10 November 1971-10 November 2021
Baharuddin Syarif, Rektor ke-II UIN Imam Bonjol bersama 62 penumpang pesawat Merpati 828, jatuh di perairian Painan.
Suarakampus.com- Senin 3 November 1971 adalah momen yang mendebarkan bagi Baharuddin Syarif, Rektor ke-II UIN Imam Bonjol (ketika itu IAIN). Waktu itu Baharuddin mendapat panggilan dari Departemen Agama RI Jakarta untuk mempresentasikan konsep pengembangan IAIN jangka panjang. Sebagai rektor di kampus Islam yang kala itu baru berdiri lima tahun, gagasan besar alumnus Al-Azhar Kairo memberi secercah harapan bagi perkembangan IAIN.
Konsep yang dibawa Baharuddin ke Departeman Agama tidak terlacak. Tidak ada naskah dan saksi sejarah yang ingat rancangan itu secara detail. “Misi beliau (Baharuddin-red) yang pertama ialah membawa konsep pengembangan IAIN di masa datang di samping menjajaki kekeliruan SKO honor fakultas dan sekolah persiapan di lingkungan IAIN,” catat Tabloid Suara Kampus edisi November 1984.
Baharuddin menghabiskan waktu satu minggu di Jakarta. Ia baru saja tiga bulan memimpin IAIN. Pria kelahiran Nagari Ladang Laweh, Kabupaten Agama 1926 itu dilantik sebagai rektor pada 1 Agustus 1971.
10 November 1971 adalah hari kepulangan Baharuddin ke Padang. Segudang rencana barangkali sudah dipersiapkan untuk disampaikan kepada kalangan civitas akademika di kampus. Namun takdir tidak berpihak pada Baharuddin. Pada hari itu pula merupakan hari terakhirnya memimpin IAIN Imam Bonjol, kampus yang baru saja ia presentasikan di Depertamen Agama. Baharuddin tidak jadi pulang ke Padang. Pesawat yang ia tumpangi berbelok arah tujuan, pulang ke tujuan yang sebenar-benarnya rumah: akhirat.
Pesawat Merpati Nusantara Airlens (MNA) 828 dengan nomor penerbangan MZ 676 yang ditumpangi Baharuddin jatuh di lepas laut Pesisir Selatan pada 10 November 1971, tepat hari ini 50 tahun lalu. Baharuddin dan 62 orang lainnnya sampai hari ini tidak ditemukan, termasuk jejak pesawat Merpati 828.
Teknologi yang bisa melacak jatuhnya pesawat kala itu belum berkembang pesat. Menteri Perhubungan saat itu, F. Seda, seperti diberitakan pada Majalah Suara Kampus edisi II, menyebut kecelakan pesawat Merpati itu merupakan tragedi di dunia penerbangan pertama di Indonesia yang menewaskan banyak korban.
Asasriwarni, kini Guru Besar Fakultas Sayariah, waktu itu masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Syariah di Bukittinggi. Asas ingat betul bagaimana seluruh civitas akademika IAIN Imam Bonjol berduka. Kampus IAIN ketika itu belum terpusat di Padang. Kepada suarakampus,com, Kamis (21/10), Asas berharap supaya kampus memperingati 50 tahun hilangnya Baharuddin Syarif, sebagai apresiasi terhadap dinamika sejarah lembaga.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UIN Imam Bonjol Welhendri Azwar mengatakan, kampus tidak menyelenggarakan acara khusus untuk mengenang Baharuddin. “Palingan nanti di dies natalis ada ceremony atau penghargaan apresiasi dalam bentuk apresiasi kepada rektor. Tapi khusus untuk mengenang 50 rencananya tidak ada. Apresiasi untuk rektor tiap tahun ada,” kata Welhendri.
Padahal, sebelumnya Welhendri bilang literasi sejarah di lingkungan UIN IB masih rendah dan bermasalah. Ia menuntut agar lembaga mahasiswa seperti Dema dan Sema agar bisa menjadi pionir dalam membangun minat baca. “Bukan lembaga hura-hura,” kata dia.
Menurut salah seorang mahasisa Fakultas Adab dan Humaniora, kampus tidak bisa serta merta menyalahkan rendahnya literasi mahasiswa. Ia menekankan agar kampus juga memberikan fasilitas yang mampu menggenjot literasi. “Dari mana kita tahu sejarah UIN, kampus yang cukup tua sedangkan akses untuk ke sana memang tidak tersedia,” kata dia.
Hasil jajak pendapat Suara Kampus menunjukan kebutaan sejarah di kalangan mahasiswa UIN Imam Bonjol. Dari 15 mahasiswa yang dipilih secara acak, hanya satu orang yang mengetahui tentang Baharuddin Syarif. Sementara, untuk hari jadi IAIN Imam Bonjol, lebih dari setengahnya mengaku tidak tahu.
Raichul Amar, pensiunan dosen UIN IB, yang konsen terhadap pemeliharaan arsip, mengatakan sudah seharusnya kampus merawat memori masa lalu tentang perjalanan kampus Islam tertua di Sumatra ini. Ia menyayangkan rendahnya kepedulian segenap civitas akademika terhadap sejarah.
“Saya hari ini sedang mengupayakan itu, dan inilah yang dapat saya lakukan buat kampus tercinta ini,” kata Raichul. Red)
Wartawan: Padila Yusra, Wildan, Izzatul dan Rayhan.