Mencegah Dokstrinasi LGBT Melindungi Kaum Muda

(Sumber: Isyana/suarakampus.com)

Oleh: Khairunnajwa

(Mahasiswi Fakultas Syari’ah)

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi topik hangat yang ramai dibicarakan, khususnya di Indonesia. Bendera pelangi, yang menjadi simbol kebanggaan komunitas LGBT, melambangkan keragaman serta spektrum orientasi seksual di dalam komunitas tersebut. Simbol ini dirancang oleh Gilbert Baker pada tahun 1978 dan pertama kali diperkenalkan pada acara Hari Kebebasan Gay di San Francisco.

Maraknya fenomena LGBT di Indonesia memicu pro dan kontra karena perilaku komunitas ini dianggap berbeda dengan nilai budaya dan agama yang dianut mayoritas masyarakat. LGBT di Indonesia sering kali dikaitkan dengan pengaruh negara-negara liberal yang memberikan pengakuan dan status sosial kepada komunitas LGBT.

Berdasarkan data dari Lembaga Survei Organisasi Penelitian Independen Nasional dan Internasional, sekitar 3% dari total penduduk Indonesia merupakan bagian dari komunitas LGBT. Salah satu kegiatan yang pernah diadakan adalah pekan seni oleh komunitas LGBT di Makassar pada 29 Mei 2022. Acara tersebut digelar untuk memperingati International Day Against Homophobia, Biphobia, Intersexism, and Transphobia (IDAHOBIT).

Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan, perilaku homoseksual dinyatakan sebagai kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan. Dalam fatwa tersebut, perilaku ini juga dianggap sebagai bentuk kejahatan.

Berdasarkan informasi dari Kompas.com pada 6 Januari 2025, terjadi penggerebekan yang melibatkan polisi, warga, Satpol PP, dan petugas kelurahan di sebuah bar yang terletak di mal ITC Permata Hijau, Grogol Utara, Jakarta Selatan. Penggerebekan dilakukan karena adanya dugaan perilaku penyimpangan yang mengusik ketenangan warga setempat. Sebelumnya, pihak kelurahan telah melakukan mediasi sebanyak tiga kali. Pada mediasi ketiga, pihak kelurahan turut mendampingi warga. Bar tersebut diketahui telah beroperasi sejak 1 Januari 2024.

Merujuk pada nilai-nilai agama, LGBT bahkan ditolak oleh seluruh agama di Indonesia. Berdasarkan ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila, yang kita akui sebagai dasar bernegara pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti dalam beragama kita harus mengacu pada nilai teologi (ketuhanan), yaitu nilai-nilai beragama.

Lalu, jika hal ini terus terjadi, bagaimana nasib generasi muda? Apakah akan ada tindak lanjut yang dilakukan oleh pemegang kuasa yang mungkin akan memberhentikan atau mengusir komunitas tersebut? Jika hanya membuat peraturan tanpa tindak lanjut yang lebih konkret, maka hal ini akan terus berlanjut. Bisa saja komunitas tersebut meminta haknya bahkan melakukan pemberontakan terhadap para penguasa.

Mengutip dari Kompas.com, Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme / UNDP) dikabarkan menyiapkan dana sebesar 8 juta dolar AS atau sekitar Rp 107,8 miliar untuk kampanye LGBT di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Dalam kasus LGBT, kita memerlukan pengawasan, terutama dari orang tua yang merupakan madrasatul ula atau sekolah pertama bagi anak-anak mereka. LGBT bukanlah sebuah penyakit, hal ini bisa terjadi akibat faktor genetik bawaan lahir atau lingkungan sekitar yang mendukung.

LGBT termasuk dalam kategori penyimpangan sosial yang setidaknya bermula dari gay, lesbian, dan biseksual, hingga mencapai tingkat transgender, yaitu kondisi di mana seseorang merasa tidak sesuai dengan jati dirinya. Dalam hal ini, mereka melakukan transgender atau mengubah alat kelaminnya.

Kondisi tersebut mendorong individu untuk mengganti alat kelamin mereka. Misalnya, seorang wanita yang merasa tomboy dan memiliki sifat seperti pria mungkin akan mengubah jenis kelaminnya. Begitu pula, pria yang merasa dirinya adalah wanita akan melakukan hal yang sama.

Pemerintah bahkan belum tegas menolak LGBT, yang ditandai dengan belum adanya undang-undang sah yang mengatur larangan terhadap hubungan sesama jenis. Meskipun ada beberapa kebijakan yang telah diambil, situasi ini tidak kondusif karena tidak adanya hukum yang jelas mengatur hal tersebut.

Pemerintah masih terkesan setengah-setengah dalam menghadapi dan merespons peristiwa LGBT. Sebenarnya, ada undang-undang yang mengatur, tetapi tidak secara jelas menghakimi LGBT, seperti dalam UU No. 71 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2006.

Perubahan gender di Indonesia secara hukum masih belum jelas dan belum sepenuhnya diakui oleh undang-undang. Namun, ada beberapa kasus, seperti pernikahan sesama jenis, yang menjadi kontroversi karena tidak diketahui bahwa pria tersebut lahir sebagai wanita. Di sini, penting untuk kita memahami bahwa pengetahuan adalah kunci untuk mengetahui banyak hal. Jika kita tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya pria tersebut, sebaiknya jangan tergesa-gesa untuk melaksanakan pernikahan.

Begitu juga dengan kesalahan orang tua yang memiliki anak yang terlahir sebagai bayi interseks. Sering kali, mereka berkonsultasi kepada pemuka atau pejabat agama yang notabene bukan ahli dalam masalah interseks. Memang, dalam Islam dijelaskan bahwa identitas dapat dilihat ketika anak tersebut buang air kecil. Namun, bagaimana dengan kasus yang tidak dapat kita lihat? Tentu kita membutuhkan ahli dalam hal ini.

Banyak dampak yang timbul dari keberadaan komunitas ini, seperti dampak sosial yang membuat warga sekitar merasa risih dengan perilaku mereka. Hal ini juga berdampak pada kesehatan, di mana banyak penyakit dapat muncul akibat hubungan sesama jenis, seperti kanker anal, HIV/AIDS, kanker mulut, dan penyakit berbahaya lainnya. Masih banyak dampak lain yang perlu kita pikirkan agar mereka sadar bahwa LGBT merupakan penyimpangan sosial.

Kita sebagai generasi muda harus mampu menolak ajakan atau propaganda yang dilakukan oleh komunitas ini. LGBT harus menurun, bukan malah meningkat seiring waktu, dengan iming-iming kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan hak kebebasan. Menolak LGBT bukanlah sebuah hal yang harus kita hormati atau terima hanya karena alasan hak asasi manusia atau hak kebebasan, karena komunitas LGBT ini membawa pengaruh yang buruk dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal ini bisa dicegah dengan beberapa cara, seperti:

  1. Pola asuh orang tua seharusnya dapat membentengi anak-anak agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang buruk, seperti ketertarikan pada sesama jenis. Orang tua perlu memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang bahaya LGBT. Pola asuh yang diberikan kepada anak harus sesuai dengan jenis kelaminnya.
  2. Menjaga pergaulan yang baik dalam lingkungan belajar dan bermain agar kita menyadari bahwa LGBT termasuk penyimpangan sosial yang harus dihindari. Secara agama pun, tidak ada agama yang menerima atau mengajarkan untuk menyukai sesama jenis.
  3. Menutup segala celah pornografi yang dapat menyebabkan seseorang mengikuti hal-hal yang dipelajari dan ditontonnya.
  4. Perlu adanya undang-undang yang mengatur larangan terhadap LGBT. Undang-undang ini tidak hanya bertujuan untuk mengatur, tetapi juga memberikan hukuman kepada pelanggar. Pemerintah tidak seharusnya setengah-setengah dalam menindaklanjuti isu LGBT ini; mereka harus menegakkan hukum terkait LGBT di Indonesia, yang termasuk negara dengan angka sekitar 3% dari penduduknya adalah LGBT.

Sudah seharusnya pemerintah mengambil tindakan yang kuat dan jelas terhadap kasus LGBT yang telah mencapai angka 3% di Indonesia. Semua pihak seharusnya menolak propaganda LGBT tersebut. Pemerintah harus menegakkan undang-undang yang melarang LGBT agar tidak ada lagi komunitas seperti ini di Indonesia.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

UKPM Galang Peringati Anniversarry Ke-28 Tahun

Next Post

Program Makan Siang Prabowo: Antara Janji Gratis dan Realita di Lapangan

Related Posts
Total
0
Share