Oleh: Moni Zulesni
E-mail : monizulesni02@gmail.com
Alumni Student Literacy Camp 2024 UIN Imam Bonjol Padang
Adat ialah suatu kebiasaan masyarakat yang dengan berjalannya waktu menjadi sebuah hukum, mewujudkan salah satu pola yang mempengaruhi peraturan-peraturan di daerah Minangkabau, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tolib setiady yang ditulis dalam jurnal Al-ahkam 2019. Keunikan adat Minangkabau terletak pada paradoksnya, di mana dualisme antara kekuatan hukum agama dan adat kebiasaan, dapat berjalan bersamaan sebagaimana terdengar dalam prinsip adat :“adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Namun, dalam realitasnya, keduanya rentan saling bertentangan karena perspektifnya yang berbeda, yang menciptakan sejarah pahit perang saudara di Minangkabau (perang paderi). Sebagian besar masyarakat Minangkabau percaya bahwa adat dan hukum agama dapat berjalan bersamaan, seolah-olah terpesona oleh falsafah adat yang dihormati dengan sangat tinggi.
Di Minangkabau, pernikahan antar sesuku sangat tidak di sarankan karena dipercayai bahwa masyarakat yang satu suku di anggap sebagai saudara. Bagi masyarakat Minangkabau, saudara satu suku di anggap memiliki kedudukan yang setara dengan saudara dalam islam, dan mereka diikat oleh kewajiban tertentu yang mengikuti ketaatan terhadap aturan yang berasal dari agama islam. Orang satu suku saling menganggap sebagai “saraso dan samalu, jalang manjalang, janguak manjanguak, dan bantu mambantu” tanpa tekanan ataupun paksaan. Ada pepatah di Minangkabau yang mengungkapkan saat bersaudara tinggal dalam satu rumah : “saburuak sabaiak, saharato sapusako, sagolok sagadai, sapandam sapakuburan”. Sedangkan kerabat satu suku, “tagak badunsanak mamaga dunsanak, tagak bakampuang mamaga kampuang, tagak basuku mamaga suku, sanda manyanda saroman aua jo tabiang” Malik katik, 2017.
Padahal, keturunan dalam hukum islam mengikuti jalur patrilineal, di mana ayah memegang peranan sentral dalam keluarga. Hal ini bertentangan dengan sistem matrilineal yang berlaku dalam adat istiadat masyarakat Minangkabau, sistem kekerabatan dan larangan perkawinan minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, dimana kehidupan dan ketertiban masyarakat diatur oleh ikatan kekerabatan dalam garis ibu. Dalam sistem ini, seorang anak laki-laki maupaun perempuan dianggap sebagai keturunan ibu, sehingga seorang ayah tidak bisa menurunkan sukunya kepada seorang anak sebagaimana yang berlaku pada sistem patrilineal. Akibatnya, anak tersebut akan selalu mengikuti suku ibunya, (Amir syarifuddin, 1984).
Terdapat beberapa hubungan kekerabatan di Minangkabau, antara lain: “mamak kamanakan, suku sako, induak bako anak pisang, dan andan-pasumandan” masyarakat Minangkabau memiliki sistem pernikahan yang berbeda dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Masyarakat Minangkabau ini menganut sistem eksogami, di mana seseorang di larang menikah dengan suku yang sama dan harus menikah dengan suku yang berbeda dengan suku mereka (Amir, 2001). Pernikahan dalam satu suku tidak di perbolehkan menurut hukum adat Minangkabau. Pelanggaran terhadap hukum-hukum ini dapat mengakibatkan sangsi moral seperti pengucilan sosial serta pengusiran. Aturan tersebut tidak hanya berlaku bagi pasangan suami istri, tetapi juga bagi keluarga besarnya. Namun dalam islam tidak di larang menikah dalam satu suku. Tetapi islam melarang pengikutnya melakukan pernikahan karena beberapa alasan tertentu di antaranya :
- Diharamkan melakukan pernikahan jika ada hubngan nasab (saudara sedarah), maka dilarang dalam islam menikahi ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dan keponakan.
- Pernikahan dilarang apabila terdapat hubungan pengasuan antara lain: ibu yang menyusuinya, anak perempuan dari ibu yang menyusui, bibi yang menyusui, dan keponakan perempuan yang menyusui.
- Pernikahan diharamkan karena hubungan perkawinan yaitu: ibu mertua, anak tiri, menantu laki-laki dan ibu tiri.
Berdasarkan perjelasan yang telah di paparkan tidak ada larangan untuk menikah dengan saudara yang berasal dari silsilah (suku) ibu, yang berarti bahwa sanak saudara yang termasuk dengan silsilah ibu tidak di anggap sebagai saudara dekat yang diharamkan untuk di nikahi. Meski begitu, adat Minangkabau tampaknya tidak sejalan dengan hukum islam karena melarang masyarakatnya menikah dalam satu suku. Tetapi jika di teliti lebih dalam, dan dilihat dari beberapa alasan, masyarakat Minangkabau melarang pernikahan satu suku karena beberapa faktor di antaranya :
- Alasan adat adalah karena dalam budaya Minangkabau, hubungan antar suku masih dijaga oleh ikatan persaudaraan (kerabat). Oleh karena itu, pernikahan satu suku dianggap tabu.
- Pernikahan dalam satu suku dapat menyebabkan keturunan yang lemah karena terjadi hubungan suami istri yang mempunyai kekerabatan yang dekat.
- Alasan adat ialah karena faktor kultural yang turun-temurun dari zaman dahulu sampai sekarang. Jika orang tua melarang, maka pernikahan itu akan dianggap sebagai hal yang tabu atau tidak boleh untuk di lakukan.
Peraturan ini sesuai dengan ajaran islam. Meskipun adat Minangkabau melarang pernikahan satu suku, namun pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan sesuku tidak bertentangan dengan prinsip agama. Filsafat adat Minangkabau yaitu “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” menekankan bahwa hukum agama akan mengalahkan hukum adat. Oleh karena itu, jika ada perbedaan hukum antara islam dan adat istiadat, maka hukum islamlah yang harus di ikuti.
Kesimpulan dari pembahasan di atas ialah memang benar adat kebiasaan Minangkabau melarang keras masyarakat untuk melakukan pernikahan satu suku. Tapi pelarangan ini bukan untuk menentang ajaran islam, melainkan untuk menjaga kultur keturunan masyarakatnya. Karena masyarakat Minangkabau ini keturunannya ataupun sukunya itu diambil daris garis keturunan ibu bukan ayah. Adat Minangkabau melakukan pelarangan ini, karena jika diperbolehkan menikah satu suku, apabila ada permasalahan dalam keluarga tersebut, maka dampaknya bukan hanya untuk yang berumah tangga, melainkan juga akan merambat pada keluarga besar. Dan akan sangat sulit untuk mengatasinya serta akan membawa kepada perpecahan dalam persaudaraan yang sangat dijaga oleh adat Minangkabau selama ini.