Oleh: Verlandi Putra
(Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris UIN Imam Bonjol Padang)
Malam merayap perlahan di Desa Perbukitan, langit kelam menutupi cahaya, menyisakan bayang-bayang yang menyusup di setiap celah. Di sudut desa, lampu temaram menyinari sebuah rumah mungil. Pak Abdi, anak kecil berusia delapan tahun, menatap ke luar jendela dengan penasaran.
“Budi, sudah waktunya pulang,” panggil ibunya dari balik pintu. “Jangan berkeliaran saat malam tiba”.
Budi tidak merespon. Pikirannya melayang pada cerita lama yang didengarnya tentang sosok misterius bernama Sumala. Suara tawa anak-anak menarik perhatiannya, membuatnya melupakan peringatan sang ibu, tanpa berpikir panjang, dia berlari menyusuri jalan setapak menuju ladang jagung.
“Sutrisno, tunggu aku!” serunya pada sahabatnya yang sudah lebih dulu sampai.
Sutrisno melambaikan tangan. “Kita cari bola kita yang hilang, Budi. Lihat, ada seorang anak perempuan di sana!”
Terdengar suara lirih memanggil mereka dari kejauhan. Seorang gadis mungil berdiri di antara batang-batang jagung, berambut kusut dengan gaun putih selutut. Dia memamerkan sebuah bola yang mereka cari.
“Itu bolaku!” Sutrisno berseru dan langsung berlari mengejarnya.
“Tunggu, Risno!” Budi berusaha menyusul, namun Sutrisno terlalu cepat. Dia menghilang di balik pepohonan, meninggalkan Budi sendirian.
Tiba-tiba, suara teriakan memekakkan telinga membelah keheningan malam. Dengan jantung berdegup kencang, Budi memacu langkahnya, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada sahabatnya. Namun, pemandangan yang ia temui membuatnya membeku di tempat. Sutrisno tergeletak dengan kepala berlumuran darah, sementara si gadis misterius menggenggam batu.
Budi menjerit ketakutan dan berlari sekuat tenaga mencari pertolongan. Dia tidak pernah membayangkan bahwa kejadian mengerikan itu akan menjadi awal dari masa-masa kelam yang melanda desanya.
Tahun demi tahun berlalu, namun bayangan Sumala tak pernah sirna dari ingatan warga desa. Cerita tentangnya telah menjadi legenda urban yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bagi Budi, yang kini lebih dikenal sebagai Pak Abdi, peristiwa itu masih terpatri jelas dalam benaknya.
Usai menghalau anak-anaknya yang ingin bermain di luar saat malam tiba, Pak Abdi menyalakan api unggun di halaman rumahnya. Warga desa lainnya mulai berdatangan, membawa sesaji sebagai persembahan untuk melindungi mereka dari hal-hal buruk, termasuk Sumala.
“Jadi, mengapa kita harus melakukan ritual ini setiap tahun?” tanya Bayu, putra sulungnya dengan rasa penasaran.
Pak Abdi menghela napas panjang. Dia tahu, sudah waktunya untuk membagi kisah kelam yang menghantui desanya selama bertahun-tahun.
“Dulu, sebelum kau lahir, di desa ini tinggal sepasang suami istri bernama Pak Sujiman dan Bu Sulastri…”
Pak Abdi mulai bercerita tentang pasangan malang itu yang akhirnya dikaruniai anak kembar, tetapi salah satunya terlahir cacat. Demi kebahagiaan mereka, Pak Sujiman mengambil keputusan kejam dengan menghabisi bayi yang cacat tersebut. Tak disangka, roh sang bayi yang dibuang itu merasuki saudara kembarnya, Kumala, membuat gadis malang itu memiliki dua kepribadian yang berbeda.
“Itulah sosok yang kita kenal sebagai Sumala,” lanjut Pak Abdi dengan nada getir. “Sejak saat itu, anak-anak yang menghilang di desa kita diyakini menjadi korban Sumala, sebuah roh jahat yang menghuni tubuh Kumala”.
Seluruh warga mendengarkan dengan seksama, seolah kisah itu terukir dalam sejarah desa mereka. Beberapa wajah menampakkan ketakutan, sementara yang lain hanya bisa terdiam.
“Lalu, apa yang terjadi pada Kumala?” tanya Bayu dengan nada gemetar.
Pak Abdi menatap jauh ke kegelapan malam. “Tak seorang pun tahu. Dia menghilang begitu saja, bersama dengan Sumala”.
Hening melingkupi mereka. Hanya derak api unggun yang menemani bisikan semilir angin malam. Sebuah tanda bahwa Sumala masih mengawasi, menunggu untuk mengambil mangsa berikutnya.
Kisah itu membawa Pak Abdi kembali ke masa lalu, ketika dia masih menjadi seorang bocah bernama Budi. Peristiwa tragis yang menimpa Sutrisno, sahabat karibnya, membuat trauma mendalam baginya. Setelah kejadian itu, nyawa Sutrisno tidak bisa diselamatkan. Tubuhnya ditemukan dua hari kemudian di pinggir sungai dengan kondisi mengenaskan.
Keluarga Sutrisno tidak terima dan mempertanyakan keadaan anaknya. Budi pun menjadi tertuduh, dianggap telah mendorong Sutrisno hingga tewas dengan kepala hancur. Namun, para tetua desa membela Budi. Dia hanyalah bocah yang tidak mungkin berniat jahat pada sahabatnya sendiri.
Berkat kesaksian Budi, warga desa akhirnya percaya bahwa pelaku sebenarnya adalah sang Sumala yang menjelma sebagai gadis cilik berambut kusut. Sebuah kisah mencekam yang telah menjadi bagian dari legenda desa sejak lama.
Peristiwa mengerikan itu membuat pantangan baru diberlakukan di desa. Anak-anak dilarang bermain di luar saat malam tiba atau memasuki area hutan. Ritual pun rutin dilakukan untuk mengusir makhluk jahat yang menghantui mereka.
Namun, hal itu tidak sepenuhnya menghalangi Sumala dari mengambil korban lain. Kasus anak hilang dan ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan masih kerap terjadi di desa itu. Beberapa kali pula, Budi sendiri merasa menyaksikan bayangan seorang gadis kecil berkeliaran di ladang jagung.
Rasa penasaran Budi tumbuh seiring berjalannya waktu. Dia ingin mengetahui asal-usul sebenarnya dari sosok Sumala yang membawa teror bagi desanya. Dengan tekad membara, Budi pun memutuskan untuk mencari kebenaran di balik misteri itu.
Pada suatu malam setelah ritual tahunan berlangsung, Budi mencuri kesempatan untuk pergi ke hutan sendirian. Dia mengabaikan peringatan keras ibunya untuk tetap di rumah. Dengan membawa obor kecil, Budi menelusuri jalan setapak yang jarang dilalui orang.
Sunyi senyap menyelimuti hutan. Hanya bunyi langkah kaki Budi dan semilir angin yang terdengar. Sesekali, bayangan-bayangan aneh seolah mengintipnya dari balik pepohonan. Namun, Budi terus melangkah dengan waspada.
Tiba-tiba, Budi mendengar suara gemerisik dari semak-semak di dekatnya. Disorotnya cahaya obor ke arah sumber suara itu. Seorang gadis cilik berdiri di sana, menatapnya dengan sepasang mata kosong. Rambut panjangnya yang kusut jatuh menutupi sebagian wajah.
“Kumala?” panggil Budi ragu-ragu.
Sosok itu bergeming. Budi memberanikan diri untuk melangkah maju dan berjongkok di hadapan si gadis. Namun, seketika matanya membelalak ngeri. Wajah Kumala itu bukan lagi seperti seorang anak kecil. Bagian kulitnya terkelupas, memperlihatkan serpihan tulang yang menyembul dengan cairan kemerahan menghiasi lekuk-lekuknya.
“Kau… Sumala?” Budi bertanya dengan suara bergetar.
Sosok itu menyeringai lebar hingga bibirnya robek. “Aku Sumala. Kau tahu rahasia terbesarku, Budi”.
Budi tercekat, seluruh tubuhnya bergetar hebat.
“Sebenarnya Kumala dan aku adalah satu,” Sumala melanjutkan dengan suara mencekam. “Orangtuaku memanggil iblis untuk mendapatkanku. Namun, ayahku begitu bodoh dengan membuangku bahkan sebelum aku terlahir”.
Rahang Sumala bergerak aneh saat dia berbicara. “Jadi, aku bersemayam di tubuh Kumala, menunggu hingga waktuku tiba untuk mengambil alih sepenuhnya. Semua yang pernah kulakukan, semua anak-anak yang kubunuh, semua itu juga perbuatan Kumala sendiri”.
Sumala tertawa keras, tawanya bergema di seluruh hutan. Budi merasakan kengerian mencengkeram seluruh tubuhnya. Dia berusaha bangkit dan berlari, namun Sumala mencengkeram lengannya dengan kuku-kuku tajam.
“Mengapa kau lari, Budi? Bukankah kau ingin tahu kebenaran?” tangan Sumala yang lain mencengkeram dagu Budi, memaksanya menatap wajahnya yang mengerikan.
“Aku akan memberitahumu semuanya. Tentang masa laluku, tentang ibuku yang membuangku ke dunia iblis, tentang pengkhianatanku pada Kumala yang malang. Dan kau, Budi, akan menjadi yang terakhir mendengar kebenaranku sebelum aku benar-benar menguasai seluruh jiwa di tubuh ini!”
Sumala kembali tertawa dan berbisik langsung ke telinga Budi, “Bersiaplah untuk mendengar kisahku, Budi. Kisah yang tidak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu!”
Saat itulah, Budi benar-benar menyesali keberaniannya memasuki hutan malam itu. Dia terjebak di dalam kegelapan bersama Sumala, sosok mengerikan penghuni tubuh Kumala yang ternyata memiliki asal-usul jauh lebih kelam dari bayangan terburuk siapapun.
“Dulu, sekitar tahun 1948, hiduplah sepasang suami istri bernama Pak Sujiman dan Bu Sulastri di desa ini,” Sumala memulai kisahnya dengan nada sinis. “Mereka adalah pasangan terkaya di desa karena memiliki perkebunan jagung dan peternakan besar”.
Budi hanya bisa terdiam mendengarkan dengan was-was. Sumala bergerak leluasa di sekelilingnya, seolah menikmati saat-saat berbagi kisah kelamnya kepada Budi.
“Kebahagiaan mereka sempurna, kecuali satu hal. Hingga bertahun-tahun menikah, Bu Sulastri tak kunjung dikaruniai seorang anak”.
Sumala mengerling ke arah Budi dengan tatapan menusuk. “Karena itu, tanpa sepengetahuan suaminya, ibuku mencari bantuan seorang dukun untuk mendapatkan keturunan. Dukun itu mengabulkan permintaannya, tapi dengan bayaran yang harus dibayar”.
Tawa mencekam Sumala kembali bergema. “Dengan bodohnya, ibuku terjebak dalam lingkaran setan. Dukun itu bukan sembarang dukun, Budi. Dia meminta ibuku untuk mengorbankan salah satu anaknya yang akan dilahirkan sebagai tumbal bagi iblis!”
Nafas Budi tercekat. Sumala mengambil jeda sejenak untuk menatap langit malam yang gelap pekat.
“Akhirnya, ibuku pun melahirkan anak kembar. Aku, dan saudariku, Kumala yang malang”.
Budi tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sumala tersenyum lebar melihat ekspresi di wajahnya.
“Ya, Budi. Kumala dan aku adalah saudara kembar. Namun, aku terlahir dengan kondisi tubuh yang mengerikan, penuh kecacatan. Sedangkan Kumala, dia sempurna.” Sumala mendelik pada Budi. “Dan kau tahu apa yang dilakukan ayahku? Dia mengambil keputusan untuk… menghabisiku!”
Kengerian terpancar dari wajah pucat Budi. Sumala tertawa hambar.
“Dia tidak mau memiliki anak seperti aku, jadi dihabisinya aku segera setelah lahir. Sungguh keputusan yang bodoh!” desis Sumala dengan nada membekukan darah. “Karena ternyata, ketika dia menghabisiku, rohku malah bersemayam di tubuh Kumala. Kami menjadi dua jiwa dalam satu raga!”
Sumala berputar di tempat sambil terus berbicara. “Itulah mengapa, Kumala terkadang memiliki dua kepribadian yang berbeda. Ketika kami kecil, aku mulai mengambil alih tubuh kami secara bergantian. Kadang, aku yang menguasainya. Kadang, dia yang berkuasa”.
Kepalan tangan Sumala mengerat hingga kukunya menancap di kulitnya sendiri. “Tapi, tentu saja aku yang terkuat. Aku lebih mendominasi dan semakin lama berhasil mengambil alih tubuh kami sepenuhnya. Sebuah bayaran atas keputusan bodoh ayahku!”
“Karena itukah… kau membunuh anak-anak tak berdosa itu?” Budi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya dengan suara bergetar.
“Tunanganku kepadamu, Budi. Kau sungguh pendengar yang baik,” Sumala terkekeh setelah Budi memberanikan diri untuk bertanya.
“Ah ya, pembunuhan brutal itu. Bayangan saat aku mencabik-cabik kepala anak-anak malang itu masih segar dalam ingatanku,” Sumala menjilat bibirnya yang mengerikan.
Budi bergidik ngeri mendengar pengakuan sadis dari mulut Sumala. Dia ingin lari, tapi tubuhnya terasa membeku di tempat.
“Mereka pantas menerimanya, Budi. Anak-anak itu telah berani menghinaku, menertawakan kecacatan Kumala!” Sumala meraung penuh amarah. “Mereka semua harus kuberi pelajaran atas kebodohan mereka!”
Sumala berjalan mondar-mandir dengan gerakan aneh, seolah menikmati kembali memori kelam dalam benaknya yang terganggu.
“Kau masih ingat Sutrisno, sahabatmu? Ah ya, dia adalah korban pertamaku. Amarahku meluap saat dia dan anak-anak lain mengejek Kumala. Malam itu, aku berhasil mengambil alih tubuh kami sepenuhnya dan menghabisinya!”
Sumala tertawa terbahak-bahak, suara tawanya yang mengerikan menggema ke seluruh penjuru hutan. Sementara Budi hanya bisa diam terpaku, dilanda ketakutan hebat yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
“Kepala Sutrisno yang kuhantam dengan batu sampai hancur itu pemandangan yang indah. Jeritan kesakitannya sungguh merdu di telingaku!” Sumala memejamkan matanya, seakan tengah menikmati kenangan buruknya itu. “Dan kau tahu yang paling mengagumkan? Semua orang justru tidak percaya bahwa akulah pelakunya. Mereka menganggap Kumala hanyalah anak malang yang tidak berdaya!”
Saat Sumala kembali membuka matanya, Budi dikejutkan dengan tatapan bengis yang seperti hendak melahapnya hidup-hidup. “Kau sendiri yang menyaksikan bagaimana aku menghabisi Sutrisno waktu itu, bukan? Namun, kau tidak pernah menduga bahwa akulah dalang di balik semua pembunuhan keji itu!”
Budi tergagap. “K-kau… monster…”
“Monster? Ya, aku memang monster! Tapi aku monster yang diciptakan oleh kedua orangtuaku sendiri.” Sumala mengambil jeda sejenak. “Dan jika mereka tidak melahirkanku ke dunia, aku tidak perlu membunuh siapapun!”
Kini giliran Budi untuk tertawa getir dan menyedihkan. “Jadi kau melampiaskan kemarahanmu dengan cara membunuh anak-anak tak berdosa, hanya karena mereka mengejekmu?” Dia menatap Sumala dengan tatapan jijik yang tak tersamarkan.
Sumala balas menatap Budi dengan sorot kebencian yang menyala di kedua bola matanya yang hitam kelam. Dia mencengkeram pundak Budi dengan kukunya yang tajam hingga meninggalkan bekas luka di sana.
“Jangan memandangku seperti itu, Budi! Kumala lah yang seharusnya kau benci! Dialah yang membiarkanku hidup, membiarkanku mengambil alih tubuhnya dan melakukan semua pembunuhan keji itu!” raung Sumala dengan suara menggelegar.
“Dia begitu lemah dan tak berdaya untuk melawanku! Alih-alih, dia justru menikmati setiap kali aku membunuh! Sama sepertiku, Budi! Kami berdua adalah monster yang sesungguhnya!”
Sumala tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang mengerikan menghantam Budi seperti halilintar yang menyambar. Budi hanya bisa bergetar ketakutan, pasrah pada nasibnya yang entah bagaimana selanjutnya bersama makhluk mengerikan ini.
“Lalu setelah semua pembantaian itu, apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa menghilang setelah itu?” tanya Budi dengan suara bergetar mencoba mengorek lanjutan kisah kelamnya.
Sumala mendesis memandang Budi dengan seringai mengerikan tersungging di wajahnya yang mengerikan.
“Ah, kisah itu bahkan lebih menarik, Budi. Bersiaplah untuk penutup kisahku yang paling mengerikan…” Sumala menyeringai lebar, memamerkan deretan giginya yang runcing.
Budi menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kian kencang. Dia tahu, bagian terakhir kisah Sumala akan menjadi yang paling mencekam.
“Setelah pembantaian mengerikan itu terjadi, barulah kedua orang tuaku menyadari keberadaanku di dalam tubuh Kumala,” Sumala memulai dengan nada rendah yang berbahaya.
“Ibuku panik bukan kepalang. Dia tidak mengira bahwa tumbal yang dikorbankannya untuk mendapatkan Kumala malah menjadi bencana yang mengancam keluarga mereka sendiri.”
Sumala berjalan mengitari Budi dengan langkah-langkah mengancam. “Ayahku kalang kabut mencari cara untuk mengusirku dari tubuh kembaranku. Hingga akhirnya, dia mendatangi dukun yang sama yang pernah dimintai tolong ibuku dulu”.
Jeda sejenak, Sumala menatap Budi dengan tatapan dingin untuk mengukur reaksinya.
“Dukun terkutuk itu memberitahu ayahku, bahwa mereka bisa memisahkan aku dari tubuh Kumala, tapi hanya bila Kumala berusia tepat sepuluh tahun”.
Budi mengerutkan keningnya, bingung.
“Sepuluh tahun? Maksudmu, memang ada ikatan kontrak seperti itu sejak awal dengan iblis?”
“Tepat sekali, Budi!” Sumala tertawa mengejek. “Bukankah kau memang pendengar yang baik? Ya, dukun itu memang berkata demikian pada ayahku. Dengan bodohnya, ayahku justru senang dan berpikir bisa memiliki Kumala kembali setelah upacara pemisahan dilakukan saat Kumala berusia sepuluh tahun”.
Sumala terkekeh sinis. “Tentu saja, ayahku tidak tahu bahwa dukun itu hanya mengiba. Dia sengaja berkata demikian agar aku bisa terus menghuni tubuh Kumala hingga waktu yang dijanjikan!”
“Jadi, apa yang terjadi selanjutnya?” desak Budi yang kini dilanda keingintahuan yang membuncah.
Sumala tersenyum miring, matanya berkilat penuh kejahatan. “Aku tidak tinggal diam, Budi. Tidak seperti Kumala yang begitu lemah, aku memanfaatkan keadaan ini untuk semakin kuat menguasai tubuh kami”.
Budi bergidik melihat seringai mengerikan di wajah Sumala.
“Aku tumbuh semakin kuat dari hari ke hari, hingga mendekati usia sepuluh tahun. Kekuatan kami berdualah yang menghancurkan kepala para korbanku dengan mudah!”
Sumala tertawa mencekam mengingat kembali pembantaian yang diperbuatnya di masa lalu.
“Hingga kemudian, malam puncak dimana aku sepenuhnya dapat menguasai tubuh ini tiba. Malam di mana perjanjian dukun terkutuk itu akan berakhir!”
Sumala menatap Budi dengan tatapan bengis. “Ayahku datang ke kamar Kumala yang sebenarnya adalah kamarku untuk melakukan ritual pengusiran. Tapi, aku takkan membiarkan dia mengambil tubuh ini dariku!”
Tiba-tiba Sumala mencengkeram leher Budi dengan kukunya yang tajam. Budi berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya yang kuat.
“Aku membantai mereka semua! Ayahku, ibuku, bahkan penjaga yang disuruh mengawasi kamar kami! Aku menghabisi mereka tanpa ampun! Tidak ada yang bisa mencegahku untuk sepenuhnya menguasai tubuh ini!” Sumala berteriak dalam kegilaannya.
Nafas Budi tersengal akibat cengkeraman erat Sumala di lehernya. Pandangannya mulai mengabur saat Sumala menghempaskannya hingga punggungnya membentur batang pohon dengan keras.
“Setelah semua orang yang menghalangiku tewas, aku pun menghilang dari desa ini, Budi,” desis Sumala di telinga Budi yang kini terkulai lemas. “Tak ada yang bisa menemukanku lagi karena aku dan Kumala sudah melebur menjadi satu!”
Sumala mengangkat dagu Budi dengan jari-jarinya yang kurus kering. Sisa tenaga Budi digunakan untuk menatap Sumala dengan tatapan ketakutan luar biasa.
“Bukankah itu cerita yang menakjubkan, Budi? Lahir sebagai tumbal, ditolak keberadaannya bahkan sebelum terlahir, hingga akhirnya berhasil menaklukkan segalanya hanya dengan kekuatan dendam dan amarah!”
Sumala kembali tertawa keras hingga terdengar bergema memantul di seluruh penjuru hutan. Tawanya seakan menjadi nyanyian paling mematikan yang pernah didengar Budi selama ini.
“A-apa yang akan kau lakukan padaku?” tanya Budi terbata dengan suara hampir mencicit.
Sumala tersenyum mengerikan. “Bukankah sudah jelas? Dengan menceritakan semua kisahku padamu, berarti aku sudah mengizinkanmu mati, Budi!”
Seketika Sumala mencengkeram leher Budi kembali, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar, seolah hendak meremukkan tulang-tulang lehernya. Budi berusaha meronta dengan tenaga terakhir yang dimilikinya. Namun, sia-sia. Sumala terlalu kuat dan tak terbendung lagi untuk melepas jiwanya yang terjebak di tubuh mengerikan itu.
“Selamat tinggal, Budi. Kau adalah yang terakhir mendengar kisah kehidupan Kumala dan Sumala sebelum kau mati!”
Tawa kegilaan Sumala menggema untuk yang terakhir kalinya, seiring suara erangan Budi yang perlahan mengabur hingga akhirnya lenyap tak berbekas.
Di tengah kegelapan malam yang mencekam itu, hanya tersisa derap langkah kaki Sumala yang perlahan menjauh meninggalkan hutan, mengukir jejak baru bagi kisah kelamnya yang abadi.