Tinta Penawar

Ilustrasi (sumber: Isyana/suarakampus.com)

Oleh: Putri Melissa
(Mahsiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab )

Hari bertambah petang, jam menunjukkan pukul lima lewat seperempat. Udara kota mulai terasa bertambah nyaman. Warna merah mulai mengembang di langit sebelah barat. Begitu turun dari bis kota, ia langsung saja menelusuri gang kecil menuju ke kamar sewaansemenjak satu tahun yang lalu, selama menjadi mahasiswa di kota ini. Baru saja ia sampai di depan pintu kamarnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gadis kecil anak tetangga, “Bang, ini ada surat untuk Abang!”. “Oh iya, makasih ya dek, “. Ia mengambil surat itu dengan senyum tipis. Gadis kecil itupun kembali ke rumahnya.

Di tahun 2020 ini, kuliah dan kerja sampingan sudah menjadi rutinitasnya sebagai mahasiswa S2 di Universitas Negeri Jakarta. Lelah setelah seharian beraktivitas, ia pun istirahat sejenak di karpet lesehan kamar kosnya. Setelah menemukan posisi yang nyaman, ia kembali menatap surat di tangannya, dan sebelum rasa penasarannya semakin besar ia segera membuka surat itu.

Kalimat demi kalimat dalam surat itu mengantarkannya kembali ke lorong-lorong kenangan masa sulit yang telah ia lalui setahun lalu. Kala itu, ia berusaha mencari bantuan psikolog karena gangguan halusinasinya yang tak kunjung padam. Setiap malam, suara-suaramenyerbu telinganya, membuat tidurnya terganggu. Kadang, suara itu berwujud bayangan menyeramkan, berkelana didepan matanya. Bukan hanya takut yang ia rasakan, tapi juga kebingungan dan kecemasan. Halusinasi itu mengganggu aktivitasnya sehari-hari, menjerumuskan nya dalam insomnia yang menyiksa.

Padahal waktu itu adalah tahun terakhirnya untuk penyelesaian S1 di jurusan sastra Indonesia. Tahun dimana ia berharap dapat menikmati buah kerja kerasnya selama empat tahun. Ia ingin meraih gelar yang ia impikan dan memulai babak baru dalam hidupnya. Namun, gangguan halusinasi yang ia alami seakan menghancurkan semua impiannya. Tugas akhirnya semakin dekat, tapi ia masih terjebak dalam lingkaran halusinasi. Ia mencoba berbagai cara untuk menyelesaikan masalahnya, tapi semuanya sia-sia. Ia terpuruk, kecewa pada dirinya sendiri.

Sampai suatu hari, deadline tugas akhirnya dipercepat seminggu. Ia terkejut, tak tahu harus berbuat apa. Ia tak bisa berkonsentrasi, tak bisa untuk menulis. Halusinasi itu semakin intens, menyerbu pikirannya dan menghancurkan konsentrasinya. “Aku akan gagal,” gumamnya lirih, rasa kecewapun terasa semakin menusuk hatinya, “Aku akan mengecewakan orang tuaku.”

Tiba-tiba, ponselnya berdering. “Gilang, apa kabar?” Rama, kakaknya menyapa dengan ceria. Hening. “Ada apa?” Suaranya berubah cemas. Kini hanya terdengar isakan tangis yang tertahan. “Kamu dimana?” tanyanya. “Di kos, kak..” Akhirnya ada jawaban. Beberapa saat setelah itu, Rama langsung menjemputnya di kos. Melihat kondisi adiknya, ia langsung membawanya ke tempat yang seharusnya bisa menyembuhkannya, tempat yang bisa meringankan bebannya, tempat yang diharapkan menjadi titik balik bagi Gilang — RSJ. Sepanjang jalan, ia terus menenangkan adiknya itu, “Kamu jangan putus asa. Doa orang tua selalu menyertai kita. Allah subhanahu wa ta’ala. Pasti akan menjaga dan memberikan jalan keluarmya untuk kita. Karena tak ada ujian yang di berikan-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa halusinasinya selama ini disebabkan oleh kebiasaan buruknya yang sering tidak tidur, bahkan bisa lebih dari seminggu untuk menyelesaikan karya-karyanya. Akibatnya, ia juga terkena ‘Tremor’, sebuah penyakit neurologis yang menyebabkan getaran tak terkendali pada tubuh. Karena itu, ia harus dirawat di sana selama satu bulan, terisolasi dari dunia luar. Syukurnya, setelah satu bulan berlalu, kondisinya membaik dan ia diperbolehkan pulang, meski harus menjalani kontrol rutin setiap bulan. Sampai pada kontrol terakhirnya di bulan keenam, Ia mendapatkan kabar yang sangat membahagiakan. Ia dinyatakan sembuh. Ia terharu. Air mata bahagia mengalir deras di pipinya. Kegembiraan dan rasa syukur memenuhi hatinya.

Sejak saat itu, ia kembali melanjutkan karangannya dengan aturan dan rambu-rambu yang telah ia pahami. Ia mengirimkan karyanya ke salah satu penerbit ternama. Dan sebuah suratpun datang padanya sebulan kemudian, di tahun 2020 ini. “ Dari PT Gramedia Pustaka, Selamat! Karya anda lolos seleksi untuk diterbitkan di PT kami. Silahkan datang ke alamat yang tertera untuk proses selanjutnya”. Surat itulah yang ia pegang saat ini, yang tadi diantarkan oleh seorang gadis kecil anak tetangga. Ia menatap surat itu dengan mata yang berbinar, tak percaya apa yang baru saja terjadi. Mimpi yang pernah ia pandang mustahil, perlahan mulai menjadi kenyataan. Masa-masa sulit, masa-masa yang dipenuhi halusinasi dan ketakutan telah berhasil ia lalui. Sekarang, gilirannya untuk mempersiapkan masa depan. Menuliskan setiap kata dengan tinta bercorak sastra. Ia berkata dalam hati, “Terima kasih ya Allah, terima kasih telah memberiku kekuatan untuk menghadapi ujian yang engkau berikan. Terima kasih telah memberiku peluang baru untuk menorehkan mimpi.”

Ia tahu, perjalanannya dalam menulis masih panjang. Namun, ia sudah siap untuk menjalaninya. Ia akan menulis dengan segenap jiwanya, menorehkan kata-kata yang indah dan bermakna. “Tinta Penawar”, gumamnya, “Akan ku jadikan obat bagi jiwa yang terluka, menghibur hati yang sedih, dan menebarkan harapan bagi setiap orang yang membacanya”.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Gen Z, Generasi Emas atau Generasi Cemas

Next Post

Mahasiswa UIN IB Raih Juara III Lomba Hafalan 100 Hadis Bersanad

Related Posts
Total
0
Share