Suarakampus.com- Meningkatkan kajian sejarah melalui pendekatan maritim, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Raden Intan Lampung bersama UIN Imam Bonjol Padang menggelar kuliah umum. Kegiatan ini menilik peran pelabuhan terhadap moderasi beragama di Makassar dan Pantai Barat Sumatera.
Sebagai negara kepulauan dengan 70 persen didominasi lautan, perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari peran pelabuhan dan dampaknya terhadap moderasi beragama di masyarakat sekitar.
Abdul Rahman, Dosen FAH UIN Raden Intan Lampung menjelaskan sejarah maritim di Makassar abad XVI-XVII, berbau erat dengan pelabuhan dan moderasi beragama. “Pelabuhan dan kepercayaan masyarakat di sekitar laut, sebagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan,” jelasnya secara virtual, Sabtu (30/10).
Sebab, katanya pelabuhan merupakan titik tolak jaringan maritim. Ia mengutip perkataan Fernand Braudel bahwa tidak ada rute tanpa pelabuhan. “Jaringan maritim pasti bertolak dari pelabuhan ke pelabuhan,” ungkapnya.
Sehingga, menurutnya proses perdagangan dan pelayaran tersebut menumbuhkan Islamisasi di Nusantara. Di mana para pedagang berdagang sembari menjalankan misi dakwah. “Terdapat kerajaan agraris dan maritim yang karakter keduanya sangat berpengaruh waktu itu,” tuturnya.
Ia bercerita alasan Makassar sebagai entrepot disebabkan oleh pendirian dua buah pelabuhan di muara sungai. Pelabuhan tersebut didirikan Kerajaan Tallo dan Pua. “Sebelumya hanya berdiri kerajaan, namun berkembang dan mendirikan pelabuhan,” jelasnya.
Hal berbeda terjadi di pantai barat Sumatera, Sudarman selaku Associate Professor FAH UIN IB mengatakan, pelabuhan berdiri di pesisir pantai. Meski banyak rintangan berupa angin kencang dan gelombang besar untuk melewatinya.
Ia menuturkan, di dunia pelayaran dan perdagangan Kerajaan Sriwijaya memiliki peranan penting. Sebab kehadirannya berfungsi menjalin hubungan dagang dengan wilayah India dan Cina. “Sriwijaya memiliki akses perdagangan yang luas bahkan berpengaruh hingga Asia tenggara,” sebutnya.
Selain Sriwijaya, Sudarman mengungkapkan Kerajaan Malaka juga berperan penting, karena disinggahi oleh pedagang-pedagang non muslim dan muslim dari Eropa dan Timur Tengah. “Malaka menjadi tempat strategis persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan ke timur untuk mencari rempah-rempah maupun melanjutkan perjalanan ke Cina,” tuturnya.
Meski demikian, katanya pelabuhan tertua di Sumatera terdapat di Barus. Pada abad ketujuh para pedagang telah datang ke daerah tersebut untuk mengambil kapur Barus. “Barus adalah pelabuhan tertua yang didatangi oleh pedagang muslim dan non-muslim,” tegasnya.
Selaku peserta, Ayumi Mawardi menuturkan sejarah maritim sangat penting dipelajari, karena Indonesia merupakan negara maritim. “Kita dapat mengetahui sejarah perkembangan Islam dan moderasi beragama dari sudut pandang sejarah maritim,” tutur Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam itu.
Minimnya kesadaran individu terhadap sejarah, Ayumi berharap agar ke depannya seminar terkait kesejahteraan lebih sering di gelar dan dapat menggaet peserta dari berbagai kalangan. “Masih banyak sejarah maritim yang harus kita bahas, terutama bagi mahasiswa sejarah,” tutupnya. (ulf)
Wartawan: Firga Ries Afdalia