Oleh: Intan Aprilia
(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)
Di kala tangisan semesta kian mendera
Dingin yang kian menyeruak
Ku tatap nanar aksara luka yang kian basah
Di timpa air mata yang kian mengalir deras
Kenapa ada duka
Kenapa harus ada air mata
Ku tatap wajah yang kian menua itu
Keriput kian menghiasi wajah indahnya
Ku tatap mata yang selalu menaruh harap
Harapan yang kian hari kian nyata
Sedangkan anaknya masih sama
Rangkaian kegagalan kian merambat
Ingin ku menangis di pelukannya
Ingin ku kembali masa kecil
Di saat aku bermain di pangkuannya
Tidak ada masalah
Yang ada hanya tawa
Yang ada hanya bahagia
Bermain dari pagi hingga senja
Ingin ku sampaikan pada senja bahwa tubuh ini kian lelah
Ingin ku kejar senja
Namun yang ada hanya kelabu
Ingin ku kejar senja
Namun yang ku temui hanya gelap yang mendera
Ku beranikan diri duduk di sampingnya Seraya berucap
Bu, anakmu gagal
Dia tersenyum dan mengusap rambutku
Yang kau usap rambutku namun air mataku yang terjun
Katamu, kegagalan adalah hal wajar bagi seorang anak yang tumbuh dewasa
Tapi, kenapa kegagalan itu selalu datang setiap harinya
Seolah-olah tidak ada ruang untuk ku bahagia
Kau hanya tersenyum lantas mengecup pipiku yang penuh air mata
Ku rebahkan tubuh di pahamu
Kau usap rambutku
Kau usap pipiku
Mungkin benar katamu diriku perlu istirahat
Orang kuat perlu rehabilitas
Nyaman di pangkuan mu
Membuat mataku kian memberat
Biarlah hari ini aku lupakan segalanya
Biarlah hari ini aku kembali menjadi anak kecil mu
Perihal esok adalah tentang esok
Sekarang biarkan aku menikmati hujan di pangkuan mu
Terimakasih ibu, doamu yang kian melambung tinggi
Sedangkan anak mu masih tegak berdiri
Semoga tuhan memberkati langkah ku
Semoga keberhasilan mulai datang
Akan ku bawa dirimu ke puncak awan dan kebahagiaan
Terimakasih bu, dari anak kecilmu yang kian tumbuh dewasa
Padang, 12 November 2022