Oleh: Verlandi
(Mahasiswa Prodi Tadris Bahasa Inggris
UIN Imam Bonjol Padang)
Pada tanggal 11 Juli 2024, Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan yang sangat kontroversial terkait pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor di Ibu Kota Negara (IKN) hingga 190 tahun. Keputusan ini telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan para ahli. Banyak pihak mempertanyakan kebijaksanaan dan dampak jangka panjang dari keputusan tersebut terhadap kedaulatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Kebijakan pemberian HGU selama hampir dua abad ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai langkah yang terlalu berlebihan dan bahkan melampaui praktik-praktik kolonial di masa lalu. Bima Yudistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, menyatakan bahwa durasi penguasaan lahan bukanlah faktor utama yang menarik minat investor. Ia menegaskan bahwa perputaran ekonomi dan prospek bisnis yang lebih penting dalam menarik investasi.
Jika kita bandingkan dengan kebijakan agraria di era kolonial, bahkan VOC hanya memberikan izin pengelolaan perkebunan maksimal selama 75 tahun. Ironisnya, pemerintah kita justru memberikan konsesi hingga 190 tahun. Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, menyebut kebijakan ini sebagai “Bentuk kolonialisme baru yang dilakukan oleh bangsa sendiri”. Pernyataan ini menyoroti betapa kebijakan tersebut telah menjauh dari semangat kemerdekaan dan kedaulatan nasional.
Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan serius tentang kepatuhan terhadap hukum yang berlaku. Undang-Undang Agraria yang ada membatasi penguasaan lahan maksimal 50 tahun. Namun, pemerintah menggunakan UU No. 21 Tahun 2023 sebagai dasar untuk mengabaikan batasan tersebut. Dr. Yance Arizona, pakar hukum agraria, memperingatkan bahwa “Negara yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar hukum agrarianya sendiri adalah negara yang telah kehilangan kedaulatannya”.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, sekitar 25,14 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di tengah kondisi ini, pemerintah justru mengalokasikan triliunan rupiah untuk proyek IKN. Dr. Faisal Basri, ekonom senior, menyebut alokasi anggaran untuk IKN sebagai “Bentuk malpraktik ekonomi yang akan membebani generasi mendatang dengan utang yang tak terbayarkan”.
Kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya sejarah eksploitasi asing seperti yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin pada awal abad ke-20. Kasus United Fruit Company yang mendapatkan konsesi lahan luas dan berkepanjangan, hingga akhirnya mampu mendikte kebijakan pemerintah setempat, menjadi peringatan keras bagi kita. Apakah kita ingin IKN menjadi “banana republic” di masa depan?
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkemuka, pernah mengingatkan bahwa “Sejarah kolonialisme bukan hanya catatan tentang eksploitasi ekonomi, tetapi juga tentang dehumanisasi sistematis terhadap bangsa terjajah”. Pernyataan ini menjadi cermin bagi kita untuk merefleksikan apakah kebijakan HGU 190 tahun ini justru merupakan bentuk dehumanisasi terhadap bangsa kita sendiri.
Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup, juga pernah memperingatkan bahwa “Pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial hanya akan menghasilkan kemakmuran semu yang akan hancur dalam satu generasi”. Peringatan ini sangat relevan dengan kebijakan HGU yang bisa berdampak hingga dua abad ke depan.
Soekarno, sang proklamator, pernah mengingatkan bahwa “Perjuangan bangsa belum selesai, kemerdekaan hanyalah jembatan emas”. Namun, kebijakan HGU 190 tahun ini seolah-olah menjual jembatan emas tersebut kepada penawar tertinggi. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen pemerintah terhadap cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan nasional.
Pada akhirnya, kebijakan HGU 190 tahun di IKN bukan hanya masalah ekonomi atau hukum, tetapi juga masalah moral dan eksistensial bagi bangsa Indonesia. Ini adalah ujian bagi kedewasaan demokrasi kita, kematangan civil society, dan kearifan kolektif sebagai bangsa. Apakah kita akan membiarkan segelintir elit menentukan nasib tanah air untuk dua abad ke depan? Atau akankah kita bangkit dan menuntut kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan?
Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali pesan Bung Karno: “Perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Kini, tantangan itu menjadi nyata di hadapan kita. Sudah saatnya kita, sebagai bangsa, bersatu dan menuntut kebijakan yang lebih bijaksana, yang menghormati kedaulatan nasional dan menjamin kesejahteraan generasi mendatang. Jangan sampai keputusan hari ini menjadi air mata Ibu Pertiwi di masa depan.