Oleh: Annisa Juita Muhdi
(Mahasiswa Tadris Matematika)
Tenbi begitu anak-anak Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Imam Bonjol menyebut sebuah lorong beratapkan biru. Tenbi merupakan singkatan dari tenda biru. Tempat di mana para Mahasiswa sering berkumpul. Di mulai dari yang belajar kelompok, sekedar nongkrong menghabiskan waktu hingga para penikmat wifi kampus. Selain kegiatan tersebut, Tenbi juga menjadi tempat di mana seorang Mahasiswi Tadris bernama Icha merasakan warna-warni kehidupan remaja akhirnya. Tempat di mana ia mengenal perasaan yang dinamakan cinta dan luka.
Seperti sekarang, Icha tengah duduk di salah satu bangku yang kosong sendirian. Menunggu sosok teman yang dikenalnya semenjak mereka Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan. Icha sebenarnya sudah selesai sedari tadi, tapi ia harus menunggu temannya dulu. Mereka satu Fakultas, tetapi beda jurusan. Sudah hampir 30 menit ia menunggu, tetapi belum ada tanda-tanda temannya akan muncul.
Icha masih berselancar dengan seru dalam dunia orange kesayangannya dengan kedua telinga yang ditutupi oleh headset.
“Cha,” tepukan di bahunya berhasil menarik Icha kembali ke dunia nyata.
Degan sedikit kesal, Icha menoleh ke sang pelaku yang memasang wajah tak berdosa dan duduk di sampingnya.
“Ish, Gin. Kebiasaan deh lu. Untung jantung gua masih sehat. Gimana kalo gua punya riwayat sakit jantung, bakal innalillahi dah gua.”
“Ya, maap. Lagian lu nya aja yang terlalu fokus.”
Dengan santainya, pemuda yang bernama Genta atau yang sering dipanggil Agin itu menyeruput minuman botol milik Icha. Hal itu sukses membuatnya mendapatkan sebuah tabokan maut dipunggungnya.
“Minuman gua, Woy?!”
“Minta dikit elah, Cha. Pelit amat dah,” Agin hanya bersungut sembari mengusap punggungnya yang terasa cenat cenut tiap kali lihat kamu.. aciee.. ada yang nyanyi?;).
“Dah lah. Males gua. Nggak modal amat lu,”
Icha menyandang ranselnya lalu berdiri meninggalkan Agin sendirian di sana. Sementara pemuda itu hanya menghela nafas kemudian menyusul temannya yang ngambekan itu.
“Ya elah, Cha ngambekan amat sih. Gua ganti deh dengan yang baru.”
Saat Agin akan merangkul bahunya, dengan cepat gadis itu menghindar dan memberikan tatapan tajam, setajam golok. Eh, becanda deng.
“Apa? Don’t touch touch me.”
“Et, dah bahasa lu… janji deh, gua beliin lu matcha ntar. Tapi, janji jangan ngambek lagi.” Agin menyerahkan helm pada Icha yang masih setia memasang wajah cemberutnya.
“khem, bener, Lho ya?” hm.. roman-romannya si Icha mulai tertarik ini. Ya, lagian mana bisa seorang Icha menolak pesona dari minuman berwarna hijau tersebut.
“Iya.. bener.” Agin memakaikan helm tersebut ke Icha karena tak kunjung mendapatkan respon dari gadis itu.
“Nah, ayo naik.”
Icha dengan segera naik ke boncengan pemuda itu dan tidak lupa dibatasi oleh ransel milik Agin tentunya. Agin hanya terkekeh geli. Karena nih, ya, gengs, emang semudah itu ngebujukin Icha si maniak matcha ini.
Perlahan, motor tersebut melaju meninggalkan area kampus. Laju motor lumayan cepat sehingga deru angin terdengar cukup keras. Ditambah telinga mereka sama-sama ketutup helm. Kalo ngomong ya gitu, suka kagak nyambung.
“Jadi liat sunset, kan?”
“Hah, apa?” Icha sedikit berteriak dan mendekatkan kepalanya pada Agin.
“Jadi, liat sunset?” teriak Agin lagi dengan setengah teriak.
“Lu ngomong apa, sih?”
Hm.. ini entah anginnya yang salah atau emang Icha yang budek. Kita sama-sama nggak tau.
“Gua suka ama lu.” ucap Agin lagi. Iseng aja sih. Kan, Icha emang nggak pernah nyambung kalo diajak ngomong di atas motor.
“Oh.. iya-iya.” Nah, kan bener. Si Icha Cuma ngangguk-ngangguk aja. Ya, meski Icha nggak bisa dengar apapun selain suara angin.
Sementara itu, Agin hanya terkekeh pelan dan geleng-geleng kepala. Andai ngungkapin perasaan bisa sebegini mudahnya, pasti udah ia lakuin dari dulu.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya mereka sampai juga di pantai tujuan. Kini, keduanya tengah duduk bersantai menghadap laut sembari menikmati kelapa muda dan hembusan angin laut yang entah kenapa terasa menenangkan.
Sekilas, pertemuan pertama mereka terlintas begitu saja. Bagaimana ia yang dengan lancangnya meminum matcha milik Icha hingga anak itu nangis terisak tanpa suara. Dan, dilanjutkan dengan aksi Icha yang menggebuknya dengan tidak berperasaan secara bertubi-tubi.
“Cha, lu inget nggak waktu pertama kita bertemu?”
Suara Agin berhasil menghilangkan keheningan di antara keduanya. Icha mengalihkan pandangannya dari laut dan menghadap ke Agin yang tatapannya masih terfokus ke depan menghadap ke lautan bebas.
“Inget, gua bahkan masih inget betapa tengilnya seorang Genta Kharisma yang langsung nyerobot minuman gua tanpa izin.”
Agin terkekeh pelan mendengarnya. Ya, benar pertemuan keduanya memang diawali dengan kesalahan Agin yang mengira minuman Icha sebagai minumannya.
“Hahaha.. gua juga inget gimana jeleknya seorang Icha Aprilla nangis hanya karena matcha nya gua habisin.”
“Ck.” Icha hanya mencebik kesal melihat senyuman jahil itu terpampang dengan santainya dibelahan bibir Agin, selalu saja gitu.
“Gua nggak jelek lho, ya? gua itu imut.”
Bukannya takut dipelototin sama si Icha, tawa si Agin malah makin meledak. Bagaimana tidak meledak, wong itu matanya hampir keluar gitu.
“Teros.. teros.. tawa aja teros… keselek laler baru nyahok lu.”
Agin berusaha sekuat tenaga menghentikan tawanya sembari memegang perut dan mengusap air mata yang sedikit keluar. Sementara Icha ia tengah menyeruput es matcha miliknya sekuat tenaga, sampe ada bunyi nya gengs. Tau kan bunyinya kek gimana, zeek zeek.. gitcu lho….
“Huuuhh.. sumpah Cha, ya. Lu gitu makin jelek tau, nggak? mata lu mau copot, gitu?”
“Serah lu dah, Gin. Sebahagia lu aja, gua mah apa, lha kan?”
“Ya.. ya.. ya… gua tau. Lu kan cuma remahan rengginang.” Tawa Agin masih sesekali terdengar.
Setelah terdiam cukup lama, Icha menghembuskan nafas berat. Seperti ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.
“Nape lu? berat amat kayaknya beban hidup, lu?”
Icha hanya menggeleng dan kembali menatap matahari yang kian menjingga. Rasanya Agin pengen nepuk-nepuk kepala Icha untuk nenangin, tapi nggak jadi. Agin sangat paham kalau Icha nggak mau kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan hamromnya apapun itu alasannya.
“Nggak mau cerita?”
Icha menoleh ke Agin dan disambut dengan senyuman khas pemuda itu. Lagi, jantungnya kembali berdetak tidak normal. Lebih cepat dari biasanya. Icha bukan gadis polos yang tidak tahu apa arti dari debaran itu.
“Cha?”
Panggilan itu berhasil menarik Icha kembali ke dunia nyata. Icha menunduk dan menggeleng perlahan.
“Udah mulai gelap. Kita pulang aja yuk, Gin.”
Agin menghela nafas pelan lalu mengangguk.
“Ayo pulang.”
Sudah satu minggu semenjak mereka dari pantai. Icha kembali duduk di Tenbi. Kali ini bukan untuk nungguin Agin, tapi hanya sekedar nongkrong numpang wifi. Sudah seminggu ini ia jarang bertemu dan berkomunikasi dengan Agin. Bukan karena mereka sibuk atau apa, tapi memang Icha yang sengaja menghindar. Tidak ada alasan khusus untuk itu. Icha hanya merasa bahwa ada yang salah dari kedekatan mereka. Rasanya, mereka sudah terlalu dekat dan itu tidak baik untuk jantung serta hati Icha.
Bukannya tidak sadar kalau dirinya dan Agin seringkali menjadi perbincangan para Mahasiswa lainnya. Icha sudah berusaha keras untuk tidak mempedulikan omongan-omongan yang tidak mengenakkan itu, tapi ia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Hatinya ada batasannya. Kesabarannya juga bisa habis, makanya Icha memilih untuk menghindar dari pada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Seperti biasanya, kini Icha juga sedang focus pada layarnya yang menunjukkan sederet kalimat berbentuk paragraph. Ia tengah sibuk dengan dunia orange miliknya dan jangan lupakan headset yang selalu ia pakai. Icha menoleh ke sampingnya begitu merasakan ada sesuatu menoel lengan kananya. Di sana terlihat Agin dengan cengiran tengil khas miliknya yang tengah memegang pensil. Mungkin itu yang tadi ia gunakan untuk menoel lengan Icha. Menghembuskan nafas pelan, lalu Icha membuka headset miliknya. Dan, samar ia mendengarkan kembali bisik-bisik para Mahasiswa lain yang cukup membuatnya risih.
“Kenapa?”
“Idih, datar amat mukanya, mbak?”
Icha mencebik. Ia kembali menoleh mengalihkan atensinya pada layar Hp miliknya dan mengabaikan keberadaan Agin di samping kanannnya.
“Cha.”
Icha masih diam. Menghiraukan Agin yang lagi-lagi menoel lengannya.
“Cha..”
Lagi, Icha masih diam dan mulai merasakan kalau kini mereka sedang menjadi pusat perhatian.
“Cha…”
“Apa?!”
Agin tertegun mendengar suara Icha yang sedikit meninggi. Ah, bukan. Bukan sedikit. tapi, sangat tinggi hingga menarik perhatian semua yang berada di sekitarnya. Muak dengan kondisinya yang menjadi pusat perhatian, Icha segera meraih ransel yang ia letakkan di atas meja lalu setengah berlari meninggalkan tenda biru.
“Cha, tunggu. Lu kenapa sih, Cha?!”
Agin berhasil meraih lengan Icha, tapi langsung ditepis oleh Icha dengan keras.
“Cha, tunggu! CHA!”
Icha berhenti bersamaan dengan lengannya yang dicengkram dengan erat oleh Agin. Ia menoleh pada Agin dengan tajam.
“Lu kenapa? Selama seminggu ini lu sengaja menghindar dari gua, kan? kenapa Cha? kalau gua ada salah lu ngomong, dong.”
Icha memandang wajah Agin yang tersirat dengan jelas tengah frustasi. Sebenarnya Icha nggak tega ngeliatnya. Tapi, yam au gimana lagi.
“Haahh.. lu nggak salah. Gua yang salah. Gua yang salah, Gin.”
Agin menatap dalam mata Icha. Di sana terlihat luka dan kesedihan yang Agin sendiri juga tidak tahu karena apa. Atau, sebenarnya Agin tahu, tapi berperan seperti orang bego yang tidak ingin tahu.
“Iya, lu yang salah. Lu yang sengaja menghindar dari gua dan sekarang lu kasih tau kenapa lu ngehindar dari gua seminggu ini.”
“Huuh… libur semester ini gua harus balik kampung,”
Jeda sejenak. Agin tidak ingin memotong dulu. Ia hanya akan mendengarkan kali ini. Ia bisa merasakan kalau ada sesuatu yang besar tengah disembunyikan temannya ini.
“Gua….. dijodohin, Gin.”
Mendengar suara pelan Icha, perlahan genggaman tangan Agin melonggar dan terlepas. Entah kenapa, rasanya terasa menyesakkan. Pasokan oksigen disekitarnya terasa menipis.
Agin berusaha menormalkan suaranya, kemudian mulai bersuara, “lalu? Kenapa menghindar dari gua?”
Icha memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa Agin artikan. Di sana terlihat kesedihan dan kekecewaan. Entahlah, Agin juga bingung arti dari tatapan itu.
“Hah, kenapa?” tawa Icha terdengar. Lebih tepatnya tawa miris yang menertawakan dirinya sendiri.
“Gua nggak tahu, lu emang benar-benar bego atau pura-pura bego. Tapi, sepertinya gua emang harus ngomongin ini. Selama ini, lu anggep gua apa? Cuma temen? atau CUMA sahabat?”
Agin bukannya tidak mengerti. Tapi, untuk saat ini biarlah ia menjadi orang bego hanya untuk mendengarkan kalimat yang ingin ia dengar dari seseorang yang ia sukai.
“Apa?” suara Agin terdengar tercekat.
“Haaahh.. gua harusnya dari awal tahu kalo lu itu emang bego. Dengerin baik-baik, ya? Agin Kharisma, GUA. SUKA. SAMA. LU. paham?!”
Agin bingung harus seperti apa sekarang. Apa ia harus senang? atau sedih?
“Maaf.”
Icha menaikkan sebelah alisnya bingung.
“Untuk?”
“Untuk nggak jujur sama sama, lu. Dan sepertinya emang sudah terlambat, ya?”
Lagi, tawa sumbang itu keluar dari mulut seorang Icha. Miris memang kisahnya.
“Jadi, hanya segitu? lu nggak mau berjuang? meski lu tahu gua juga suka sama lu?”
“Cha, bukan gitu. Tapi, gua Cuma nggak mau lu jadi pemberontak. Lu hanya harus yakin kalau pilihan orang tua lu itu yang terbaik.”
“Halah.. bullshit tau nggak.”
Icha kembali pergi meninggalakan Agin yang masih berdiam terpaku di tempatnya. Sepertinya memang ini akhir dari kisah mereka. Akhir, yang sama-sama menorehkan luka pada keduanya. Dan, itu bukanlah akhir yang baik. Semoga.. semoga pilihan Agin untuk mengalah memang yang terbaik.