Oleh: Rahma Dhoni (Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam)
Satu dekade lalu
Saat itu, kita masih seatap di bawah lindungan sekolah kampung yang pengajarnya masih kerabat terdekatmu
Aku setiap hari menemukanmu, dengan pakaian lusuh yang banyak timbul bercak-bercak seperti pasir di kerahku
Saat itu, aku nekad bercengkrama denganmu, walau surat yang kusematkan pada bukumu itu ditulis dengan pensil ukiran alami di bagian ujung, akibat sering ku kunyah demi menahan lapar
Aku menemukan senyum simpulmu, dibalik tawa merekah kita saat bermain bersama. Salah satunya, permainan tersebut tercipta dari karet yang diam-diam kucuri dari kedai ibuku
Saat bertandang ke rumahmu, aku menyaksikan dalih orang tuamu yang menuturkan bahwa kamu tidak ada di rumah. Padahal ayahmu keberatan usai melihat kakiku yang tidak beralas dan penuh dengan lumpur
Dan aku sering meraih dan menggenggam tanganmu, tanpa ada rasa yang berdebar di tubuhku. Kendati sorak sorai “cie-cie” dari orang sekitar menggema dan wajah merahmu menjadi penghias
Namun sekarang
Aku masih ada di wilayah yang sama, dengan pakaian kinclong dan alas kaki megah menghadap rumahmu
Menyaksikan wajahmu yang semakin anggun dengan riasan mahal. Sejenak hati ini sunyi walau suasana ramai dan berisik
Aku juga masih sanggup menggenggam tanganmu, walau terbatas sebab engkau tidak punya banyak waktu. Lantas, jantungku semakin berirama sendu dan badanku tidak dapat lagi berdusta
Dengan tegar, ku lafazkan kalimat basa-basi terbenci: selamat atas pernikahanmu dan dalam hati ku sematkan pemberontakan: selamat sukses kebohonganku
Lubuk Lintah, 11 Maret 2021.