Oleh: Ghaffar Ramdi
(Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang)
Dalam negara demokrasi kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aspirasi ataupun kritik terhadap suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak merupakan suatu fenomena yang lumrah dan biasa dilakukan. Bukan tanpa alasan, mengingat secara konseptual saja demokrasi selalu mengedepankan kesepakatan bersama demi terwujudnya kesejahteraan secara bersama pula.
Tidak hanya itu, kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi sebenarnya juga telah diatur dalam peraturan perundang-undangan paling tinggi setingkat konstitusi. Karena, kebebasan dalam menyampaikan pendapat merupakan hak asasi yang wajib dihargai oleh setiap tingkatan kelompok kehidupan, mulai dari yang paling kecil semisal keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan dalam lingkup bangsa dan negara sekalipun wajib menghargai kebebasan berpendapat.
Tentu kita semua sepakat, kebebasan berpendapat yang dimaksudkan adalah kebebasan yang memiliki batasan dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, pembatasan yang diberikan haruslah bersifat rasional dan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam konstitusi, dan yang sangat fundamental adalah tidak untuk menutup pintu kritik atas penguasa pemerintahan sebagai ujung tombak pemutus kebijakan.
Di Indonesia sendiri, kebebasan berpendapat telah diatur dalam kontitusi sejak awal ditetapkannya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi resmi negara Indonesia. Sebut saja dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat.
Tidak hanya itu, dalam Pasal 28F UUD 1945 kembali ditegaskan bahwa setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hal ini bermakna sejak awal pengakuan kebebasan tersebut, memiliki sejarah yang sama dengan lahirnya negara Indonesia.
Melihat begitu konkritnya konstitusi mengatur tentang kebebasan warga negara dalam menyampaikan pendapat, merupakan pedoman yang seharusnya dapat dimengerti bersama oleh segala elemen dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, melihat fenomena saat sekarang ini apakah jaminan dalam menyampaikan pendapat ataupun kritik khususnya kepada pemerintah masih terasa relevan?
Jika kita melihat pada fenomena kehidupan bernegara di Indonesia, nampaknya kebebasan dalam menyampaikan pendapat ataupun kritik tidak mendapatkan porsi yang utuh lagi. Apalagi pada zaman yang serba online sekarang, ketika seseorang berbicara tentang keresahannya terhadap suatu kebijakan, bisa saja karena tindakan tersebut membuat dirinya masuk sel tahanan.
Banyak saat sekarang ini kita jumpai di media, orang-orang yang menyampaikan kritik berujung dengan penahanan. Sebut saja kasus Prita Mulyasari yang dilaporkan pihak Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera tahun 2009, kasus Benny Handoko akibat serangkaian perdebatan panas dengan sejumlah akun di media sosial Twitter, Buni Yani yang dipidana karena dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian berbau SARA dan lainnya terkena dengan kasus yang sama.
Tentu kita miris melihat kejadian seperti ini, di saat aturan mengenai kebebasan berpendapat banyak dikeluarkan, seakan itu menjadi bumerang kapan saja siap berbalik kepada rakyat. Pemerintah mulai menampakkan sikap anti-kritik yang dapat dikatakan jauh dari nilai-nilai demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Sikap yang seperti ini harusnya segera dihentikan demi lingkungan yang bebas menyampaikan pendapat atau kritik.
Belum lagi, pernyataan Presiden Joko Widodo yang ramai jadi perbincangan beberapa waktu belakangan. Di mana beliau meminta rakyat untuk aktif mengkritik pemerintah. Seakan selama ini rakyat hanya diam saja dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Padahal hal tersebut tidaklah benar, saat sekarang ini kebanyakan dari masyarakat banyak diam karena kebebasan berpendapat sudah tidak sepenuhnya terjamin lagi.
Pernyataan tersebut dinilai kontradiktif dan paradoks. Bagaimana tidak, jika nantinya aktif dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah, malahan akan menjadi sebuah petaka bagi si penyampai kritik. Ketakutan dalam menyampaikan kritik bisa jadi merupakan imbas adanya pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait dengan pencemaran nama baik. Juga dengan Pasal 45a dan 45b yang banyak menjerat pengguna media sosial terkait penyampaian ujaran kebencian, ancaman kekerasan dan menakut-nakuti. Rasa takut ini memuncak juga dengan adanya Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa.
Pada akhirnya, ketentuan hukum tentang kebebasan dalam menyampaikan pendapat harus dikaji ulang. Hal ini tentu perlu dilakukan agar kenyamanan dan keamanan dalam menyampaikan pendapat dan kritik dalam kehidupan bernegara dapat terjamin. Dengan begitu, kecemasan dan ketakutan akan menyampaikan kritik dalam diri masyarakat tidak akan ada lagi. Sebab, kritik yang bersifat membangun akan sangat diperlukan demi mencapai kemajuan dan kemaslahatan dalam kehidupan bernegara.