Gaya Komunikasi dibalik Generasi

Ilustrator: Isyana Nurazizah Azwar

Oleh: Najwalin Syofura

(Mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam)

“Dek, tolong belikan garam di warung depan ya,” pinta umak dari dapur. Ya umak adalah panggilan ku untuk seorang Ibu
“Okay umak!” jawabku sambil meraih ponsel dan selembar uang biru.
“Coba ku tanya di grub deh, mana tau ada yang mau nitip belanja ke warung” ucapku.
Dengan cekatan, kuketik pesan di grup keluarga, “Gaes, ada yang mau nitip ?” Tak lupa, ku tambahkan emoji tangan terlipat dan senyum di akhir kalimat.


Beberapa saat kemudian, notifikasi berbunyi.
“Kamu ini kenapa sih, Nak? Pakai ketikan emoji begitu? Ibu jadi bingung” balas umak di chat pribadi.

Aku menghela napas. Sambil berjalan menuju warung “Ya ampun, mak. Ini tuh biar pesannya lebih santai dan akrab. Biar nggak kaku,” jelasku sabar
“Santai bagaimana? Umak malah merasa kamu nggak sopan saat mengirim pesan. Ngomong sama orang tua atau yang lebih tua kok pakai emoji begitu,” balas umak lagi, kali ini dengan nada sedikit kesal dan emoji mau marah.

Aku mencoba menjelaskan dengan sabar, “umak, ini tuh gaya komunikasi anak muda sekarang. Emoji itu pengganti ekspresi wajah di emoji. Biar pesannya nggak terasa datar.”
“Alasan saja kamu ini. Dulu umak mengirim pesan sama teman-teman nggak ada pakai emoji begitu. Biasa saja tuh,” sanggah umak.
“Ya ampun, umak. Dulu umak mengirim pesan nya kan pakai SMS. Mana ada emoji di SMS,” balasku sambil tertawa kecil saat berjalan menuju ke warung di seberang.
Umak membaca pesan anak bungsu. “Oh iya ya. Umak lupa,” akhirnya umak balas pesannya.

“Mbok, saya mau beli garam kasar” ucapnya saat di warung.
Aku dan kak fahara, adalah anak muda generasi Z yang besar di era digital. Bagiku, mengirimkan pesan melalui media sosial adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Aku terbiasa menggunakan emoji, singkatan, dan bahasa gaul dalam berkomunikasi. Tujuannya, tentu saja agar obrolan terasa lebih santai, akrab, dan menyenangkan.
Namun, tidak semua orang memahami gaya komunikasiku. Seperti umak.

Umak generasi baby boomers. Baginya, penggunaan emoji dan bahasa gaul dalam chatting adalah sesuatu yang aneh dan tidak sopan.
Perbedaan generasi ini menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi. Aku yang terbiasa menggunakan emoji dianggap tidak sopan oleh Ibu. Begitu pula sebaliknya, Ibu yang selalu menggunakan bahasa formal dalam mengirim pesan membuatku merasa kaku dan tidak nyaman.


Suatu hari, aku dan umak terlibat dalam percakapan di grup keluarga. Saat itu, aku sedang membahas tentang rencana liburan dengan teman-temanku. Aku menggunakan banyak singkatan dan emoji dalam pesan-pesanku.
“Kamu ini ngomong apa sih, Nak? Umak nggak ngerti,” protes umak yang ke kamarnya.

Fani langsung berdiri di depan umak dan menjelaskan
“Ini tuh rencana liburan, mak. Zaskia mau ngajak teman-teman ke Bali,”
“Bali? Kapan? Kok umak nggak tahu?” tanya umak dengan nada terkejut.
“Ya ampun, mak. Kan udah aku bilang di grup,” jawabku sedikit kesal.
“Lahh kamu ini kalau ngomong yang jelas di grub. Jangan pakai singkatan-singkatan begitu. Bikin umak bingung saja,” omel umak


Aku coba menghela napas. “Mak, ini tuh gaya komunikasi anak muda sekarang. Kalau umak nggak ngerti, ya udah deh,” ujarku akhirnya.
Umak terdiam.

Aku tahu, beliau kecewa dengan ucapanku. Tapi aku juga bingung harus bagaimana. Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi umak tetap tidak mengerti.
Bulan purnama bersinar, aku merenung di kamar. Aku memikirkan tentang percakapanku dengan umak.


Sarah merasa bersalah karena sudah membuat umak kecewa.


“Hp aku dimana ya?” Ucapku sambil mencari di berbagai tempat. Saat mencari ia mengingat hp sedang di isi daya.
“Aku harus cari tau” ucapku jari tangan mengetik sesuatu di google.
Aku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang perbedaan generasi dalam komunikasi.
“Naah, aku sudah menemukan” ucapku.
Aku membaca artikel dan menonton video tentang topik ini. Dari situ, aku baru menyadari bahwa perbedaan gaya komunikasi antara generasi itu adalah sesuatu yang wajar.


Setiap generasi memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, yang memengaruhi cara mereka berkomunikasi.
“Owalah tahun kelahiran umak sebelum perang ll” ucapku.
Generasi baby boomers, seperti Umak, tumbuh di era yang serba terbatas.

Mereka berkomunikasi secara formal dan lugas. Sementara itu, generasi Z, sepertiku, tumbuh di era digital yang serba cepat dan instan. Kami terbiasa berkomunikasi secara informal dan ekspresif.


Setelah memahami hal ini, aku merasa lebih lega. Aku tidak lagi merasa bersalah karena sudah berbeda gaya komunikasi dengan Ibu. Aku juga tidak lagi merasa kesal karena Ibu tidak mengerti gaya komunikasiku.


Aku menyadari bahwa perbedaan ini bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Justru, perbedaan ini bisa menjadi bisa dalam komunikasi. Sarah bisa belajar dari Umak bagaimana berkomunikasi secara formal dan lugas.

Sementara itu, Umak juga bisa belajar dariku tentang bagaimana berkomunikasi secara informal dan ekspresif.


Keesokan harinya, aku menghampiri Umak di dapur, ingin meminta maaf atas perkataanku semalam. Aku juga berjanji akan berusaha berkomunikasi dengan lebih baik lagi.


“Mak, maafin Sarah ya. Sarah udah bikin Umak kecewa,” ujarku tulus.
Umak tersenyum. “Iya, Nak. Mak juga minta maaf kalau sudah terlalu kaku dalam berkomunikasi,” balasnya.
Kami berdua akhirnya saling memahami. Kami berjanji akan saling belajar dan menghargai perbedaan gaya komunikasi masing-masing.

Sejak saat itu, sarah dan Umak menjadi lebih dekat. Kami selalu berkomunikasi, baik secara langsung maupun melalui pesan di WhatsApp. Meskipun masih terjadi kesalahpahaman, tapi kami berusaha untuk saling memahami.
Sarah belajar untuk tidak terlalu menggunakan emoji dan singkatan dalam mengirim pesan dengan umak nya. Sarah juga belajar untuk lebih menghargai gaya komunikasi beliau yang formal dan lugas.


Sementara itu, umak juga mulai belajar tentang gaya komunikasi anak muda. Beliau mencoba untuk memahami penggunaan emoji dan bahasa gaul dalam mengirim pesan.

Meskipun kadang-kadang masih bingung, tapi beliau tetap berusaha untuk mengerti.
Perbedaan generasi dalam komunikasi memang tidak bisa dihindari.

Namun, dengan saling memahami dan menghargai, perbedaan ini justru bisa menjadi kekuatan dalam hubungan. Sarah dan umak telah membuktikan bahwa perbedaan generasi bukanlah penghalang untuk tetap saling mencintai dan mendukung.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post
olin/suarakampus.com

Kasus HIV/AIDS di PPU Melonjak, Dampak Pembangunan IKN Disorot

Next Post

Yayasan Mahacinta Rawdha Fasilitasi Pengukuran Kaki dan Tangan Palsu bagi Penyandang Disabilitas

Related Posts
Total
0
Share