Suarakampus.com- Sepanjang tahun 2022, ancaman-ancaman kejahatan digital terhadap jurnalis dan masyarakat sipil di Indonesia lebih banyak daripada tahun sebelumnya. Hal ini dipaparkan oleh Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Hendra Makmur, saat perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) AJI Padang ke-18 di Halaman Kantor Langgam.id, Senin (23/01).
“Memanasnya keadaan setiap tahun pemilihan, mungkin, akan terjadi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024,” katanya.
Sebelum itu, AJI Padang akan berkomitmen untuk terlibat dalam isu-isu kepentingan publik, khususnya di Sumatera Barat. Seperti menyelenggarakan diskusi publik pada HUT ke-18 AJI dengan tema “keamanan Digital Masyarakat Sipil dan Pers Selama Tahun Pemilihan.”
Hendra memaparkan hasil temuan AJI Indonesia, pada tahun 2022 terhitung 61 kasus kepada jurnalis, media, dan masyarakat sipil. Dengan rincian, kekerasan digital ada 15 kasus, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja 20 kasus, kekerasan verbal 10 kasus, kekerasan, berbasis gender 3 kasus, penangkapan dan pelaporan pidana 5 kasus, dan penyensoran 8 kasus. “Kasus ini naik 42% dibandingkan tahun 2021 sebanyak 43%,” papar Pemimpin Redaksi Langgam.id itu.
“Kasus ini terjadi kepada 97 jurnalis dan pekerja media serta 14 organisasi media di Indonesia.” tambahnya.
Kemudian, Hendra mengatakan, potensi kekerasan digital meningkat lantaran para aktivis publik di internet semakin tinggi. Hal ini, berdasarkan data asosiasi penyelenggara jasa layanan internet tingkat penetrasi internet di Indonesia di angka 77,02%. Sementara itu, penetrasi internet di Sumatra Barat di angka 75,4%.
Lanjutnya, Hendra menambahkan, ancaman digital semakin beragam. Seperti, intimidasi, doxing, serangan cyber pencatutan hingga penyebaran hoax. kendati demikian, tentu harus diikuti dengan perlindungan dan literasi keamanan digital yang harus dipahami oleh jurnalis atau penggiat masyarakat sipil.
“keamanan digital ini sangat penting saat tahun pemilihan. Sebab, rawan akan terjadi bagi jurnalis dan para aktivis-aktivis masyarakat sipil,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas (UNAND), Charles Simabura, mengatakan, sebagai peran pemerintah harus memberikan perlindungan digital bagi masyarakat sipil. Pasalnya, upaya publik untuk melakukan keamanan digital masih sebatas inisiatif masyarakat sendiri, tujuannya untuk dunia digital aman.
Charles mengatakan, pers dan masyarakat sipil tidak lepas dari peran mengimbangi kekuasaan. Misalnya, sebagai pers harus memegang teguh independensinya. “Pada tahun pemilihan nanti, peran sebagai pers diutamakan,” kata Dosen Hukum UNAND itu.
Selain Charles, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Diki Rafiqi, mengatakan, ekstraversi publik di dunia digital pada tahun pemilihan sering terjadi. Seperti, polarisasi masyarakat yang terbelah akibat gejolak politik.
“jelang 2024 ini, kita masih dalam kondisi yang terbelah, propoganda-propoganda masih intens di sosial media,” katanya.
Kemudian, Diki mengatakan, pentingnya literasi media dan informasi dalam menjaga diri dari ancaman digital. Awali dengan memilih informasi yang valid, apalagi di tahun pemilihan sangat rawan akan informasi hoax dan ujar kebencian. “Pilihlah aplikasi yang melindungi perangkat handphone dan laptop agar tidak mudah mendapatkan serangan,” tutupnya. (Una)
Wartawan: Fajar hadiansyah