimana negara memposisikan diri ketika menghadapi warganya di pulau paling Timur Indonesia itu.
Dalam laporan bertajuk Sudah, Kasi Dia Tinggal Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua, yang dirilis Amnesty Internasional pada 2020 lalu, melihatkan bagaimana aparat keamanan memperlakukan warga Papua secara tidak manusiawi. Amnesty International menyerukan kepada pemerintah untuk tetap menerapkan standar dan hukum internasional serta mencegah terjadinya pelanggaran HAM apapun konteks politiknya, baik itu di Papua, di Indonesia dan seluruh dunia.
sumber: Laporan Amnesty Internasional
Organisasi nirlaba yang berpusat di London itu melaporkan bahwa sejak 2010-2018 telah terjadi 69 kasus pembunuhan di luar hukum atau unlawfull killing. Setidaknya sudah 95 warga sipil di Papua meregang nyawa akibat bedil militer, dengan rincian 88 korban laki-laki dan 7 korban perempuan.
Sehingga apa yang dilontarkan oleh petinggi republik dari Jakarta tentang kekerasan yang dialami Steven di Merauke lalu, dapat dimaknai hanya sebagai basa-basi semata.
“Atas terjadinya peristiwa tersebut, Kantor Staf Presiden (KSP) menyampaikan penyesalan mendalam dan mengecam tindak kekerasan tersebut,” kata Moeldoko dalam keterangan tertulis, Rabu (28/7). Berkaca pada laporan Amnesty ke-69 kasus itu minim pertanggungjawaban hukum. Laporan tersebut membuktikan bahwa impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM di Papua begitu kuat.
Dari puluhan kasus pembunuhan tersebut, 39 kasus pembunuhan sewenang-wenang dilakukan pada era pemerintahan Joko Widodo. Berdasarkan laporan tersebut, tidak satu kasus pun diproses lewat mekanisme penyelidikan independen. Laporan Amensty menyebut, sebanyak 41 pembunuhan tidak terkait dengan aktivitas politik, yang memakan 56 korban warga sipil.
Peneliti Sektor HAM dan Keamananan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie menilai keterbukaan proses hukum yang melibatkan aparat kemananan masih menjadi persoalan. “Ini salah satu kelemahan dan sorotan publik selama ini terhadap proses hukum di pengadilan militer,” kata Alumnus FISIP Universitas Andalas itu.
Namun, bila kita berkaca pada temuan Amnesty Internasional, rasa keadilan dan penegakan HAM di tanah Papua masih jauh dari kata layak. Laporan Amnesty Internasional menyebut, dalam proses penegakan hukum, anggota pasukan keamanan yang melakukan tindak pembunuhan di luar hukum di Papua tidak pernah diadili di hadapan pengadilan sipil yang independen.
Apa yang dialami oleh Steven, hanya remah-remah kekerasan aparat di tanah Papua, yang setiap tahunnya memasok ratusan triliun buat republik ini. (Red)
Wartawan : Nandito Putra