Oleh: Anisa Pitri Tara
(Mahasiswi Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Imam Bonjol)
Mikayla Vivienne Grace, yang akrab dipanggil Mikay, adalah seorang mahasiswi semester lima. Ia dikenal sebagai sosok yang aktif di berbagai organisasi kampus, baik di bidang akademik maupun non-akademik. Dengan sifatnya yang ramah dan mudah bergaul, Mikay selalu menjadi pusat perhatian. Banyak orang mengaguminya, meskipun ia sering kali tidak menyadari alasan di balik kekaguman tersebut.
Mikay adalah seorang mantan santri yang tidak menyelesaikan masa mondoknya. Dari SMP hingga SMA, ia menjalani kehidupan di pondok pesantren. Namun, masa-masa itu tidaklah mudah baginya. Suatu hari, setelah hari kelulusan tiba, Mikay dihadapkan pada sebuah dilema besar.
“Sebenarnya, aku senang di sini, tetapi… aku juga ingin merasakan kebebasan seperti teman-temanku yang lain,” ucap Mikay dalam hatinya.
Perasaan Mikay begitu campur aduk. Ia merasa terikat oleh aturan pondok, namun di sisi lain, ia menyadari bahwa pondok telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Setelah mempertimbangkan dengan matang, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari pondok dan melanjutkan hidup sebagai mahasiswi.
Beberapa tahun berlalu, Mikay kini menjadi salah satu mahasiswa yang paling sibuk di kampus. Jadwalnya dipenuhi dengan rapat organisasi, kegiatan sosial, hingga kerja kelompok. Semua itu membuat Mikay terlihat seperti sosok yang penuh semangat. Namun, di balik semua kesibukan itu, ia merasakan sebuah kekosongan dalam dirinya.
Di tengah kesibukannya, Mikay sering kali melupakan hal-hal kecil yang dulunya menjadi kebiasaannya di pondok, seperti sholat lima waktu tepat waktu, sholawat pagi dan petang, serta mendengarkan kajian. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, tetapi ia tidak tahu apa itu. Terkadang, ia merasa sendiri di antara banyaknya orang.
Ketika teman-teman kampusnya memuji kepribadian Mikay yang selalu ceria, ia hanya bisa tersenyum. Ia tidak pernah menceritakan perasaan rindu dan dilema yang terkadang muncul tiba-tiba. Mikay tidak ingin dianggap lemah. Baginya, kehidupan kampus adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia bisa sukses meskipun tidak berada di lingkungan pesantren. Namun, rasa gelisah sering kali menghantuinya.
Namun, ketika libur semester tiba, Mikay pulang ke kampung halamannya. Rumahnya yang tidak jauh dari pondok pesantren mengingatkan Mikay pada masa-masa itu. Setiap kali suara azan berkumandang atau lantunan sholawat para santri terdengar, perasaannya bercampur antara rindu dan penyesalan.
Esok harinya, saat berjalan di dekat rumahnya, Mikay secara tidak sengaja melewati area pondok. Langkahnya terhenti ketika kenangan lama bermunculan. Ia melihat para santri berjalan bersama menuju masjid dengan wajah penuh semangat. Namun, lamunannya terputus ketika suara santriwati memanggilnya.
“Kak Kay! Kak Kay!”
Mikay menoleh dan melihat beberapa santriwati yang mengenalnya. Mereka berlari menghampirinya dengan wajah ceria. Mikay merasa malu dan canggung berada di dekat pondok yang dulunya menjadi rumah kedua baginya. Namun, ia tidak ingin menunjukkan perasaan itu dan memilih untuk mendekati para santriwati dengan senyum ramah.
Mereka mulai berbincang-bincang, berbagi cerita tentang kehidupan mereka di pondok. Salah seorang santriwati berkata, “Kak Kay pasti senang setelah berhenti dari pondok. Kami juga ingin bebas seperti Kak Kay. Kami juga ingin pulang.”
Kata-kata itu membuat Mikay tertegun. Dalam hatinya, ia bergumam, “Di balik keinginan santri untuk pulang, ada hati yang merindukan kehidupan di pondok.”
Mikay termenung, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, “Apakah aku salah keluar dari pondok? Seandainya waktu bisa kuputar kembali.”
Setelah beberapa saat berbincang, Mikay pamit untuk pulang. Namun, sepanjang perjalanan, pikirannya terus dipenuhi dengan kata-kata santriwati tersebut. Ia merasakan kerinduan yang mendalam terhadap kehidupan di pondok.
Malam harinya, lantunan doa dan sholawat yang terdengar sayup-sayup dari pondok membuat Mikay semakin gelisah. Ia membuka jendela kamar dan memandang langit malam. Dalam hati, ia menyadari bahwa pondok bukan sekadar tempat tinggal, melainkan rumah yang telah membentuk dirinya—mengubahnya dari pribadi yang buruk menjadi lebih baik. Namun, kini ia merasa telah kehilangan sentuhan itu.
Hari-hari berikutnya, Mikay terus merenung. Ia mulai memahami bahwa meskipun kehidupan kampus menawarkan kebebasan, ada sesuatu yang hilang—kedekatan dengan Tuhan yang dulu begitu ia rasakan di pondok. Kesadaran itu menggugahnya untuk melakukan perubahan dalam hidupnya.
Rencana libur semester yang awalnya ia persiapkan untuk bersantai akhirnya berubah menjadi momen refleksi. Mikay memutuskan untuk kembali mengunjungi pondoknya. Sesampainya di sana, ia menemui seorang kakak yang dulu begitu dekat dengannya semasa mondok. Kakak itu, yang selalu memberinya nasihat bijak, menjadi tempat Mikay mencurahkan isi hati dan merenungkan langkah hidupnya ke depan.
Saat bertemu dengan kakak angkatnya, Mikay tak mampu menahan air mata. Ia mencurahkan segala dilema dan perasaan yang selama ini ia pendam. Kakak angkatnya mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Hidup adalah perjalanan, Kay. Tidak ada keputusan yang sepenuhnya salah jika kita mau belajar darinya. Allah selalu memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin berbuat kebaikan.”
Kata-kata itu membawa ketenangan dalam hati Mikay. Ia menyadari bahwa meskipun telah meninggalkan pondok, kedekatannya dengan Tuhan masih dapat ia bangun kembali melalui langkah-langkah kecil yang konsisten.
Setelah liburan usai, Mikay kembali ke kampus dengan semangat baru. Ia mulai mengatur waktu dengan lebih bijaksana, menyempatkan diri untuk shalat tepat waktu, dan berusaha memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Meskipun perubahan itu tidak langsung terlihat oleh teman-temannya, Mikay merasakan kedamaian yang selama ini ia cari.
Kini, Mikay memahami bahwa kebebasan sejati adalah kemampuan untuk menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan Tuhan. Kebahagiaan bukanlah soal terbebas dari aturan, melainkan tentang menemukan kedamaian dalam diri dan keyakinan yang kokoh.
Dari Mikay, kita belajar bahwa perjalanan hidup adalah tentang menemukan keseimbangan emosional antara kebebasan dan tanggung jawab. Pada akhirnya, setiap langkah yang kita ambil—baik maupun buruk—merupakan bagian dari proses pendewasaan. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan dan berusaha kembali ke jalan yang benar.
Terkadang, apa yang kita anggap baik belum tentu baik di mata Allah.