Perayaan Kecil Mengenang Orang ‘Besar’

Khidmat. Acara peringatan 50 tahun hilanganya rektor UIN IB ke-II, Baharuddin Sayarif, di kantor Redakasi LPM Suara Kampus, Rabu (10/11). Doc: Muhammad Luthfi Al-Alif

Suarakampus.com- “Bagaimana ananda, sekarang tepat tanggal 10 November, 50 tahun hilangnya Baharuddin Syarif,” kata Raichul Amar, pagi tadi, kepada beberapa pengurus LPM Suara Kampus.

Raichul merencanakan akan mengadakan acara peringatan setengah abad hilangnya Rektor ke-II UIN Imam Bonjol, Baharuddin Syarif, yang hilang bersama 62 orang penumpang pesawat Merpati Nusantara Airlens 828. Pesawat nahas itu jatuh di kawasan perairan Painan, Sumatra Barat, 10 November 1971 lalu.

Mulanya, Raichul ingin peringatan 50 tahun hilangnya Baharuddin Syarif diselenggarakan bersamaan dengan Dies Natalis UIN IB yang ke-55 pada 29 November mendatang. Namun, Raichul mengatakan berkemungkinan kegiatan tersebut terlaksana tidak ada kepastian.

“Saya inginnya dilaksanakan hari ini, supaya momennya pas dan menjiwai” kata Raichul.

Keinginan bahwa Raichul akan mengadakan peringatan kecil-kecilan buat mengenang 50 tahun hilangnya Baharuddin sudah ia sampaikan jauh-jauh hari. Namun, kampus tidak memberi respon terkait rencana itu. “Bagi saya acara penting ini harus dilaksanakan on time,” kata Raichul.

Pantang mundur. Raichul merancang peringatan akan dilangsungkan di ruangan arsip yang ia kelola di lantai III Perpustakaan Pusat UIN Imam Bonjol. Ruangan itu hanya berukuran 4×3 meter. Di sana, tersusun rapi beberapa foto dan arsip sejarah UIN Imam Bonjol. Sehari sebelumnya, spanduk acara sudah ia cetak.

Raichul merupakan pensiunan Dosen UIN IB dan mahasiswa angkatan pertama pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) 1966. Hampir setiap hari ia jalan kaki dari rumahnya di Kalawi ke kampus. Hari tuanya diisi dengan kegiatan untuk mengumpulkan bukti-bukti sejarah UIN Imam Bonjol, mengunjungi toko buku bekas, dan sesekali bercakap-cakap dengan kawan lama.

Dia adalah peneroka rimba sejarah yang telah banyak dilupakan. Seluruh informasi awal saat peliputan majalah Suara Kampus, bersumber dari ingatan dan keuletannya merawat dokumentasi dan arsip UIN Imam Bonjol. Sejak 2014, LPM Suara Kampus setiap tahunnya menerbitkan majalah, dengan tema liputan utama tentang sejarah kampus.

Seperti pada majalah edisi pertama, LPM Suara Kampus mengangkat kisah Azhari, pendiri Yayasan Imam Bonjol, cikal bakal IAIN IB. Azhari menyerahkan yayasan yang ia dirikan kepada negara, asalkan statusnya berubah menjadi perguruan tnggi negeri. Majalah edisi II mengangkat sosok Baharuddin Syarif, rektor ke-II yang hilang bersama 62 penumpang pesawat dalam penerbangan Jakarta-Padang pada 10 November 1971 silam. Edisi tahun ini, Suara Kampus membingkai ulang kiprah tim voli IAIN tahun 1973-1976 yang sempat menjadi tim voli terbaik se-perguruan tinggi di Sumatra Barat, yang akan diluncurkan di hari ulang tahun LPM Suara Kampus ke-43, 29 November mendatang.

Raichul awalnya hanya akan mengajak segenap pengurus LPM Suara Kampus. Peringatan 50 tahun hilangnya Baharuddin akan diisi dengan doa bersama dan diskusi ringan mengenang sosok Baharuddin serta sepak terjangnya dalam memimpin UIN Imam Bonjol (dulu IAIN).

Raichul mengatakan dirinya turut mengundang anak kedua Baharuddin, Hasnah serta Fauzi Yusuf, anak salah seorang penumpang pesawat Merpati 827 lainnya, yang bernama Nuriah. Belakangan, Raichul baru tahu kalau Nuriah merupakan ibunda Fauzi, eks pegawai di Kabag Keuangan UIN Imam Bonjol. Fauzi, kini berusia 82 tahun. Ia pensiun pada 1996 silam.

Mengingat tempat yang tidak kondusif dan susah diakses oleh Fauzi, mulanya akan diadakan di lantai III perpustakaan, akhirnya peringatan 50 tahun hilangnya Baharuddin diselenggarakan di Kantor Redaksi LPM Suara Kampus, Rabu (10/11) siang.

Selain Fauzi dan Hasnah, dalam kesempatan tersebut, turut hadir Bakri Dusar, salah seorang pemain voli IAIN tahun 1973-1976. Bakri merupakan murid Baharuddin ketika ia sekolah di Thawalib Padang Panjang.

“Acara ini memang tidak direncanakan secara matang. Awalnya akan diadakan di lantai III perpustakaan. Tapi anak kita ini menyarankan di sini saja, dan allhamdulillah dapat terselenggara dengan khidmat walaupun seadanya,” kata Raichul saat memberikan sambutannya di hadapan pengurus Suara Kampus.

Secara mendadak, Raichul juga mendatangkan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama (FUSA), Andri Ashadi. Pria 76 tahun itu dengan semangat menggebu-gebu, tiga kali bolak-balik ke ruangan Andri. Ia juga mengabari ke bagian humas kampus serta wartawan harian Singgalang.

Acara berlangsung dengan khidmat. Tamu diundang secara “kilat”. Hanya butuh empat jam, Raichul Amar, kami di Suara Kampus menyebutnya ‘arsip berjalan’, mampu mendatangkan orang-orang terdekat Baharuddin Syarif.

Hasnah, anak bungsu Baharuddin sekaligus putri satu-satunya, berusaha menahan haru saat memberi sambutan. Ucapannya terhenti saat menyebut nama sang ayah. Hening sebentar. “Saya sebetulnya tidak mengetahui seperti apa bapak, hanya mendengar cerita dari Ibu, teman-teman bapak, terutama majalah edisi kedua Suara Kampus yang menulis tentang Rektor yang hilang itu,” kata Hasnah dengan napas yang terpenggal-penggal, sembari menahan agar sungai kecil tidak mengalir di pipinya.

Hasnah tidak punya kenangan dengan sang ayah. Ketika pesawat yang ditumpangi Baharuddin jatuh, Hasnah baru berusia dua tahun. Tidak ada yang ia ingat tentang sosok Baharuddin selain dari cerita-cerita kerabat dan Ibunya.

“Pak Raichul tidak bosan-bosannya mengabari kami tentang bapak. Saya sangat berterima kasih kepada beliau karena kegigihannya menggali informasi tentang bapak,” kata Hasnah.

Dalam kesempatan yang sama, Bakri Dusar, murid Baharuddin di Thawalib, mengingat sosok rektor ke-II adalah orang yang bijaksana dan tidak pernah marah. “Sekali saja beliau tidak pernah memukul meja, apalagi marah-marah, beliau hanya diam sembari memandangi murid, dan murid pun akan diam hanya dengan tatapan,” tuturnya.

Wartawan: Muhammad Abdul Latif
Editor: Nandito Putra

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

50 Tahun Hilangnya Rektor ke II Baharuddin Syarif, Siapa Peduli?

Next Post

Abrasi: Dampak Nyata Krisis Iklim di Pantai Barat Sumatra

Related Posts
Total
0
Share