Suarakampus.com– Insiden ambruknya dermaga Danau Wisata Kandi, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat (Sumbar) telah memakan korban akibat tidak dijalankannya reklamasi. Berdasarkan Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Sawahlunto, mencatat sebanyak lima orang wisatawan meninggal dunia dan tiga orang selamat.
Berdasarkan analisis menggunakan Geographic Information System (GIS) oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar, terdapat seluas 13.95 Ha genangan Kandi yang menjadi lokasi kejadian tersebut.
Walhi Sumbar menilai lokasi wisata tersebut seharusnya dilakukan reklamasi dan kegiatan pasca tambang untuk memulihkan lingkungan agar kembalinya kondisi ekosistem pasca penambangan. Untuk itu, tindakan membiarkan bekas lubang galian tambang sehingga terbentuk genangan karena terisi air hujan termasuk pelanggaran hukum.
“Tindakan itu juga termasuk pembodohan publik oleh perusahaan dan pemerintah, karena di dalam air genangan tersebut terkandung racun serta zat berbahaya yang tidak layak digunakan siapa pun,” bunyi siaran pers yang dikeluarkan pada Rabu (26/05).
Mirisnya, bekas lubang tambang tidak hanya ditemukan di Kota Sawahlunto saja. Terbukti ada beberapa genangan lainnya yang diabaikan oleh perusahaan maupun pemerintah.
“Dalam hal ini patut dipertanyakan tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat yang tidak melakukan kewenangan dalam hal melakukan pengawasan dalam reklamasi,” sebut siaran pers tersebut.
Pada aspek hukum pidana patut juga dipertanyakan apa saja yang telah dilakukan oleh penegak hukum (Polsek, Polres, Polda, Kejaksaan) selama ini melihat pelanggaran hukum yang telah dilakukan. Walhi Sumbar memandang penegak hukum telah abai dalam melaksanakan kewenangannya.
Berdasarkan UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 161B, Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan: a. Reklamasi dan/atau Pascatambang; dan/atau b. penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Seharusnya sebelum kejadian tersebut pemerintah harus mengantisipasi kerusakan yang terdapat pada lokasi bekas pertambangan. “Dengan menjalankan reklamasi dan pasca tambang agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan ke depannya,” tutup siaran pers. (rta)
Wartawan: Ulfa Desnawati